Kiai Sajjad dan Darah Kepahlawanannya

1,074 kali dibaca

Banyak ulama yang rela mengorbankan jiwa dan raganya demi kemerdekaan negeri ini dan keselamatan umat. Salah satunya adalah KH Abdullah Sajjad, ulama asal tanah Madura. Darahnya tumpah ke tanah tempat ia sujud setelah tentara Belanda memberondongkannya dengan senapan.

Hingga kini namanya harum sebagai pahlawan bangsa. Prasasti perjuangannya masih berdiri kokoh di tanah tempat tumpah darah tercinta.

Advertisements

Kiai Sajjad, demikian sapaan KH Abdullah Sajjad, tak lain adalah salah satu pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep, Madura, Jawa Timur. Di Madura, Kiai Sajjad merupakan tokoh yang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Masih banyak saksi mata yang mengingatnya, seperti kesaksian Kiai Rahman, sebagaimana ditulis oleh K Ahmad Fauzan Rofiq di laman Facebook. Tertulis di sana bahwa Kiai Sajjad yang lahir sekitar tahun 1890 dari pasangan KH Mohammad Syarqawi dan Nyai Qamariyah ini mengembuskan napas terakhir ketika bersujud dalam salatnya.

Pada 1947, sekitar dua setelah proklamasi 17 Agustus 1945, tentara Belanda ingin kembali menguasai Indonesia dengan segala cara, termasuk kembali menjajah. Saat itu, tentara Belanda memasuki daerah Kecamatan Guluk-Guluk. Tujuannya tak lain untuk menangkap Kiai Sajjad, baik dalam keadaan hidup atau mati.

Seperti yang dituturkan oleh Kiai Rahman, alumni era awal Pesantren Annuqayah, bahwa pada saat itu Pesantren Annuqayah diperintahkan oleh Kiai Sajjad untuk dikosongkan. Hal itu karena Belanda akan memasuki area pesantren dengan tujuan untuk menangkap para kiai, khususnya Kiai Sajjad. Akan tetapi, Kiai Ilyas yang saat itu menjadi pengasuh pesantren, tidak ingin meninggalkan pesantren. Tentu saja dengan pertimbangan yang jauh lebih dipikirkan.

Dan benar saja, Belanda datang mengobrak-abrik area pesantren. Pada saat itu, sebagaimana diceritakan Kiai Rahman, pengasuh pesantren, Kiai Ilyas, sedang morok (mengajar) para santri di dalam masjid.

Anehnya, tentara Belanda yang berseliweran di sekitar pesantren tidak melihat Kiai Ilyas yang sedang mengajar kitab di masjid. “Itu adalah sala satu kejunelan (karomah) Kiai Ilyas Syarqawi,” demikian Kiai Rahman menjelaskan.

Sebenarnya, target tentara Belanda adalah untuk menangkap Kiai Sajjad. Akan tetapi, pada saat itu, Kiai Sajjad telah menyelamatkan diri dengan dibantu oleh masyarakat yang ada di sekitar sana. Maka Belanda pulang dengan tangan hampa. Karena Kiai Sajjad yang menjadi tujuan utama penangkapan telah pergi untuk menyelamatkan diri.

Menurut cerita, Kiai Sajjad berjuang dengan cara bergerilya. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, menyusun siasat perjuangan, agar tidak terdeteksi oleh tentara Belanda. Perjuangan secara gerilya ini memang seringkali menjadi momok bagi penjajah. Sebab, gerilya adalah berperang secara diam-diam, menyerang dalam sunyi, dan seringkali tidak diterbaca oleh tentara Belanda. Perjuangan semacam ini begitu ditakuti oleh penjajah, khususnya penjajah Belanda.

Akan tetapi, pada akhirnya sifat licik Belanda dapat dijadikan sarana untuk menangkap Kiai Sajjad. Dengan memanfaatkan para pecundang, orang pribumi yang gila akan kekayaan, dengan dibayar beberapa receh saja sudah mau bekerja sama dengan penjajah.

Demikian juga yang terjadi dengan Kiai Sajjad. Karena dikelabuhi oleh orang-orang licik, picik, dan hipokrit, akhirnya Kiai Sajjad keluar dari persembunyiannya. Melalui sepucuk surat yang ditengarai dibuat oleh orang-orang penjilat, akhirnya Kiai Sajjad mau berkunjung ke Pesantren Annuqayah yang memang sangat dirindukannya. Setelah sekian lama dalam gerilya, akhirnya Kiai Sajjad kembali ke kediamannya.

Dan itu juga yang menjadi akhir perjuangan Kiai Sajjad. Sebab, sesaat setelah Kiai Sajjad tiba di pesantren, beberapa tentara Belanda datang dan menangkapnya. Semula masyarakat banyak di sekitar pesantren, termasuk juga para santri yang ada di pesantren saat itu, berupaya membuat pagar betis untuk melindungi Kiai Sajjad. Tetapi, dengan ksatria, dan tidak ingin terjadi pertumpahan darah, Kiai Sajjad dapat meredam masyarakat yang telah siap mengorbankan jiwa dan raga.

“Kalian tetap tenang di sini. Jagalah pesantren dari bahaya yang mengintai. Aku akan selamat dalam perjalanan dan perjuangan ini,” demikian Kiai Sajjad mendinginkan suasana.

Malam itu juga, Kiai Sajjad dibawah ke markas tentara Belanda di Kemisan. Ini nama sebuah tempat di mana Kiai Sajjad pada akhirnya dieksekusi oleh Belanda dengan gelegar tembakan yang menyayat.

Namun, sesaat sebelum eksekusi dilakukan, Kiai Sajjad hanya menginginkan dua permintaan. “Setelah kalian membunuhku, segera angkat kaki dari daerah ini. Juga, izinkan aku salat sebelum ajalku melayang,” begitu Kiai Sajjad berkata tegas tanpa ada sedikit pun keraguan. Kedua permintaan itu disetujui oleh Belanda.

Dengan khusyuk, Kiai Abdullah Sajjad melaksanakan salat. Dua rakaat, kemudian ditambah dua rakaat lagi. Dan begitu seterusnya, hingga karena tidak sabar, dalam keadaan sujud Kiai Sajjad dihantam tembakan peluru sebanyak tiga kali.

Di malam yang senyap, roh suci itu melayang, diantar ribuan malaikat menuju hadirat Ilahi Robbi. Darah itu memancarkan semburat kudus/suci, merebak membasahi pertiwi, menguarkan seharum bunga di telaga surga.

KH Abdullah Sajjad meninggal dunia bertepatan dengan hari Selasa, 20 Muharram 1367 H atau 3 Desember 1947 di tangan tentara Belanda. Ketua Barisan Sabilillah itu gugur pada masa Agresi Belanda II.

Sebagai bentuk penghormatan dan bukti sejarah, di tempat ini didirikan tugu atau monomen sejarah perjuangannya dengan tulisan: Di Sini Pada Tanggal 03 Desember 1947 K.H. Abdullah Sajjad Syarqawi Ketua Barisan Sabilillah Gugur Sebagai Syahid Pada Masa Agresi Belanda II.

Itulah sejarah ringkas pejuang kemerdekaan KH Abdullah Sajjad, yang rela mengorbankan jiwa dan raga, ikhlas menumpahkan darah demi tegaknya kemerdekaan Indonesia. Masih dalam suasana Hari Kemerdekaan RI ke-76 ini, mari kita isi kemerdekaan dengan semangat membangun bangsa dan negara, menuju bangsa yang tumbuh dan tangguh. Sebagimana amanat HUT RI ke-76, 17 Agustus 2021, yaitu “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh.”

Wallahu A’lam!

Multi-Page

4 Replies to “Kiai Sajjad dan Darah Kepahlawanannya”

Tinggalkan Balasan