KH Husein Muhammad (2): Pendobrak Tafsir Bias Gender

1,828 kali dibaca

Ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat Islam sebenarnya tidak hanya berasal dari ajaran atau berdasar agama, melainkan lebih kepada produk tafsir terhadap teks-teks agama. Pada saat yang sama, sebuah tafsir sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, kecenderungan politik dan faktor psikologis sang penafsir.

Pada akhirnya, tantangan yang harus dihadapi para penafsir adalah bagaimana memahami implikasi dari pernyataan Al-Quran sewaktu diturunkan dan bagaimana menangkap substansi dari setiap ayat-ayat Al-Quran, sehingga umat Islam mampu membuat aplikasi praktis dari ayat-ayat Al-Quran dengan menyesuaikan kondisi dan situasi keadaan mereka, dengan tetap berpegang teguh pada substansi ajarannya.[1]

Advertisements

Kuatnya tradisi tafsir patriarkis atas teks-teks agama menjadikan pandangan-pandangan negatif terhadap perempuan masih terus berlangsung sampai masa kini. Seperti halnya dalam QS ll-Nisa’: 34, “al-Rijaalu qawwamuuna ‘alaa al-Nisaa’”, yang banyak diartikan bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan.

Dalam artian, di sini bahwa perempuan harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki. Dan banyak lagi ayat-ayat Al-Quran dan hadis yang mengimplikasikan hal serupa, misalnya yang mencakup hukum waris, kesaksian, kualitas akal, dan agama antara laki-laki dan perempuan.[2]

Citra perempuan masih dianggap inferior. Dalam agama Islam, status perempuan masih dianggap sebagai alat utama setan untuk menggagalkan rencana Allah bagi umat manusia.[3] Adanya konstruksi seperti ini, status perempuan dianggap lebih rendah dan perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah dalam segala bidang. Hal ini yang nantinya berimplikasi pada pembagian peran yang hierarkis.

Dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, ada sebuah hadis yang terkesan memarginalkan perempuan, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.

Terhadap hadis seperti ini harus dilakukan pembacaan secara kritis, karena hadis ini tidak dapat dipertahankan dan diperhadapkan dengan bukti-bukti sejarah. Padahal, Islam sendiri mengabadikan kesuksesan kepemimpinan perempuan sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Quran melalui kepemimpinan Ratu Balqis, yang direkam Al-Quran dalam surat al-Naml dan al-Anbiyaa’.[4]

Ada juga hadis yang seringkali dijadikan rujukan, yakni sebuah hadis yang menegaskan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk yang bengkok. Dalam sebuah hadis dijelaskan dari Abu Hurairah ra, “Nasihatilah olehmu wanita, sebab itu tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, jika kau paksa meluruskannya dengan kekerasan, pasati dia akan patah, dan jika kau biarkan tentu ddia akan tetap bengkok. Karena itu nasihatilah olehmu wanita”.[5]

Hadis-hadis tersebut, apabila tidak dimaknai secara kontekstual dapat mengakibatkan pergeseran peran dan ruang kerja perempuan. Pekerjaan rumah tangga diserahkan penuh kepada perempuan dengan alasan ia dipandang lebih tekun dan rajin dalam menangani pekerjaan rumah tangga, sementara laki-laki yang dianggap kuat dan rasional ditempatkan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah.

Akan tetapi, di sisi lain ketika perempuan pada kenyataannya mampu bekerja di luar urusan rumah tangga dalam hal sebagai penunjang perekonomian keluarga, ia masih tetap dibebani dengan pekerjaan kultural di wilayah domestik. Inilah yang nantinya disebut dengan beban ganda (double burden) pada perempuan.

Beban ganda merupakan beban pekerjaan yang diterima oleh salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Istilah beban ganda digunakan untuk seseorang yang mengalami situasi dimana ia harus menanggung kedua wilayah sekaligus, yaitu domestik dan publik.[6] Akibatnya, dengan adanya beban ganda ini dapat menimbulkan ketergantungan satu atas yang lain.

Padahal dalam sejarah, Islam memberikan hak yang sama terhadap perempuan. Hal ini dibuktikan pada zaman Nabi Muhammad Saw, tercatat ada 1.232 perempuan yang menerima periwayatan hadis. Umm al- Mukminin ‘Aisyah tercatat sebagai salah satu dari tujuh dari bendaharawan hadis. Khadijah binti Khuwailid yang terkenal sebagai perempuan sukses dalam dunia bisnis. Zainab istri Rasulullah menyamak kulit dan hasilnya disedekahkan. Zainab istri Ibnu Mas’ud dan Asma’ binti Abu Bakar keluar rumahnya mencari nafkah untuk keluarganya.

Dalam medan perang pun, banyak nama sahabat perempuan yang tercatat sebagai pejuang, seperti mengobati prajurit yang luka dan menyediakan logistik maupun memegang senjata berhadapan dengan lawan. Nusaibah binti Ka’ab tercatat sebagai perempuan yang memanggul senjata melindungi Rasulullah dalam perang Uhud. Al-Rabi’ binti al-Mu’awwad, Ummu Sinan, Ummu Sulaiman, Ummu Athiyah juga turun ke medan perang.[7] Hal ini membuktikan bahwa perempuan dari dahulu memang mempunyai peran yang sangat penting dalam membangun sebuah tatanan realitas sosial yang dinamis.

Islam seharusnya mengangkat dan menjunjung tinggi martabat manusia, kini malah menjadi kekuatan yang membatasi hak dan kemerdekaan umat manusia. Agama seolah-olah menjadi pemasok rambu-rambu daerah terlarang di sekitar manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Agama menjadi dasar legitimasi status quo dalam berbagai ketimpangan, baik itu ketimpangan berdasarkan gender, ras, suku budaya, agama maupun dalam berbagai stratifikasi sosial lainnya.

Hampir-hampir manusia tidak memiliki space kebebasan dalam mengaktualisasikan hak asasinya, karena semuanya sudah menjadi hak paten agama yang tidak boleh dilanggar. Siapa yang berani melanggarnya, pasti akan mendapatkan tekanan psikologis berkepanjangan, dan ancaman mereka pun senantiasa membayangi. Karena siapa yang tidak takut dengan neraka, simbol kedahsyatan siksaan abadi? [8]

Seperti halnya yang terdapat pada kitab-kitab fikih klasik yang membahas tentang perempuan yang dianggap sebagai teks-teks bias gender. Misalnya pada kitab ‘Uquud al-Lujaiin fii Bayaan Huquuqi al-Zujaiin karya Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani, Al-Untsaa Tukhalliif al-Rajuul fii Ahkaam karya Jalaluddin al-Suyuthi, kitab Husn al-Uswah karya Muhammad Shiddiq Hasan Khan Al-Qannuji. Kitab-kitab tersebut merupakan sebagian kitab klasik yang dianggap oleh teolog feminis menempatkan perempuan dibawah laki-laki.

Selian itu, melalui ritual keagamaan dan pembekuan narasi kegamaan yang dikonstruksi, ideologi gender ditransmisi dan diperkuat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dampak terburuk dari pelegitimasian ini adalah diyakininya perbedaan gender sebagai ketentuan tuhan atau takdir yang final, dan pada akhirnya masyarakat sulit untuk membedakan antara ketentuan tuhan yang sesungguhnya dengan konstruksi yang dibangun oleh manusia secara sosial.

Di dalam Al-Quran yang notabenenya adalah teks rujukan pertama dalam agama Islam, terdapat beberapa ayat-ayat yang dianggap para teolog feminis sebagai pendukung bagi superiotitas laki-laki dan ayat-ayat ini telah mempengaruhi tradisi Islam dalam memandang rendah kaum perempuan.

Seperti ayat Al-Quran yang mengatakan bahwa kaum perempuan diciptakan dari, dan untuk laki-laki. Misalnya dalam QS al-Nisaa’: 1, “Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dari padanya, Tuhan menciptakan istrinya…”.[9]

Juga sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, “Berilah perhatian yang baik terhadap perempuan, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang iga, dan yang paling bengkok dari tulang iga adalah yang paling atas.”[10]

Kenyataan seperti itulah yang kemudian menjadi perhatian serius KH Husein Muhammad. Dalam pandangan Kiai Husein, adanya diskriminasi perempuan dengan mengatasnamakan ajaran agama dikarenakan pemahaman dan metode para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran berbeda-beda, sehingga menimbulkan berbagai macam produk hukum.[11] Akibatnya, adanya perlakuan-perlakuan diskriminatif di dalam agama Islam cenderung merugikan salah satu pihak, yaitu perempuan.

Misalnya yang tertulis dalam kitab ‘Uquud al-Lujaiin: “Kewajiban perempuan terhadap suaminya adalah selalu memperlihatkan rasa malu, menundukkan pandangan, menuruti perintahnya, mendengarkan ucapannya, menyambut dan mengantarnya dengan berdiri ketika ia datang atau pergi, memasrahkan tubuhnya menjelang tidur, mempercantik diri (berhias), menyebarkan keharuman tubuhnya dan memperlihatkan keindahan dirinya ketika suami di rumah dan menanggalkannya ketika tidak di rumah.”[12]

Hal ini yang nantinya akan melahirkan perbedaan gender (gender differentiation), segregasi gender (gender segregation), dan ketidakadilan gender (gender injustice), di mana perempuan pada umumnya didiskriminasi dan mendapatkan ketidakadilan.

Dengan demikian, hal ini perlu adanya kesadaran baru dari para pegiat feminisme dengan tujuan untuk mengupayakan sebuah tatanan baru yang lebih adil dan egaliter dengan mempertanyakan segala bentuk ketidakadilan secara radikal.[13] Sehingga manusia, khususnya perempuan merasakan otonomi dirinya sebagai khalifah di bumi (khaalifah fii al-ardh). Manusia bukan lagi sebagai robot, melainkan pengambil inisiatif yang merdeka.

Dalam upaya membangun tatanan baru dunia, para pejuang feminisme seperti  KH Husein Muhammad mencoba memunculkan kembali dan mengkritik terhadap dominasi laki-laki atas marginalisasi perempuan dalam wilayah agama.

Menurutnya, dalam ajaran setiap agama khususnya agama Islam, perempuan harus mendapatkan perlindungan, perempuan harus tetap dalam keadaan baik, melarang adanya kekerasan terhadap perempuan, dan lain sebagainya yang menjadikan perempuan tergerus dan termarjinalkan.

Oleh karena itu, ketika secara jasmani dan psikologi perempuan dalam keadaan baik maka nantinya akan tercetak generasi selanjutnya yang lebih baik. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Musdah Mulia, Islam sangat tegas membawa prinsip kesetaraan manusia, termasuk kesetaraan perempuan dan laki-laki. Karena itu Islam menolak dengan keras semua bentuk ketimpangan dan ketidakadilan, terutama terkait dengan relasi gender. Islam juga pada dasarnya adalah agama yang menolak budaya patriarki, feodal, dan semua sistem tiranik, despotik, dan totaliter.[14]

Catatan

[1] Amina Wadud Muhsin, Wanita dalam al-Qur’an (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 5.

[2] Mansour Fakih, (dkk.), Membincangkan Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 291.

[3] Riffat Hassan, Perspektif Perempuan, dalam Perempuan, Agama, dan Seksualitas: Studi Tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama Terhadap Perempuan, Jeanne Becher (ed.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 147.

[4] Masthuriyah Sa’dan, “Rekonstruksi Materi Dakwah untuk Pemberdayaan Perempuan: Perspektif Teologi Feminisme”, Jurnal Harkat: Media Komunikasi Islam Tentang Gender dan Anak, XII, Januari, 2016, hlm. 43.

[5] Masthuriyah Sa’dan, “Rekonstruksi Materi Dakwah untuk Pemberdayaan Perempuan…”, hlm. 44.

[6] Irma Erviana, “Wanita Karir Perspektif Gender dalam Hukum Islam di Indonesia, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin, Makassar, 2017, hlm. 50.

[7] Badriyah Fayumi, (dkk.), Keadilan dan Kesetaraan Gender: Perspektif Islam (Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Depag RI, 2001), hlm. 25-26.

[8] Nasaruddin Umar, Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminin (Jakarta: Gramedia, 2014), hlm. 112.

[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: CV Diponegoro, 2010).

[10] Ratna Megawangi, “Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang Serta Kaitannya Dengan Pemikiran Keislaman”, dalam Membincangkan Feminisme, hlm. 227-228.

[11] Husein Muhammad, Perempuan, Islam & Negara: Pergulatan Identitas dan Entitas (Jakarat: Qalam Nusantara, 2016), hlm. 122.

[12] Nawawi bin Umar, ‘Uquud al-Lujaiin, hlm. 8. Lihat juga dalam Ta’liq waa Takhrij Syarh Uquud al-Lujaiin: (Jakarta: FK3), hlm. 48.

[13] Inayah Rohmaniyah, “Gender dan Konstruksi Perempuan…”, dalam Ursula King, Women and Spirituality: Voices of Protest (Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press, 1993), hlm. 20.

[14] Musdah Mulia, Konsep Gender Menurut Islam (Yogyakarta: Nauvan Pustaka, 2014), hlm. 55.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan