Kisah Anto dan Karim

1,101 kali dibaca

“To! Tolong bantu angkat ini ke mobil ya!” Suara lantang pedagang di lapak tidak jauh dari tempat aku memilih sayuran terdengar sangat keras.

Tidak lama kemudian seorang anak yang bekerja sebagai kuli panggul datang dan berusaha mengangkat belanjaan yang menurut perkiraanku cukup berat baginya. Wajahnya tertutup topi lebar.

Advertisements

“Misi!” Teriak bocah itu memintaku untuk memberinya jalan. Aku seperti mengenal suara bocah itu, bahkan tidak asing. Tetapi siapa dia? Aku tidak bisa segera mengingatnya.

Sesaat bocah itu lewat tanpa melihat ke arahku. Matanya tertuju ke gang di antara los sayuran untuk memastikan jalannya tidak terhalang oleh orang berjubel yang berbelanja maupun barang belanjaan.

“Karim!” Teriakku ketika terlintas nama bocah tersebut. Namun anak itu sudah keburu hilang di tikungan los. Sepertinya dia sengaja sedikit berlari agar segera sampai ke tempat parkir di mana dia harus mengantar barang belanjaan ke mobil pelanggan.

Setelah membayar sayuran yang aku beli, aku menuju lapak tempat Karim mengambil belanjaan yang kemudian diangkutnya. “Maaf Ibu, anak tadi Karim?” tanyaku pada pemilik lapak.

“Bukan Ibu, itu Anto. Kuli panggul yang biasa bekerja di pasar ini. Anak itu rajin. Selepas sekolah dia baru ke sini untuk bekerja. Katanya uangnya untuk membayar keperluan sekolah dan biaya ibunya yang sakit,” lanjut sang pedagang.

“Kok suara dan perawakannya dari belakang mirip Karim ya Bu, siswa saya. Kebetulan tadi sebelum pulang sekolah saya sempat ketemu. Dia sedang persiapan lomba karya tulis dan saya yang membimbingnya. Tadi dia buru-buru katanya harus segera pulang karena akan pergi bersama orang tuanya.

“Anto belum terlalu lama kerja di pasar ini, Bu. Baru sekitar tiga minggu. Anaknya rajin dan sopan. Pertama dia datang, saya tidak menyangka jika akan menawarkan diri untuk bekerja sebagai kuli panggul. Soalnya perawakannya bersih, seperti anak orang yang berkecukupan. Katanya ingin membantu orang tuanya mencari uang.”

Setelah mendengar penjelasan dari pedagang sayur itu, aku buru-buru pamit karena harus segera pulang. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, salah satunya mengoreksi karya tulis yang dibuat Karim. Beberapa hari lagi dia akan mempresentasikan karya tulisnya.

Sepanjang jalan, Anto, bocah yang bekerja sebagai kuli panggul itu masih mengganggu pikiranku. Kenapa suara dan perawakannya mirip dengan Karim. “Ah…mungkin hanya kebetulan saja,” batinku.

***

“Permisi, Bu. Bagaimana dengan karya tulis yang saya buat?” tanya Karim pagi hari ini di ruanganku.

“Bagus, isi dan alur yang kamu tulis rapi dan jelas.”

“Kira-kira saya bisa menang nggak ya Bu? Saya pingin banget jadi juara.”

“Isyaallah Karim, selama kamu yakin, mempersiapkan karya tulis dan presentasi dengan baik serta meminta doa dari orang tua, kamu bisa memenangkan perlombaan ini,” jawabku.

Waktu untuk presentasi pun tiba. Karim akan berangkat untuk presentasi karya tulis. Sebagai pembimbing, kepala sekolah meminta aku untuk mengantarnya. Sepanjang jalan anak itu nampak gelisah. Sesekali melihat ponsel yang dipegangnya.

“Tenang Karim. Insyaallah kamu bisa melewati presentasi dengan baik dan bisa menjadi juara. Sudah pamit dan minta restu kepada ayah ibumu?”

“Em…tadi sudah minta restu sama ibu, Bu.”

“Ayah?” tanyaku. Dia nampak gugup dan menarik napas panjang, kemudian dengan lirih menjawab bahwa sudah meminta restu dari ayahnya yang aku kenal sebagai pejabat di kabupaten.

Saat berbicara dengannya, aku jadi ingat kejadian di pasar tempo hari. Rasanya aku ingin bertanya, benarkah itu Karim. Namun sepertinya tidak mungkin. Dengan jabatan orang tuanya dan beberapa kali melihat dia sekolah diantar sang ayah, mana mungkin sekarang pulang sekolah Karim menjadi kuli panggul.

“Ok, kita fokus untuk acara hari ini ya Karim. Semoga kamu menang.”

“Iya, Bu. Aku ingin sekali menang dan dapat hadiah.”

“Pasti kedua orang tuamu bangga jika kamu berhasil menjadi juara.”

“Bukan itu tujuanku, Bu. Aku perlu…”

Belum selesai Karim bicara, mobil yang mengantar kami sudah memasuki halaman gedung perlombaan. Aku jadi penasaran apa yang sebenarnya ingin disampaikan Karim. Tapi kami harus fokus dengan acara presentasi yang akan berlangsung sekitar satu jam lagi.

Jika aku tanyakan sekarang, takut mengganggu pikirinnya. Sebagai guru pemimbing, aku ikut bertanggung jawab pada keberhasilan Karim di perlombaan ini.

**

“Bu…aku menang Bu! Aku menang! Teriak Karim begitu panitia mengumumkan siapa pemenang dalam lomba karya tulis tersebut. “Ya Allah, Alhamdulillah” lanjut Karim sambil sujud syukur. Nampak kedua matanya berkaca-kaca. Hadiah senilai lima juta rupiah berhak dia bawa pulang.

Tidak lama kemudian aku melihat siswa yang selalu terlihat riang tersebut sesenggukan, menahan tangis. “Mama, nanti kita ke dokter ya Ma. Karim sudah punya uang untuk bawa Mama berobat lagi.”

Aku mendengar lirik suaranya, “Karim!” Aku mendekatinya. Apa yang terjadi, Nak?” tanyaku. Aku segera mengajaknya keluar dari keramaian peserta dan panitia dalam acara tersebut. Aku kembali ingat kejadian di pasar tempo hari.

“Bu, mamaku sakit. Aku berjuang untuk ikut lomba ini dan menang agar punya uang untuk membawa mama berobat. Aku sudah mencoba bekerja, tetapi uangnya belum juga cukup.”

“Bekerja? Ayah kamu? Kenapa bukan ayah yang membawa mama ke dokter berobat?”

“Ibu, aku ingin cerita. Keluarga kami kena musibah. Ayahku difitnah, dituduh korupsi dan sudah sebulan dipenjara. Aku tidak pernah bertemu. Mamaku sudah tiga minggu sakit. Semua aset keluarga disita. Kami tinggal di kontrakan sekarang,” mata Karim berlinang.

Karim ingin membawa mama berobat tapi tidak ada uang. Untuk itu bekerja jadi kuli panggul. Tapi hasilnya hanya cukup untuk membeli makan. Karenanya, begitu ada pemberitahuan lomba menulis yang hadiahnya lima juta rupiah dua minggu lalu, Karim bersemangat untuk mengikutinya. Ia ingin dapat hadiah agar bisa membawa mamanya ke dokter.

“Jadi…yang aku lihat tempo hari di pasar, itu benar kamu?”

“Ibu melihat aku?” tanyanya.

“Iya, Nak. Ibu melihatmu saat berbelanja, tetapi ibu tidak yakin karena kamu tidak pernah bercerita.”

“Iya, Bu. Orang pasar mengenalku dengan nama Anto, kependekan dari namaku, Karim Hananto Prasetyo. Aku sengaja pakai nama itu dan selalu memakai topi agar tidak banyak yang mengenali. Bukan malu, aku hanya ingin bekerja tanpa beban karena ayahku mantan pejabat. Aku ingat pesan ayah waktu polisi menjemputnya. Anak laki-laki harus bisa menjaga mama sampai kapanpun. Kata ayah, Allah pasti akan menolongku dan menunjukkan bahwa ayah tidak bersalah.”

Air mataku menetes. Begitu berat perjuangan bocah ini. Hidup susah dari yang sebelumnya serba kecukupan pasti tidak mudah. Namun anak yang sangat patuh pada kedua orang tuanya ini mampu menjalani. Apa yang harus ditanggung dan dilakukannya, mungkin sebelumnya tidak pernah terlintas.

Setelah acara seremonial penutupan perlombaan dan penyerahan hadiah selesai, kami bergegas pulang. Di jalan aku sempat menghubungi kepala sekolah dan bercerita tentang apa yang baru saja aku dengar.

“Kita langsung ke kontrakanmu ya Karim. Kita bawa mamamu ke dokter. Aku sudah meminta izin bapak kepala sekolah untuk memakai mobil ini untuk membawa mamamu. Insyaallah, Allah akan menolong dan memberi kemudahan kepadamu untuk berbakti kepada kedua orang tua dan menunjukkan jika benar ayahmu tidak bersalah.”

Karim mengangguk sambil menyeka air mata.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan