Kiai dan Teologi Tanah-Air (1): Artikulasi Wahyu ke Realitas

2,231 kali dibaca

Tanah dan air adalah mutlak milik Allah karena bumi dan seisinya serta seluruh alam semesta ini adalah ciptaan-Nya. Manusia hanya berhak memanfaatkan dan menggunakan tanah dan air dengan syarat harus dimanfaatkan dan digunakan dengan sebaik-baiknya.

Tafsir QS al-Hasyr ayat 7 merupakan landasan normatif teologis agar tidak terjadi akumulasi modal dan alat produksi hanya pada satu kalangan. Jangan sampai harta kekayaan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Sebagai anugerah Tuhan kepada manusia, tanah adalah tempat tinggal dan sumber mencari nafkah. Dengan demikian, tanah bermakna sebagai tempat tumpah darah sekaligus kampung halaman. Bagi manusia, tanah adalah suci.

Advertisements

Manusia sendiri tercipta dari tanah, yang termaktub dalam firman Tuhan pada QS Shad ayat 71 dan QS Hud ayat 61: “Dia-lah yang menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya.” “Barang siapa memakmurkan (mengatur) suatu bumi (tanah) yang tidak dimiliki oleh siapa pun, maka ia berhak untuk memilikinya.” HR Malik, Ahmad, Bukhari dan Abu Daud. Nabi pernah membatalkan pemberian sebidang tanah kepada seorang sahabat karena tanah tersebut mengandung garam yang dibutuhkan masyarakat. Beliau menginginkan tanah tersebut dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara adil.

Allah SWT berfirman dalam QS al-A’raf ayat 56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…” Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa mengambil sejengkal tanah saudaranya dengan zalim, niscaya Allah akan mengimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” HR Muslim. Rasul bersabda: “Terlaknat orang yang melakukan tindakan kerusakan terhadap sesama muslim maupun lainnya.”

Kanun Malaka

Bagi bangsa Indonesia yang agraris sekaligus maritim, tanah dan air (sungai atau laut) adalah alat-alat produksi. Berdasarkan firman Tuhan, alat-alat produksi ini wajib dikelola sebaik-baiknya dengan adil untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Masyarakat Jawa memiliki kearifan: “Sedumuk bathuk, senyari bumi, ditohi tekaning pati.” Hak atas tanah walau hanya sejengkal, harus diperjuangkan hingga tetes darah terakhir. Di Sulawesi Selatan, masyarakat Tanah Toa Kajang memiliki konsep Tanah Berberkah yang tertulis dalam Pasang ri Kajang. Tanah ibarat ibu, sumber kehidupan dan keberkahan yang harus dijaga. Hutan karama atau keramat juga merupakan tanah berberkah.

Pada abad ke-7, para mubaligh dari tanah Arab membawa Islam ke Nusantara. Sejak saat itu hingga saat ini, perjumpaan Islam dengan tradisi-tradisi di Nusantara, melahirkan Islam yang khas Nusantara. Pribumisasi Islam, menurut istilah Gus Dur. Pada abad ke-15, Muhammad Shah, Raja Kerajaan Malaka, memberlakukan Kanun Malaka yang merupakan perpaduan aturan adat dan aturan Islam untuk mengatur tatanan masyarakat. Di dalam Kanun Malaka terdapat UU Laut atau Maritim Law yang disusun oleh Sunan Giri. UU Laut mengatur pengelolaan sistem pelayaran di Asia Tenggara.

Sunan Giri atau Raden Paku, kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya termasuk Ki Ageng Pengging ayah Jaka Tingkir, merombak paradigma sistem feodal tanah milik raja menjadi atau mengembalikannya semula bahwa Allah pemilik tanah dan alam semesta ini untuk kemakmuran manusia yang berdiam di atasnya. Dampaknya adalah, Sultan Hadiwijaya sebagai Raja Pajang dan Sutawijaya sebagai Raja Mataram Islam mempersilakan rakyat yang bersedia babat alas untuk mengelola tanahnya dan mengambil manfaat dari tanah tersebut. Dengan demikian rakyat berdaulat atas tanah tempat mereka berpijak, mencari makan dan hidup di atasnya.

Namun pada abad ke-17, Amangkurat I bekerja sama dengan VOC menyatakan bahwa tanah adalah milik raja atau setidaknya seperlima dari tanah tersebut milik raja. Selama 350 tahun masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, bangsa Indonesia khususnya petani dan nelayan, kehilangan kedaulatan tanah airnya. Hingga, pada 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, kedaulatan Bangsa Indonesia atas tanah air Nusantara tegak kembali.

Sepanjang abad ke-16 hingga abad ke-20, kiai-kiai mendirikan pesantren-pesantren di Pulau Jawa dan segenap penjuru Nusantara untuk mendidik dan memajukan masyarakat melalui proses pendidikan Islam. Para kiai mendirikan pondok pesantren tersebut di atas tanahnya sendiri atau wakaf dari masyarakat yang bersimpati terhadap perjuangannya. Kemandirian para kiai merawat, mengelola, dan mengembangkan pondok pesantren berkat basis agraria yang kokoh juga maritim.

Dengan kultur agraris dan maritim, para kiai dan santri mampu bertahan hidup dan memberikan perlawanan terus menerus terhadap para penjajah hingga Indonesia merdeka. Bangsa Indonesia, dengan budaya agraris dan maritim yang berbasis tanah pertanian, sungai dan laut, berhasil mempertahankan kedaulatan dirinya, jati dirinya dan kebudayaannya hingga saat ini.

Di Bugis-Makassar, UU Maritim Amanna Gappo kuat dipengaruhi oleh konsep UU Lautnya Sunan Giri. Undang-undang mengatur khusus persoalan maritim dan perdagangan melalui laut serta menjaga kedaulatan laut di sekitar Makassar. Kerajaan Bugis-Makassar, berdasarkan ajaran para murid Sunan Giri yaitu: Datuk Patimang, Datuk ri Bandang, dan Datuk ri Tiro, menerapkan model kepemilikan tanah bersama. Tanah adat atau bekkong adalah milik bersama. Pimpinan adat berhak mengelolanya serta memberi kesempatan kepada masyarakat untuk ikut mengelola dengan sistem bagi hasil.

Di Tiro Bulukumba, Datuk ri Tiro mengajak masyarakat untuk mengolah tanah-tanah yang kering dan berbagai lahan tidur. Untuk membuatkan sumber mata air bagi penduduk di Hila-hila dan sekitarnya, konon dengan kesaktiannya, sang Datuk menancapkan tongkatnya di tanah dan seketika memancar mata air yang masih ada hingga saat ini.

Pada abad ke-18, dalam Hikayat Banjar: “…Kalau tanah itu hangat dan beraroma harum itu baik untuk tempat berdiam, banyak berkahnya.” Untuk pedoman beragama masyarakat Banjar, atas saran Sultan Tahlilullah dari Kesultanan Banjar, KH Arsyad al-Banjari atau Datuk Kelampayang menulis kitab Sabilal Muhtadin Tafaqqahu fi Amri al-Din. Dalam kitab fikih ini, pandangan masyarakat Banjar tentang tanah berberkah diperbincangkan dan diperkukuh. Hal ini melahirkan teologi tanah bagi masyarakat Banjar untuk mengelola tanahnya tanpa eksploitatif serta menjaga tanah tersebut dari kemungkinan dirampas oleh kelompok dari luar.

Hadratussyekh Hasyim Asy’arie menuliskan peran penting petani: “Pendek kata, bapak tani adalah gudang kekayaan dan daripadanya itulah negeri mengeluarkan belanja bagi sekalian keperluan. Pak tani itulah penolong negeri apabila keperluan menghendakinya dan di waktu orang mencari-cari pertolongan. Pak tani itu ialah pembantu negeri yang boleh dipercaya untuk mengerjakan sekalian keperluan negeri, yaitu di waktunya orang berbalik punggung (tak sudi menolong) pada negeri, dan pak tani itu juga menjadi sendi tempat negeri didasarkan.”

KH Zainal Mustafa, pengasuh Pesantren Sukamanah Tasikmalaya, memimpin pemberontakan terhadap Jepang yang telah merampas tanah-tanah milik petani baik secara langsung maupun mengambil hasilnya. Untuk melawan pendudukan Jepang, beliau membangun silaturahmi dengan pesantren-pesantren di Tasikmalaya dan sekitarnya, komunikasi dengan batalyon PETA melalui Daidancho Maskun dan membentuk barisan santri dan rakyat yang jumlahnya 509 orang. Pada hari Jum’at, 25 Februari 1944, barisan santri dan rakyat yang dipimpin KH Zainal Mustafa melakukan perlawanan terhadap militer Jepang. Pertempuran ini dikenang sabagai Pertempuran Singaparna atau Pertempuran Tasikmalaya, yang mengobarkan perjuangan santri dan rakyat melawan penjajah di wilayah Priangan Timur Jawa Barat.

Wallaahualam bis shawab.

Rumah Merah, 06 07 2020.

Multi-Page

One Reply to “Kiai dan Teologi Tanah-Air (1): Artikulasi Wahyu ke Realitas”

Tinggalkan Balasan