Di ujung Desa Tapanrejo, Kecamatan Muncar, Jabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tepatnya di Dusun Kedungdandang, terdapat makam seorang ulama yang diabadikan cerita hidupnya. Oleh banyak orang, beliau dianggap sebagai salah satu wali Allah.
Hingga saat ini masih sedikit sekali sumber tertulis yang sudah berhasil menuliskan dan membahasnya. Hanya sumber lisan yang banyak ditemui membahas tentang beliau. Ulama itu bernama Eyang Raden Darissalam

.
Cerita ini didasarkan pada foklor yang beredar di masyarakat, kemudian kami verifikasi keabsahannya melalui salah satu tokoh masyarakat yang pernah hidup semasa dengan beliau.
Dari sana kami mendapatkan berbagai informasi yang mendukung cerita itu. Cerita yang beredar merupakan berbagai cerita keganjilan semasa hidup Den Daris, panggilan akrab beliau.
Mbah Ahmad Lanji yang sekarang juga menjadi juru kunci makam mengatakan bahwa Den Daris berasal dari Srumbung, Magelang, Jawa Tengah yang kemudian menetap di Dusun Kedungdandang. Beliau masih berasal dari keturunan darah biru Keraton Yogyakarta. Hal itu juga diperkuat bahwa dahulu kala Den Daris pernah mengenyam pendidikan, sedangkan waktu itu hanya orang tertentu yang dapat mengenyam pendidikan salah satunya adalah keturunan ningrat.
Ulama yang memiliki ayah bernama Pawiro Atmojo itu di masa hidup sering melakukan perjalanan menggunakan sepeda unta (onthel). “Mbiyen Den Daris senengane mlaku-mlaku gawe sepedah unto (Dulu Den Daris sering jalan-jalan menggunakan sepeda unta),” ucap Mbah Lanji.
Cerita lain yang kami dapatkan adalah ketika Den Daris mengajak Abdurrahim (saudara Mbah Lanji) untuk pergi ke Dam Singir, salah satu bendungan yang berada di ujung barat Desa Tapanrejo. Waktu perjalanan ke sana, beliau berdua berpapasan dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu mengucap salam, lalu dijawab oleh beliau berdua.
Setelah itu, laki-laki tersebut berucap, “Aku njalok sangune (Aku minta ongkosnya).” Laki-laki itu mengaku bernama Mbah Panji.
Setelah itu, laki-laki tersebut bersalaman dengan Den Daris dan Abdurrahim. Saat Laki-laki itu sudah agak jauh tak terlihat, Den Daris bertanya kepada Abdurrahim.
“Him, Samean pas salaman kroso opo (Him, kamu tadi waktu bersalaman terasa apa?).”
Lalu Abdurrahim menjawab, “Tanganipun mboten enten balunge, Mbah (Tangan/jarinya tidak ada tulangnya, Mbah).”
“Iku mau Mbah Nabi Khidir (Itu tadi Mbah Nabi Khidir),” jawab Den Daris yang mengagetkan Abdurrahim.
Kisah lain yang diceritakan oleh Mbah Lanji saat kami wawancarai adalah ketika Den Daris pergi ke Pondok Pesantren Darussalam Blokagung. Saat itu azan Subuh berkumandang. Seluruh santri dibangunkan, termasuk Den Daris, namun beliau menolak untuk bangun. Sesaat setelah selesai salat, Kiai Mukhtar Syafaat mendapati Den Daris salat di atas pelepah daun pisang.
Pada tahun 1971 (ada yang mengatakan 1972), sebelum wafat, Den Daris mengalami sakit yang membuat beliau tidak bisa beranjak dari tempat tidurnya selama kurang lebih 40 hari. Kemudian saat wafat, keluarga memberi kabar duka ini pada besan dan Mbah Kiai Mukhtar Syafaat.
Waktu itu yang bertugas memberi kabar adalah Almarhum Mbah Musri dan Pak Carik. Sesampainya di Blokagung, sang besan yang mendengar kabar wafatnya beliau tidak percaya. Besan yang bernama Mbah Abu malah mengatakan, “Ndek ingi lo jagongan karo aku sedino (Kemarin lo masih ngobrol sama saya seharian).”
Mbah Musri dan Pak Carik yang mengantar kabar pun tercengang. Bagaimana bisa Den Daris yang tidak beranjak dari tempat tidur selama 40 harian bisa sampai Blokagung yang jaraknya sekitar 30 km.
Setelah itu banyak santri dan masyarakat Blokagung serta santri dan kiai dari berbagai pondok berbondong-bondong bertakziah dan mengantar jenazah Raden Darissalam yang dikuburkan di barat Masjid Al-Amin, Kedungdandang, Tapanrejo.
Sejak saat itu, Den Daris dikenal sebagai kiai tanpa pondok pesantren.
***
Suatu hari, setelah lebih dari sepuluh tahun beliau wafat, putra dari Den Daris bernama KH Muh Jalaluddin, yang biasa dipanggil Den Muh, kedatangan tamu. Setelah kejadian itu Den Muh berkata kepada Mbah Lanji, “Le Iki onok wong Sukopuro (Srono, Banyuwangi) teko Sumatra titip salam teko Romo (panggilan Den Muh kepada Den Daris) (Nak, ini tadi ada orang Sukopuro dari Sumatera titip salam dari Rama).”
Menurut cerita di masyarakat, makam Den Daris tidak hanya ada di Kedungdandang, namun juga ada di Yogyakarta dan Sumatra.
Selain makam beliau, di Kedungdandang juga terdapat belasan makam lain yang terdapat dalam kompleks pemakaman barat masjid Al-Amin, di antaranya ialah; R.A. Wasingah (istri Den Daris), HM Jalaluddin Darussalam (putra Den Daris), Ny Dulbasir, Ny Jariyah, KH Syamsuri, K Prawirontani, H Abd Rahman, K Siroj, K Jalal, Ny Ma’arif, Ny Wasilah, M Ikhsan, M Fauzi, dan K Murvadi.
Hingga kini, makam Den Daris dikunjungi oleh banyak orang untuk berziarah. Di Kecamatan Muncar sendiri, selain makam Den Daris, juga terdapat makam beberapa orang yang sering dikunjungi, di antaranya adalah malam KH Abdul Manan (pendiri Ponpes Minhajut Thulab dan KH Askandar (pendiri Ponpes Manbaul Ulum) Sumberberas.
Sumber Rujukan:
Wawancara dengan Mbah Ahmad Lanji pada Oktober 2023.