Kiai Kampung dan Perkembangan Islam di Indonesia

1,436 kali dibaca

Diakui atau tidak, selama ini sejarah seringkali bersikap tidak adil dan objektif dalam merekam jejak perjuangan seseorang. Ia hanya fokus terhadap perjuangan orang-orang kota. Sejarah seakan-akan enggan untuk menyorot perjuangan tokoh-tokoh pinggiran yang bertempat tinggal di daerah-daerah pelosok pedesaan (pedalaman). Bahkan, dalam buku-buku sejarah kiprah para kiai yang berjuang di pulau-pulau terpencil dan terbelakang nyaris tak pernah dicatat. Kalaupun ada hanyalah tokoh-tokoh tertentu yang orang kebanyakan mengenalnya (namanya masyhur).

Padahal, jika kita menilik kembali secara objektif sejarah berkembangnya ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah di Indonesia, tak bisa dilepaskan dari peran aktif para kiai pinggiran tersebut, yang kemudian akrab dikenal dengan sebutan “kiai kampung”. Mereka secara konsisten berjuang di level paling bawah. Bahkan, menjadi ujung tombok pertahanan Islam. Kesiapsiagaannya selama 24 jam untuk membantu masyarakat yang membutuhkan tenaganya – baik menyangkut pendidikan (Islam) maupun masalah-masalah kehidupan sosial yang dihadapi masyarakat – adalah wujud nyata perjuangan mereka.

Advertisements

Tak heran jika dalem (rumah)-nya selalu ramai dengan para tamu yang datang, tentu dengan beragam hajat dan keperluan. Saban waktu nyaris tak pernah sepi dari tamu. Dan tamu yang datang pun berasal dari semua kalangan. Mulai dari para pemimpin di semua tingkat hingga lapisan terbawah masyarakat. Ada yang bersepatu, bersandal dan banyak juga tanpa alas kaki. Dari pengusaha, dokter, ustaz, politisi hingga buruh tani dan TKI di luar negeri mendatangi rumah kiai.

Lihat, misalnya, di pulau-pulau terpencil di Kabupaten Sumenep, Madura, tepatnya di Kangean. Ada banyak kiai-kiai kampung yang sangat gigih untuk menyebarkan ajaran Islam rahmatan lil alamin. Sementara dalam mendakwahkan Islam, para kiai itu memiliki cara atau strategi tersendiri. Ada yang – meminjam istilah Kiai Moqsith Ghazali menjadi kiper (hanya fokus mendidik santri), dan ada pula yang menjadi penyerang (bergerak ke luar untuk mengedukasi masyarakat dengan tampil sebagai da’i atau mubalig).

Adalah sosok KH Syarfuddin Abdus Shomad (1925-2022), pendiri PP Zainul Huda Duko Lao’ Arjasa, Kangean, Sumenep, yang memainkan peran sebagai kiper, misalnya. Hari-harinya dipenuhi dengan aktivitas untuk mendidik santri, dari habis salat subuh hingga larut malam. Kitab-kitab yang dibacakan untuk santri juga beragam, dari nahu-saraf, fikih, hingga tasawuf. Di antaranya; Jurumiyah, Mutammimah, Ibnu Aqil, Fathul Qorib, Bidayatul Hidayah, Kifayatul Atqiya’, Safina-Sulam, dan lain-lain.

Menarik, Kiai Syarfuddin tak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada santrinya, tapi juga mengajari tentang tata cara bercocok tanam atau bertani. Bertani, demikian Kiai Syarfuddin, adalah bagian dari upaya mengentaskan problem sosial seperti kemiskinan yang dialami masyarakat. Juga untuk melatih kemandirian dan wirausaha seseorang.

Tak ayal, ketika selesai mengajari santrinya di pagi hari, Kiai Syarfuddin menggunakan waktu luangnya itu untuk pergi ke sawah dan kebun miliknya bersama para santri. Selain untuk memastikan tanamannya dalam keadaan baik-baik saja, juga dalam rangka memberi keteladanan terhadap para santrinya bahwa: tugas seorang santri bukan hanya mengaji kitab, melainkan juga belajar menjadi orang yang mandiri dengan cara bertani.

Sementara sosok yang berperan sebagai penyerang, adalah KH Abdul Adhim Cholil (1930-1992), pendiri PP Al Hidayah Arjasa, Kangean, Sumenep. Beliau tidak hanya fokus mendidik santri-santrinya, tapi juga tampil menjadi seorang mubaligh. Bahkan, aktivitas kesehariannya lebih banyak dihabiskan wira-wiri ke mana-mana untuk berdakwah daripada menjadi seorang pengasuh pesantren. Jangkauan dakwahnya tak hanya di Kecamatan Arjasa tempat Kiai Abdul Adhim tinggal, namun merambah ke pelosok pedesaan di Kangean yang sangat terisolasi.

Meski menjadi mubaligh, tapi tak seperti para mubalig pada umumnya yang kerap duduk di sadel sepeda motor apalagi sofa mobil-mobil mewah. Beliau hanya bermodalkan kuda sebagai tunggangannya. Terkadang, juga menaiki perahu demi mendakwahkan Islam. Jangan bertanya berapa finansial yang diperolehnya. Tapi, tanyalah berapa banyak beliau memperoleh caci-maki. Ala kulli hal, payah di atas payah.

Walau demikian, ghirah untuk menyebarkan Islam tak pernah susut. Alih-alih merasa lelah, justru spirit untuk mendakwahkan Islam semakin berkobar dalam dirinya dari waktu ke waktu. Sebab, hal yang paling diingat dalam hati Kiai Abdul Adhim adalah dawuh gurunya, yaitu KHR As’ad Syamsul Arifin Sukorejo, Situbondo: “Jika tak mau repot, jangan berjuang. Perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan.” Dawuh gurunya inilah yang menjadi spirit beliau untuk tetap konsisten mendakwakan Islam sekalipun harus mengorbankan nyawa.

Tokoh lain yang juga berperan sebagai penyerang yaitu KH Mohammad Qasdussabil (1943-2012), pendiri PP Sabiliyah Arjasa Kangean Sumenep. Seperti umumnya kiai pesantren, hari-hari Kiai Qasdussabil dipenuhi dengan aktivitas bermanfaat buat umat. Sepulang dari kantor Pengadilan Agama Arjasa, Kangean, Sumenep (maklum beliau menjadi hakim di kantor ini), waktunya dikhususkan untuk mengajari santri dan bahkan hingga larut malam.

Kiai Qasdussabil bukan tipe kiai yang aktivitas kesehariannya hanya berkutat antara rumah (mendidik santri) dan kantor. Beliau aktif bergerak ke luar dengan tampil sebagai mubalig. Tapi, tak seperti umumnya para mubalig, ceramah beliau cenderung monoton dan tak jarang membosankan. Sebab, pesan-pesan yang disampaikan cukup ringkas berupa pokok-pokok pikiran, juga intonasinya datar, dari awal hingga akhir.

Sebagai mubaligh, beliau jauh dari kategori humoris. Karenanya, tak memenuhi kualifikasi sebagai seorang penceramah hebat. Sehingga, mendengar ceramah Kiai Qasdussabil seperti sedang mendengarkan kiai membaca kitab kuning di pesantren. Beliau bisa melompat-lompat mengutip dalil, dari Nadham Zubat ke teks Nashoihul ‘Ibad dan Ihya’ Ulumiddin. Bahkan, di beberapa tempat tak jarang beliau mengurai ayat Al-Quran dari sudut Balaghatil Quran yang sulit dikunyah orang kebanyakan.

Kendati kemampuan berceramahnya tak memenuhi kualifikasi, tapi kealimannya di bidang ilmu agama diakui banyak kalangan baik kiai maupun masyarakat umum. Bukan hanya di Kangean, melainkan di pesantren tempat Kiai Qasdussabil belajar dulu, yaitu PP Sukorejo Asembagus Situbondo. Kiai Afifuddin Muhajir (Situbondo) misalnya, yang dikenal pakar ushul fikih dari timur itu, mengakui akan kealimannya. Bahkan, Kiai Afif pernah belajar Lubbul Ushul kepadanya.

Tak hanya mengajar Lubbul Ushul, ketika Kiai Qasdussabil masih menjadi ustaz di Pesantren Sukorejo, beliau membuka pengajian kitab-kitab babon seperti Fathul Wahab, Iqna’, Ibnu Aqil, dan lain-lain. Saking mendalamnya penguasaan Kiai Qasdussabil terhadap fikih, qawaid fikih, dan ushul fikih mengantarkannya menjadi sosok kiai yang berpikiran moderat, inklusif, dan modern.

Berkat perjuangan gigih para kiai kampung dalam mendakwakan Islam yang jauh dari pusat kota, ditopang dengan kesabaran dan keikhlasan itu, akhirnya banyak masyarakat yang mengenal dan memahami ajaran Islam. Bahkan, mereka mampu memproduksi orang-orang hebat yang kemudian menjadi pilar-pilar penting di dalam percakapan Islam di Indonesia. Ini berarti, mereka tidak hanya mendakwakan Islam namun juga mempersiapkan kader-kader ulama masa depan. Bukan hanya alim di bidang ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu lain seperti pertanian, peternakan, pertukangan, dan lain-lain.

Jelas, kontribusi kiai kampung sangat besar terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Karena itu, kita patut memberikan apresiasi yang sangat besar pula terhadap perjuangan mereka. Sebab, mengutip pendapat Gus Ulil Abshar Abdallah ketika menyampaikan doa dan takziah atas berpulangnya ayahanda KH Abdul Moqsith Ghazali, yaitu KH Ghazali Ahmadi, kedudukan kiai-kiai kecil (kampung) kadang-kadang jauh lebih penting daripada kiai-kiai besar. Karena, dari hasil perjuangan merekalah lahir orang-orang hebat. Memang, peran mereka tidak kelihatan, tetapi hasilnya dapat dilihat dan dinikmati orang kebanyakan. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan