Kiai Imad, Penulis Kitab yang Produktif

2,786 kali dibaca

Mengikuti tradisi ulama Banten, setelah mondok di berbagai pesantren, KH Imaduddin Ustman al-Bantani banyak menulis kitab. Kemampuannya menulis kitab dalam Bahasa Arab itu juga ditularkan kepada para santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Kresek, Kabupaten Tangerang, Banten.

Kini, Kiai Imad, panggilan akrab KH Imaduddin Ustman al-Bantani, fokus mengasuh pesantren yang didirikannya pada 2002. Pada awalnya, Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum dirancang sebagai pesantren dengan metode pembelajaran salafiyah murni, tak ada pendidikan formal karena berfokus pada pengkajian kitan kuning, dengan target dalam tiga tahun tiap santri  telah dapat membaca kitab kuning.

Advertisements

Namun, dalam perkembangannya, Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum juga menyelenggarakan pendidikan formal, di antaranya Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) dengan mengikuti kurikulum standar nasional. Tapi, metode pembelajaran salafiyah tetap dipertahankan agar para santrinya meneruskan tradisi keilmuan ulama salafussolih yang diturunkan secara turun-temurun oleh para kiai salaf. Selain itu, para santri juga diajari menulis kitab kuning.

Syekh Ciliwulung

Kiai Imad merupakan salah satu keturunan Syekh Ciliwulung yang lebih dikenal sebagai Raden Kenyep dari Cakung, Kecamatan Kresek, Tangerang. Sejak kecil, Kiai Imad telah berpisah dengan ayahnya sehingga hanya tinggal bersama ibu dan kakeknya.

Saat berusia 15 tahun, ia dikirim ke Pesantren Ashabul Maimanah Sampang Tirtayasa, Serang, di bawah asuhan Syekh Muhammad Syanwani bin Abdul Aziz dan adik serta dua orang menantunya, yaitu KH Marqawi dan KH Suhaimi. Di sana, ia mengaji serta meneruskan belajar hingga jenjang aliyah.

Saat itu, Kiai Sanwani merupakan seorang ulama yang produktif menulis. Salah satu kitabnya yang mashur dan digunakan oleh alumninya yang mendirikan pondok adalah Kitab Babe Nenem.

Kitab ini berfokus pada pembahasan ilmu morfologi (saraf) dan diawali dengan dua puluh tujuh bait nadzom yang mencakup keseluruhan pembagian-pembagian wazan dalam ilmu saraf dengan menggunakan logat jawa.

Setelah tiga tahun lamanya ia mengemban ilmu di Pesantren Ashabul Maimanah Sampang, ia pun melanjutkan pembelajaran di Pesantren Riyadul Alfiyah Kadukaweng asuhan Syekh Mama Sanja. Dan setelah menamatkan beberapa kali kitab Alfiyah, ia kembali lagi ke Pesantren Ashabul Maimanah selama beberapa bulan. Setelah itu, ia berguru kepada Syekh Mufti bin Asnawi untuk menimba ilmu di Pesantren Cakung Srewu selama dua tahun.

Sesudah manamatkan kitab-kitab dan mengambil barokah Syekh Mufti Asnawi, ia pun melanjutkan pembelajarannya di Pondok Pesantren At-thohiriyyah Kaloran Serang asuhan Kiai Tubagus Hasuri bin Thohir. Saat bersamaan, Kiai Imad kuliah selama empat tahun di Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Setelah belajar di berbagai pesantren untuk mengkaji, mengasah, dan memperdalam ilmu-ilmu agama, seperti yang dilakukan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani, Kiai Imad kemudian ia belajar kepada para syekh di Kairo Mesir. Sepulang dari sana, pada 2002 Kiai Imad mendirikan Pesantren Nahdlatul Ulum. Melalui pesantren yang dirintisnya, Kiai Imad ingin banyak melahirkan generasi pewaris para nabi yang siap mengemban amanah ilmiah dengan bekal akhlak seorang sufi dan mental seorang pejuang, sesuai motto pesantrennya, “Berakhlak Sufi Bermental Pejuang”.

 Menulis Kitab

Selain mengasuh pesantren, Kiai Imaduddin Ustman juga banyak menghabiskan waktunya untuk menulis kitab. Salah satu kitabnya yang terkenal dan banyak dikaji dan tersebar di beberapa pondok pesantren adalah Kitab Al-fikroh An- Nahdiyyah. Kitab setebal 250 halaman yang ditulis dalam Bahasa Arab ini membahas dasar-dasar pemikiran Ahli Sunnah Wal Jama’ah berikut masalah-masalah fikih kontemporer, khususnya pada zaman modern ini. Dengan metode tulisannya yang baik, kitab ini pun diterima dengan baik oleh tokoh-tokoh besar, khususnya kalangan Nahdlatul Ulama (NU).

Hingga kini, sudah belasan kitab kuning yang ditulis Kiai Imad.Sebutlah kitab Asy-Syauqah fi Risalat al-shorfiyyah yang menerangkan tentang ilmu saraf atau kitab Tuhfatuttolibin fi Matholibil Mubtadiin yang menerangkan masalah-masalah fikih. Ada juga kitab tasawuf berjudul At-Ta’aruf fi Ilmittasawwuf, dan masih banyak lagi.

Kini, Kiai Imad tercatat sebagai salah satu ulama di Indonesia masa kini yang produktif menulis kitab, meneruskan tradisi ulama terdahulu, sekaligus mewariskan tradisi keilmuan kepada generasi santri yang akan datang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan