Kiai Ghazali Ahmadi yang Berjuluk Raksasa Genius

1,799 kali dibaca

Bagi masyarakat Kangean, Semunep, KH Ghazali Ahmadi dikenal sebagai sosok kiai, ulama, dan guru yang sederhana, santun, dan bersahaja. Ia juga dikenal sebagai bagian penting dalam penyebaran agama Islam di awal tahun 1980-an hingga 2021. Kontribusinya begitu besar terhadap tegaknya Islam Ahlussunnah Waljamaah terutama di pulau-pulau terpencil di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Lebih dari itu, Kiai Ghazali lebih dikenal sebagai sosok kiai yang toleran, egaliter sekaligus panutan/teladan segala aspek. Dalam kesehariannya, Kiai Ghazali tidak menampakkan sifat ketokohannya. Kiai Ghazali tetap menjalani hidup layaknya masyarakat setempat, yaitu tekun bekerja, membantu masyarakat; membersihkan halaman rumahnya hingga ruas jalan, dan lain sebagainya.

Advertisements

Kiai Ghazali Ahmadi lahir di Dusun Arjasa Lao’ (Selatan), Desa Arjasa, Kabupaten Sumenep pada 4 Mei 1945 dan wafat pada Jumat, 16 Juli 2021. Ia terlahir dari pasangan Bahauddin ibn ‘Adhuddin dan Nur Thayyibah binti Halimah (Nyai Sepuh) binti KH Dawud ibn KH Damsyiah ibn KH Abdul Bari (Ju’aji). Melalui jalur ibundanya, Kiai Ghazali adalah keturunan kiai atau ulama yang cukup berpengaruh terutama di Arjasa Lao’ dan Duko Lao’.

Meskipun berasal dari keluarga sederhana, Kiai Ghazali tumbuh menjadi sosok yang dikenal cerdas dan senang mengembara dalam rangka mencari ilmu. Maka, Ghazali kecil bukan hanya bersekolah di SDN Arjasa I Sumenep, melainkan juga ngaji. Ia ngaji pada pamannya sendiri, KH Syarfuddin Abdusshomad. Di samping itu, ia juga ngaji pada para kiai lain di Kecamatan Arjasa.

Hampir sepanjang hari seluruh waktunya dimanfaatkan untuk belajar. Sekiranya dari pagi sampai siang bersekolah di Sekolah Dasar, siang sampai sore hari mengaji pada Kiai Syarfuddin, maka malam harinya walau tidak kontinu, Ghazali kecil mengaji pada KH Rasyid Ridha dan KH Kanawi Fadhlillah. Dan ketika Kiai Abdul Adhim hijrah ke Kangean Sumenep pada 1957, Ghazali muda bersama Qasdussabil menambah ngaji kitabnya pada KH Abdul Adhim, seorang kiai asal Gowa-Gowa Raas, Sumenep, lulusan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.

Yang menarik dari Kiai Ghazali Ahmadi, ia tak seperti kebanyakan kiai pada umumnya yang kerap belajar ke Mekkah. Saat itu, Mekkah diyakini sebagai salah satu tempat terbaik menuntut ilmu (di bidang keagamaan). Namun, ia memilih hanya belajar di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo. Meski begitu , kepiawaian dan kedalaman ilmu di bidang agama tidak ada seorang pun yang meragukannya. Bahkan, tatkala masih menjadi santri di Sukorejo, Kiai Ghazali termasuk santri kinasih KH R As’ad Syamsul Arifin.

Dari saking alimnya di bidang ilmu agama, Kiai Ghazali menjadi rujukan utama bagi masyarakat Kangean, tak terkecuali para dai, pejabat, dan lain-lain.Terbukti, ndalem (rumah) Kiai Ghazali tak pernah sepi didatangi para tamu, mulai dari tamu kelas papan atas hingga akar rumput (masyarakat kelas bawah) dengan maksud dan tujuan yang berbeda-beda.

Dalam mempelajari ilmu, Kiai Ghazali tidak sekadar mendalami ilmu agama, melainkan juga ilmu-ilmu umum, seperti ilmu politik, pemikiran Islam kontemporer, sejarah Indonesia, kajian orientalis, dan lain sebagainya. Maka tidaklah berlebihan jika Kiai Ghazali dijuluki sebagai “raksasa genius” dari Pulau Kangean. Bahkan, Kiai Ghazali juga dikenal sebagai seorang filosof dan intelektual Islam kontemporer.

Selain itu, Kiai Ghazali juga termasuk ulama yang produktif dalam menghasilkan karya. Karya tulisnya kurang lebih 10 kitab. Salah satunya adalah Sabilul Jannah, kitab fikih ibadah praktis dan mudah untuk dipahami. Menariknya, kitab ini ditulis dalam bentuk Arab pegon meskipun bahasanya menggunakan bahasa Madura. Tentu, tujuannya tidak lain dan tidak bukan untuk mempermudah bagi para pemula yang hendak belajar kitab kuning, khususnya masalah ibadah. Dalam kolofonnya, kitab ini dianggit pada waktu Kiai Ghazali berada di Pondok Pesantren Sukorejo, Situbondo bersanding dengan karya KH   As’ad Syamsul Arifin, bertajuk Isra’Mi’raj.

Cara Dakwah Kiai Ghazali

Sebagai seorang yang alim, khususnya di bidang ilmu agama, tentu saja Kiai Ghazali memahami betul bahwa ilmu yang dimilikinya bukan sekadar untuk pribadinya (tidak disebarkan). Tetapi, bagaimana bermanfaat terhadap orang lain. Karena, hakikat dari ilmu sendiri adalah untuk diamalkan dan disebar-luaskan kepada seluruh umat manusia.

Pun, dalam menyebarkan ilmu (memberikan pendidikan) kepada masyarakat, tentu memerlukan suatu metode atau strategi yang tepat agar tujuan yang dikehendaki bisa tercapai. Begitu pula dengan Kiai Ghazali, yang mencoba merumuskan metode yang layak (tepat) digunakan sebagai strategi untuk menyebarkan ilmu disesuaikan dengan kehidupan masyarakat. Di antara metode tersebut adalah; ceramah (bil lisan) dan keteladanan atau praktik (bil hal).

Dengan bil lisan, Kiai Ghazali memberikan pengajian kitab kuning (karya-karya ulama klasik) terhadap masyarakat. Di antara kitab yang diajarkan adalah Safinatu an-Najah, Sulamu al-Taufiq, Syarah al-Hikam, dan lain sebagainya. Selain melalui pengajian, beliau juga menempuh jalur “ceramah” dalam menyebarkan ilmu.

Yang tak kala menariknya dalam menyebarkan ilmu, Kiai Ghazali tidak melulu sekadar menempuh jalur “ceramah” dan “pengajian kitab kuning”. Tetapi juga memberikan keteladanan atau praktik konkret (bil hal) kepada masyarakat. Bahkan, Kiai Ghazali mengaksentuasikan praktik daripada ucapan. Sebab, menurutnya, praktik (keteladanan) lebih efektif dan mudah diterima daripada ucapan. Apalagi, objeknya adalah masyarakat Kangean yang notabene masyarakatnya adalah pekerja keras.

Namun, dalam menyebarkan ilmu tentu seseorang akan menemui pelbagai rintangan, ancaman, dan cacian dari masyarakat begitu. Pun, dengan Kiai Ghazali. Bagi Kiai Ghazali, rintangan, ancaman, dan cacian tersebut sudah menjadi “makan setiap harinya”. Bukan sedakar fisik, melainkan juga psikis dan bahkan tak jarang Kiai Ghazalidiserang melalui ilmu gaib.

Akan tetapi, hal tersebut tidak menggoyahkan sedikit pun ghirah Kiai Ghazali untuk menyebarkan ilmu. Karena, Kiai Ghazali memahami betul bahwa mendidik umat bukanlah sesuatu hal yang mudah, tetapi memerlukan keteguhan, kesabaran, pengorbanan, dan ketabahan dengan disertai konsistensi yang kuat dalam diri seseorang.

Kegigihan yang kuat dengan ditopang sifat kesabaran dan ketabahannya, lambat laun masyarakat Kangean sudah mulai menerima kehadiran Kiai Ghazali. Alhasil, masyarakat yang awalnya “jahiliyah” berubah menjadi masyarakat yang beradab, berakhlak, serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan bahkan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya hingga saat ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan