Kiai Badrus dan Nasionalisme Santri Kediri

7,982 kali dibaca

Kediri, salah satu daerah di Jawa Timur, dikenal memiliki banyak pondok pesantren. Banyak pondok pesantren tumbuh dan berkembang di sini. Dan, dari sini pula banyak lahir ulama besar, kiai-kiai jaduk (jadug), santri-santri dengan patriotisme dan nasionalisme yang tinggi. Salah satunya adalah KH Badrus Sholeh Arif.

Nama Kiai Badrus memang tak sepopular kiai-kiai besar lainnya, seperti Kiai Mahrus Aly dari Lirboyo, Kediri, misalnya. Namun, kiprah, perjuangan, dan pengaruhnya dalam pengembangan pendidikan pesantren di Kediri sangat besar. Tak hanya itu, semasa hidupnya, perjuangan dan pengaruhnya dalam membangkitkan nasionalisme kaum santri dalam melawan penjajahan juga sangat besar —meskipun luput dari pencacatan sejarah.

Advertisements

Kiai Badrus Sholeh Arif merupakan putra ke-5 dari pasangan KH Moh Arif bin KH Hasan Alwi dan Nyai Sri’atun binti KH Hasan Muhyi. Ia dilahirkan di Kediri pada 10 November 1918. Berdasarkan beberapa sumber dan manuskirp terpercaya, ayah Kiai Badrus ini tercatat sebagai salah satu cucu dari Pangeran Diponegoro. Sebab, Kiai Hasan Alwi, kakek Kiai Badrus, merupakan putra dari Pangeran Diponegoro dari istri selir. Kiai Hasan Alwi merupakan ulama berpengaruh yang membuka Desa Banyakan, tempat kelahiran Kiai Badrus.

Darah Diponegoro yang mengalir dalam dirinya itulah yang menurunkan jiwa patriotisme dan nasionalisme dalam diri Kiai Badrus dalam berjuang melawan kaum penjajah. Pondok Pesantren Al Hikmah Kediri, yang didirikannya pada 1948, pernah menjadi tangsi para pejuang Merah Putih.

Pengembang Pendidikan

Pada usia 14 tahun, Kiai Badrus nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, berguru langsung kepada Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari. Dari Tebuireng, Kiai Badrus terus mondok lagi di Pondok Pesantren Gontor.

Setelah masa nyantrinya selesai, Kiai Badrus menetap di Desa Purwoasri, Kediri, dan merintis pendirian Pondok Pesantren Al Hikmah. Pendirian pesantren ini didasari rasa cintanya terhadap dunia pendidikan demi lahirnya generasi santri penerus bangsa.

Yang menarik, Pesantren Al Hikmah didirikan justru di tanah bekas tangsi tentara Belanda. Konon, pada saat itu Kiai Badrus berniat membeli tanah yang menjadi markas tentara Belanda tersebut. Saat itu, properti tersebut dijual dengan harga Rp 100.000. Punya niat, tapi memiliki uang yang cukup, begitulah kondiri Kiai Badrus saat itu. Maka, Kiai Badrus pun berdoa agar diberi kemudahan mewujudkan niatnya.

Doanya pun terkabul. Suatu hari, di rumah Kiai Badrus ada orang berucap salam di depan pintu untuk bertamu. Kiai Badrus bergegas keluar rumah untuk menemui sang tamu. Namun, di depan pintu rumahnya tak ada seorang pun yang terlihat. Yang ditemuinya hanya seonggok koper. Setelah dibuka, koper tersebut berisi uang. Dari uang tak bertuan itulah Kiai Badrus membeli tanah tangsi tentara Belanda, dan perintisan Pesantren Al Hikmah pun dimulai.

Berkat kegigihannya, Pesantren Al Hikmah mengalami kemajuan yang pesat. Santrinya datang dari berbagai daerah, dan saat itu jumlah santri pernah mencapai 1.600 orang. Di Kediri, Kiai Badrus tergolong sebagai yang pertama membuka pesantren khusus untuk kaum perempuan. Dan, secara bertahap, pendidikan di Pondok Pesantren Al Hikmah terus berkembang, mulai dari perintisan Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah (MI), Kulliyatul  Mu’allimin, Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), sampai dilanjutkan dengan pendirian Perguruan Tinggi Al-Hikmah (PTA), dan Fakultas Tarbiyah dan Madrasah Diniyah Salafiyah (MDS).

Selain tekun dan sabar mendidik para santri, Kiai Badrus juga gigih menanamkan jiwa nasionalisme kepada para santrinya. Ketika belanda ingin kembali menguasai Indonesia, Kiai Badrus bersama para santrinya ikut berjuang melawan penjajahan itu. Pun, ketika terjadi geger politik 1965, Kiai Badrus bersama santri juga ikut melawan PKI yang saat itu ingin menguasai daerah Kediri.

Walau demikian, sebagai seorang kiai, Kiai Badrus tak pernah melupakan kewajiban untuk mendidik para santrinya. Berbagai macam kitab klasik diajarkan kepada para santrinya, seperti kitab Riyadlus Shalihin dan Bulughul Maram. Hingga masa-masa akhir, ketika pesantren yang dirintisnya berkembang pesat, Kiai Badrus tetap menjadi tokoh bersahaja namun juga tegas terutama dalam menjalankan salat berjamaah. Kiai Badrus tak segan untuk memarahi santrinya yang mbeling dalam hal salat berjamaah.

Namun, segala perjuangannya terhenti karena Kiai Badrus dipanggil oleh Allah dalam sebuah kecelakaan di Ngawi pada 1983. Saat naas itu, Kiai Badrus bersama istrinya, Nyai Hj Azzah Badriyah, beserta kedua putra beliau yang masih kecil, tak terolong. Kini, segala perjuangan Kiai Badrus diteruskan oleh putra-putrinya, dan menjadikan Pesantren Al Hikmah semakin berkembang dengan banyaknya lembaga pendidikan yang telah berhasil didirikan oleh para penerus KH Badrus Sholeh Arif.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan