Kisah di Balik Alfiyah Ibnu Malik

10,487 kali dibaca

Ketika masih aktif belajar di Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura, Jawa Timur, saya mendengar kisah dari ustaz ilmu nahu, bahwa dalam mengarang kitab Alfiyah, Ibnu Malik merasa lebih unggul dari kitab nahu Ibnu Mukti.

Namun kemudian Ibnu Malik tidak dapat melanjutkan kitab nadhaman itu, tanpa diketahui apa penyebabnya. Beberapa hari Ibnu Malik berusaha untuk meneruskan karangan kitab Alfiyah tersebut, akan tetapi tetap tidak mendapatkan inspirasi untuk melanjutkannya.

Advertisements

Dalam sebuah kisah disebutkan, Ibnu Malik merasa lebih baik dari Ibnu Mukti. Kemudian Ibnu Malik menulis nadhaman sebagai berikut:

فائقة ألفية ابن معطي

“(Kitab Alfiyah yang aku tulis ini) mengungguli kitab Alfiyah karya Ibnu Mu’thi.”

Ibnu Malik menambahkan lagi:

فائقة منها بألف بيت

“Mengungguli dari Alfiyah Ibnu Mu’thi dengan seribu bait.

Setelah sampai di bait tersebut, maka hilanglah semua konsep penulisan Alfiyah yang sebelumnya ada dalam intuisinya. Ibnu Malik merasa heran, mengapa hal tersebut dapat terjadi. Ibnu Malik terus mencoba beberapa kali untuk melanjutkan penulisan kitab nahu tersebut, namun selalu gagal.

Suatu saat, ketika sedang tidur, Ibnu Malik bermimpi didatangi seseorang yang tidak dikenalnya. Orang dalam mimpi tersebut bertanya perihal kitab Alfiyah.

“Aku dengar kamu menulis kitab Alfiyah,” tanya orang tersebut dalam mimpi.

“Benar, saya sedang menulis kitab tersebut,” jawab Ibnu Malik.

“Sampai pada nadham apa karyamu?”

“Sampai pada ‘faiqatun minha bi alfi baiti,” jawab Ibnu Malik jujur.

“Apa yang menyebabkan kamu tidak melanjutkan karyamu?” tanya orang itu lagi.

“Sudah beberapa hari aku tidak bisa melanjutkan nadhaman.”

“Maukah Kau melanjutkannya?”

“Tentu, aku ingin menyempurnakannya.”

Kemudian orang dalam mimpi itu berkata:

فَائِقَـةً مِنْهُ بِألْـفِ بَيْتِ ¤ وَالْحَيُّ يَغْلِبُ ألْفَ مَيِّـتِ

Mengungguli dari Alfiyah Ibnu Mu’thi dengan seribu bait. Dan orang masih hidup bisa mengalahkan seribu orang mati.”

Mendengar perkataan orang dalam mimpi itu, Ibnu Malik terpengarah, kemudian bertanya kepadanya, “Apakah Anda Ibnu Mukti?” Orang itu pun mengangguk dan membenarkan.

Kemudian Ibnu Malik tersadar dari mimpinya. Ia merasa malu kepada orang tersebut. Bagaimana pun Ibnu Mukti adalah senior Ibnu Malik yang harus dihormati karyanya. Maka keesokan harinya, Ibnu Malik mengganti nadham terkait dengan keunggulan karyanya terhadap karya Ibnu Mukti.

Ibnu Malik menggantinya dengan bait lain yang isinya memuji kehebatan Ibnu Mu’thi yaitu:

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ

Beliau (Ibnu Mu’thi) lebih memperoleh keutamaan karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah.

وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ

Semoga Allah menetapkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat.”

Kisah tersebut dapat dijadikan cerminan bahwa sikap sombong dan merasa lebih baik dari orang lain termasuk sifat yang tidak baik. Sehubungan dengan sikap sombong, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya penduduk neraka adalah semua orang yang kasar lagi keras, orang yang bergaya sombong di dalam jalannya, orang yang bersombong, orang yang banyak mengumpulkan harta, orang yang sangat bakhil. Adapun penduduk sorga adalah orang-orang yang lemah dan terkalahkan.” (Hadits Shahih. Riwayat Ahmad, 2/114; Al-Hakim, 2/499).

Pertanyaannya adalah, apakah Ibnu Malik bersikap sombong? Jawabannya adalah “tidak.” Itu merupakan sebuah proses pembelajaran yang memang telah tentukan oleh Allah. Dengan kisah tersebut, kita diajarkan untuk tetap memelihara sikap diri agar tidak merasa lebih baik dari orang lain. Sebab, merasa lebih baik itu merupakan sifat yang harus dihindari agar terlepas dari sikap tinggi hati dan sifat angkuh. Wallahu A’lam!

Multi-Page

2 Replies to “Kisah di Balik Alfiyah Ibnu Malik”

Tinggalkan Balasan