KH Husein Muhammad (3): Pelopor Fikih Feminis

1,367 kali dibaca

Keluar dari belenggu normatif, KH Husein Muhammad menjadi tokoh yang paling getol menggulirkan isu-isu fikih feminis dalam berbagai karayaanya. Dalam pandangannya, fikih adalah produk pemikiran sehingga harus tetap dinamis, bukan kaku-beku. Maka, fikih tentang kesetaraan gender tak lagi tabu.

Memang, pada hakikatnya fikih adalah hasil pikiran-pikiran cerdas dengan basis teks-teks keagamaan Islam, yakni al-Quran dan Hadis. Pikiran-pikiran ini selalu berada dalam ruang dan waktu. Karena itu, terdapat faktor relativitas dan bersifat dinamis.

Advertisements

Dengan begitu, tidaklah mengherankan jika dalam fikih seringkali kita menemukan sejumlah pikiran yang kontroversial, meski ada juga yang mensakralkannya, menganggap bahwa fikih adalah produk yang tetap dan statis. Padahal, fikih merupakan hasil dari sebuah pemikiran seseorang (ijtihad). Oleh karena itu, dalam fikih harus dilakukan pembacaan yang lebih tepat yakni pembacaan yang sesuai dengan konteks kontemporer.

Konsekuensi logis akibat tidak mempelajari fikih secara mendalam adalah terperosok ke dalam kekeliruan memandang hukum Islam. Seperti halnya yang dijelaskan dalam karya KH Husein Muhammad, Fiqih Perempuan dan Feminisme, kekeliruan itu diantaranya: (1) Masalah syariat sering dicampuradukkan dengan masalah fikih, (2) Sering men-generalisasi suatu kasus yang berlaku khusus, (3) Pendapat seorang ulama yang belum tentu kuat sandaran hukumnya sering dianggap sebagai pendapat yang mewakili Islam tentang perempuan.

Menurut KH. Husein Muhammad, fikih selama ini hanya dipahami sebagai hukum agama yang normatif. Segala keputusannya tidak boleh dikritisi. Fungsinya hanya mengatur tingkah laku seseorang, benar dan salah, halal dan haram, dan seterusnya. Karena keterkaitannya dengan agama, maka fikih mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk sebuah keyakinan dan perilaku pada masyarakat. Bahkan aspek ajaran agama lainnya seperti teologi, tasawuf atau akhlak terkalahkan oleh fikih seakan-akan fikih yang sepenuhnya mengatur segala aspek kehidupan.[1]

Seperti halnya terdapat pada salah satu kitab ‘Uquud al-Lujain fii Bayaan Huquuq al-Zujain  karangan Syekh Muhammad Umar an-Nawawi, yang menjelaskan persoalan dalam pembagian kerja secara seksual yang tertutup dari pilihan-pilihan pribadi (freedom of choice). Hal yang memperparah dari anggapan ini adalah satu-satunya yang harus dipilih oleh seorang perempuan, dan adanya pembenaran teologis dalam pembagian kinerja tersebut.[2]

KH Husein Muhammad mempercayai bahwa fikih adalah hukum agama, karena diambilkan dari teks-teks agama. Akan tetapi, di sisi lain perlu diketahui bahwa fikih adalah produk pemikiran manusia yang relatif, dikarenakan dalam menginterpretasikan teks, terdapat banyak faktor yang mempengaruhinya seperti kondisi, waktu, dan siapa yang memahaminya, serta faktor sosiologis dan kuktural yang terlibat dalam proses pemahamannya.

Menurut KH Husein Muhammad, mengutip Imam Abu Hanifah, bahwa fikih dibagi menjadi dua kategori yaitu: fiqh al-akbar (fikih besar) dan fiqh al-ashghar (fikih kecil). Yang dimaksud dari fiqh al-akbar adalah fikih yang membicarakan tentang ushul al-ddi>n atau aqidah atau ilmu kalam (teologi). Sedangkan fiqh al-ashghar adalah fikih yang membicarakan tentang hukum-hukum parsial (yurespundensi). Dalam pengertian ini, fikih dimaknai sebagai ilmu yang di dalamnya terkandung berbagai teori dan metode. Akan tetapi kebanyakan orang tidak menggunakan metode-metode tersebut, lebih tepatnya fikih dianggap sebagai produk instan.

Karena itu, fikih seharusnya merujuk pada realitas yang berkembang; baik sosial, ekonomi, maupun politik. Bahkan, dalam pandangan KH Husein Muhammad, realitas harus menjadi salah satu dasar utama dalam memahami teks-teks agama, agar ajaran-ajaran agama senantiasa sesuai dengan kondisi yang ada (kontekstual) atau dalam bahasa fikih disebut shaalihun li kulli zamaan wa makaan. Agar seseorang tidak terjebak dalam produk-produk lama dan berhenti disana (al-Waqi’ awwalan, wa al-Waqi’ tsaaniyan, wa al-Waqi’  aakhiran), maka dibutuhkan adanya proses dan metodologi untuk memahaminya.

Sebagaimana KH Husein Muhammad dalam melakukan pembaruan fikih/hukum Islam dengan mengusung isu wacana kesetaraan dan keadilan gender, karena menurutnya pola kehidupan dalam masyarakat banyak dipengaruhi oleh norma-norma keagamaan, lebih spesifik lagi adalah dari teks-teks keagamaan. Selain itu, pemahaman dan analisis agama terhadap perempuan, baginya masih konservatif dan sangat bias, menomorduakan, dan memarginalkan sehingga menyebabkan berbagai ketimpangan sosial.

Oleh karena itu agama di sini dimanifestasikan KH Husein Muhammad dalam bentuk penafsiran terhadap teks, dengan menganalisis secara detail agama dan perempuan. Kiai Husein berkeyakinan bahwa agama hadir membawa gagasan-gagasan besar tentang kemanusiaan sebagai sarana pembebasan terhadap seluruh bentuk penindasan, tirani, kebiadaban, dan perbudakan terhadap manusia. Agama tidak memungkinkan melakukan penindasan, marginalisasi dan kekerasan terhadap siapapun termasuk perempuan karena setiap penindasan, kebiadaban, perbudakan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak asasi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.

Menurut KH Husein Muhammad, dalam kerangka metodologi fikih, berbagai teks (Al-Quran, hadis, ijtihad para ulama) harus diklasifikasikan ke dalam tiga kerangka, yaitu al-mabaadi’, al-qawaa’id, dan al-juz’iyyat. Ada teks-teks ajaran-ajaran yang masuk dalam tataran fundamental (al-mabaadi’), ada yang masuk ke dalam prinsip parsial (al-qawaa’id), dan ada yang masuk pada tataran norma-norma formal operasional (al-juz’iyyat).

Prinsip yang fundamental adalah keadilan dan kemaslahatan untuk semua tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki mauapun perempuan. Keadilan dan kemaslahatan ini merupakan refleksi konklusif dari kesetaraan yang sejak awal diusung oleh al-Qur’an. Seperti dalam Q.S. al-Nisa’:1, Q.S. al-Hujurat: 13, Q.S. al-Nahl: 97, Q.S. al-Taubah: 71, Q.S. al-Ahzab: 35).

Dalam merumuskan kembali fikih lama, Kiai Husein menggunakan epistemologi dan metodologi yang dipakai oleh para pemikir sebelumnya, seperti metode istiqra’iy (penelitian/induksi) dan penggunaan qiyas (analogi) yang merupakan cara berpikir Imam Syafi’i dalam membaca realitas, seperti halnya dengan Imam Maliki yang menggunakan prinsip ‘amal ahli Madinah (cara berpikir dengan melihat realitas). Cara berpikir tersebut yang nantinya akan dapat menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang sangat dinamis dan berkembang pesat saat ini.

Oleh karena itu, seluruh tema-tema dalam fikih, khususnya yang berkaitan dengan perempuan, perlu dikaji dasar-dasar rasionalitas dan relevansinya dengan kehidupan nyata. Dua hal ini seringkali terlupakan dalam kajian-kajian fikih selama ini. bersamaan dengan itu, kita juga pelu memahami dalam situasi sosial, termasuk sistem ekonomi, politik dan sebagainya yang bagaimana sehingga teks-teks suci dan diktum-diktum fikih-fikih tersebut dilahirkan dan disusun. Kita sesungguhnya perlu mempertanyakan dimana, kapan, mengapa dan bagaimana pandangan, wacana dan teks-teks tersbut fikih lahir. Teks-teks tersebut pastilah bergulat dan berdialog dengan manusia dalam sejarahnya sendiri. Artinya, ia bicara dengan kebudayaan lokal masing-masing.

Di sinilah, maka kita memang perlu merumuskan cara-cara atau metode untuk reinterpretasi atas teks-teks keagamaan. Satu hal paling mendasar untuk dijadikan patokan dalam merumuskan hubungan laki-laki dan perempuan, seperti juga dalam relasi-relasi antar manusia adalah bagaimana hubungan tersebut dapat mewujudkan penghormatan atas martabat masing-masing sebagai manusia, hamba-hamba Allah.[3]

Catatan:

[1] Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren, hlm. 101-102.
[2] Husein Muhammad, “Kritik Tafsir Gender”, dalam Jurnal Yin-Yang, I, Juni, 2006.
[3] Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren, hlm. 206.

Multi-Page

2 Replies to “KH Husein Muhammad (3): Pelopor Fikih Feminis”

Tinggalkan Balasan