Kiai Sahal dan Fikih Sosial

1,573 kali dibaca

Siapa yang tidak mengenal sosok kiai kharismatik satu ini: KH Ahmad Sahal Mahfudh. Dikenal sebagai ulama sekaligus filsuf kontemporer, Kiai Sahal dikenang dengan konsepnya yang cemerlang: fikih sosial. Pernyataannya yang paling kontroversial adalah: menjadi orang miskin itu dosa!

Kiai Sahal Mahfudh dilahirkan di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, pada 17 Desember 1937. Kiai Sahal merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Terlahir dengan nama Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd Salam Alhajaini, Kiai Sahal putra dari pasangan dari Kiai Mahfudz bin Abd Salam Alhafidz dan Hj Badi’ah.

Advertisements

Kiai Sahal menikah dengan Hj.Nafisah pada 1968 dan dikarunai seorang putra bernama Abdul Ghofar Rozin. Kiai Sahal wafat pada Jumat 24 Januari 2014.

Kiai Sahal memang lahir dalam lingkungan pesantren. Maka tidak mengherankan jika di kemudian hari menjadi ulama besar yang berpengaruh. Sehingga, pernah menjabat sebagai Rais Aam PBNU pada 1999 menggantikan KH Ilyas Ruhiyat yang wafat. Kemudian, pada 2000-2014 menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.

Pengabdian Kiai Sahal kepada pesantren, masyarakat, dan ilmu fikih tidak diragukan lagi. Kiai Sahal penganjur untuk selalu tunduk secara mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fikih ditambah dengan keserasian akhlak yang diajarkan oleh para ulama tradisional. Bahasa pesantrenya tafaqquh atau memperdalam pengetahuan agama dan juga tawarru atau bermoral luhur.
Kiai Sahal juga dikenal sebagai ulama yang sangat gemar membaca buku. Hal ini dibuktikan dengan koleksi bukunya yang dimilikinya mencapai 1.800 buah buku. ang dibaca Kiai Sahal tidak hanya buku di bidang agama, melainkan juga bacaan umum seperti tentang psikologi, filsafat, sosiologi, hingga novel detektif.

Ketika usianya belum genap 40 tahun, Kiai Sahal telah menunjukkan kecerdasannya dalam berbagai forum fikih. Misalnya, Kiai Sahal aktif di berbagai bahtsu masail yang diselenggarakan tiga bulan sekali oleh Syuriah NU Jawa Tengah.
Kiai Sahal mulai memimpin Pondok Pesantren Maslakul Huda pada 1968. Pesantren ini didirikan oleh ayahnya, KH Mahfudz Salam, pada 1910. Sebagai seorang ulama sepuh NU, Kiai Sahal dikenal sebagai pembaharu pemikiran tradisional di kalangan nahdliyin.

Kiai Sahal juga mendorong kemandirian umat dengan cara memajukan kehidupan santri dan juga masyarakat sekitar pesantrennya melalui pengembangan sosial, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Atas jasa-jasanya tersebut, akhirnya Kiai Sahal dianugerahi gelar Doktor Kehormatan atau Doctor Honoris Causa dalam bidang pengembangan ilmu fikih serta pengembangan pesantren dan masyarakat oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Juni 2003.

Kiai Sahal juga dikenal seorang filsuf islam kontemporer. Ia merupakan sosok yang selalu merasa resah dan gelisah dalam memikirkan kebenaran suatu ilmu pengetahuan dan realitas masyarakat yang banyak mengalami ketimpangan sosial.

Penggagas Fikih Sosial

Karena itu, Kiai Sahal merasa bahwa fikih yang dipelajarinya sejak kecil rupanya kurang mampu menjawab problematika umat, seperti masalah kemiskinan, kemunduran, dan keterbelakangan sosial. Fikih yang diperlakukan sebagai doktrin Tuhan dan kehilangan fungsi transformasi sosial, struktural, maupun kultural. Ia merasa banyak ahli fikih terjebak dalam ranah tekstualis, formalitas, dan simbolis. Di sisi lain, masyarakat justru jauh dari nilai-nilai agama, khususnya dalam ajaran fikih. Hedonism, sekulerisme, dan imoralitas menjadi fakta sosial yang lepas dari tali agama.

Kondisi itulah yang mengantarkan Kiai Sahal pada arah pergulatan intlektual, yang akhirnya melahirkan karya monumental yang sangat bermanfaat bagi keilmuan dan juga trasformasi sosial. Fikih sosial akhirnya lahir sebagai jawaban atas kegelisahan Kiai Sahal terhadap ketimpangan sosial.

Bukan hanya seorang pemikir kontemporer, Kiai Sahal pun akhirnya juga dikenal sebagai seorang konseptor, aktivis, organisator, dan motivator ulung dalam pemberdayaan social kemasyarakatan. Meminjam bahasa Muhammad Iqbal, seorang filsuf Islam, Kiai Sahal turun dari singgasana menara gading menuju realitas empiris untuk menggerakkan perubahan sosial yang dinamis.

Seperti kata Roscoue Pound, Islam in book and Islam in action, bahwa Islam itu harus bersifat mutualisme atau menguntungkan satu sama lain, tidak terdikotomi secara teori dan praktik. Meminjam istilahnya Amin Abdullah, Islam normatif dan historis terintegrasikan secara baik. Dan, di sini Kiai Sahal meneruskan dakwah Nabi Muhammad yang hendak membebaskan kaum mustadh’afin atau kaum lemah dan tertindas dengan cara membangkitkan harga diri dan keteladanan hidup yang sederhana.
Fikih sosial Kiai Sahal hendak mengubah kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran masyarakat, khususnya bagi masyarakat Kajen, Pati yang menjadi tempat tinggalnya. Secara geografis, pada mulanya Kajen merupakan lahan yang tandus dan kering, lalu berubah, masyarakat mulai maju, menjadi kaya, dan memiliki peradaban.

Revolusi Teologis

Kiai Sahal telah melakukan revolusi teologis tentang hakikat kaya dan miskin. Setelah mengkaji banyak literatur, baik dari Al-Quran maupun hadis, akhirnya Kiai Sahal menyimpulkan bahwa kemiskinan itu bertentangan dengan dengan Islam. Islam menghendaki kemakmuran, kesejahteraan, kecukupan, dan kemajuan di segala bidang kehidupan, terutama ekonomi dan pendidikan.
Menurut Kiai Sahal, menjadi miskin itu merupakan dosa, karena kemiskinan akan membawa pada jurang kehancuran dan kebinasaan, pendidikan tidak mengalami kemajuan, kebudayaan mengalami kemerosotan, lebih parahnya lagi mengorbankan iman demi harta.

Saat itu, apa yang diungkapkan Kiai Sahal ini menjadi tamparan keras bagi masyarakat Kajen dan dianggap pernyataan Kiai Sahal ini sebagai pernyataan yang kontroversial. Kiai Sahal bukan hanya mengeluarkan statemen controversial, namun juga melakukan kerja kultural, institusional, gradual, sistematis, dan struktural. Pergaulan Kiai Sahal tidak hanya terbatas pada kalangan ulama, tetapi juga berkawan dengan cendekiawan, aktivis LSM, dan birokrat sehingga tidak heran jika dikemudian hari Kiai Sahal memiliki sikap yang moderat, inklusif, dan progresif.

Dalam membumikan fikih sosialnya, Kiai Sahal menemui rintangan, yaitu para Kiai Kajen yang menggunakan paradigma fikih klasik yang tekstualis, eksternal, dan final sebagai pemecah masalah. Para Kiai menuduh Kiai Sahal sebagai antek-antek zionis dengan program pemberdayaan sosial yang digagasnya.

Menghadapi tantangan yang demikian berat, Kiai Sahal mengerahkan segala kemampuan untuk membuktikan bahwa fikih tidak anti terhadap pemberdayaan sosial, justru sudah seharusnya fikih tampil sebagai pelopor ekonomi kerakyatan sebagaimana perintah dalam Al-Quran dan hadis.
Dekontruksi fikih menjadi langkah utama Kiai Sahal yang tidak dapat dihindari.

Dekontruksi adalah aliran dalam filsafat yang dikenalkan pertama kali oleh Jacquess Derrida, dan hal ini betul-betul dipraktikan Kiai Sahal dalam mendekonstrusi fikih klasik yang cenderung konservatif menjadi fikih yang bersifat inklusif. Tentunya hal ini dalam rangka mengubah dunia sesuai dengan ajaran agama.

Transformasi fikih sosial yang diwujudkan Kiai Sahal untuk mengubah dunia seperti ungkapan Karl Marx bahwa “para filsuf sampai hari ini hanyalah menafsirkan dunia. Namun, kini saatnya untuk mengubah dunia.”

Fikih sosial yang digagas Kiai Sahal merupakan fikih yang transformatif dan bersifat kebaruan menuju masyarakat yang adil, sejahtera, dan bahagia. Kelahiran fikih sosial ini menjadi embrio dari fikih peradaban, fikih yang telah melahirkan peradaban baru bersifat progresif, modern, dan produktif dalam menghasilkan karya intlektual dan sosial.

Pada konteks ini, sudah seharusnya generasi muda apa lagi bagi seorang santri harus kreatif untuk meneruskan dan juga mengembangkan fikih sosial dari Kiai Sahal. Fikih sosial Kiai Sahal ini dapat menjadi alat mediator di antara dua kecenderungan, yaitu liberasi dan fundamentalisasi. Fikih tetaplah berpijak pada teks-teks agama, namun dia juga harus selalu melihat kenyataan sosial atau realitas sosial secara transformatif.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan