KH Ahmad Mustofa Bisri

7,321 kali dibaca

Akan tiba nazam nan sunyi hening

Al-Ibriz[1] matan Nusantara nyaring

Advertisements

Asal muasal kelahiran bening

Ananda sayang, ananda diiring

 

Belas kasih bunda tak terperi

Belaian cinta berdenyut di nadi

Barisan terentang rindu nafiri

Bintang sembilan di langit Kiai

 

Di teduh surau lalu, di tepian jalan asin dan bentangan sawah

sendu pantura tebaran sentir dzikir suluhi subuh harapan

Ahmad Mustofa Bisri dianut, dirindu, ditimang

dikenang Rembang gamang impian.

 

Di ruang tamu tempat menampung yang pilu

Aku pun merajut payang dengan benang sarung kusam

Meski diri tak kuasa menderas cakrawala hidupmu

Tapi di tubir kesunyian, izinkan aku, Mahwi, nyanyikan biru riwayatmu

Mahallulqiyam….

 

Ahmad Mustofa Bisri Kiai

Aku susuri leluhurmu sunyi

Ada senandung nazam emriti

Al-Ibriz berdenyut di lubuk hari

 

Angin jejakmu sepagi kasturi

Asapi lembaran dongeng peri

Anggun menari dendam terpatri

Alangkah lusuh bendera negeri

 

Ada riap merah di beranda

Ada tembang sumbang di nada

Ada irama nyanyian tiada

Alief kusam di baris persada

 

Api menyala di jantung sabda

Angin hembuskan tuga muda

Apa kiranya gandrung didera

Air mata rindu beku di dada

 

Di tepian jubah perenang seputih buih

Membuncah, menggerus perahu perih

Menjadikan bulir tasbih kail pancing lusuh

Berharap riak di atas buncahan gelombang

O, alangkah malang kerlip di jantung petang

 

Di jantung malam majelis terakhir

Di lembar lontar menggema dzikir

Denyut soroganmu suluri takdir

Duhai kiai, aduhai penyair

 

Ahmad Mustofa Bisri penyair

Abjad puisimu terus mendesir

Abaikan ombak teori Amir

Asal-usul diri narasi dzikir

 

Ini puisi tentangmu, Gus Mus[2]

Impian santri fajar berhembus

Irama mengalun seiring tadarus

Iringi senandung kiai Mahrus[3]

 

Sesusun suku kata kalimat

Serat batin mengiris hikmat

Suar suluhi narasi pekat

Sendu kalbu bait keramat

 

Di lapis gelap tangis terdengar

Puisi hidupmu riap bersuar

Negeri sayang, merah berkibar

Negeri sayang putih bersinar

 

Dalam bait puisimu, Petapa

Menggema negeriku, Indonesia

Anyir sengsara rakyat merana

Nyinyir penyair puisi bunga

 

Ahmad Mustofa Bisri pelukis

Alief digurat di kanvas amis

Antara diri dan ormas bengis

Antara Inul[4] dan gamis turis

 

Ahmad Mustofa Bisri mencari

Apatah kiranya gandrung nyeri

Affandi inikah potret negeri

Adakah kuas bersabut duri

 

Ada lukisan cerita misteri

Amplop abu-abu gambaran diri

Ahmad Mustofa Kiai Bisri

Akulah rupiah yang kebiri

 

Bara kisahmu letupan sukma

Berdenyar batin cinta menggema

Baris aksara sulaman purnama

Bait hidupmu sealun seirama

 

Bersulam benang Lateh serabu

Bayangan seribu fajar jejakmu

Berselempang kasih jahitan ibu

Beban di pundak ramuan jamu

 

Dengan puisi jejakmu kususuri

Di ambang sunyi di bentangan hari

Duhai Kiai Ahmad Mustofa Bisri

Dendang nazammu sedia kucari

 

Duhai Kiai Ahmad Mustofa Bisri

Deras riwayatmu sepagi kasturi

Di Negeri Daging dongengan peri

Damai mengalun dendam menari

 

Di tujuh pintu tujuh impian

Di tujuh jalan bersua panutan

Di nun Lirboyo menderas sorogan

Di jantung Krapyak, khusyuk tabarukan

 

Mustofa, ya, Mustofa bin Mbah Kholil Bisri, Bila senja menjelang, senandung kidung, sealun nazam menyesup iringi petang. Dibawanya Mustofa menjumpa para guru dan Kiai, mengaji diri menderas hati.

Mustofa, ya Mustofa, pandangi cakrawala bersuar. Ada awan berarak, ada desau berhembus samar-sesamar dzikir dan sajak. Mustofa pun beranjak, berjalan menuju mimbar. Ada rasa haru membiak di hati mendengar senandung puisi tentang diri.

 

Di jantung malam majelis terakhir

Di lembar lontar menggema dzikir

Denyut sorogan suluri takdir

Duhai Kiai, aduhai penyair

 

Engkau, Mustofa, menangis perih

Enggan terbang di bintang masyaih

Epos leluhur di nisan putih

Enggan dilumur darah beserpih

 

Duhai Mustofa, penyair perupa

Dari Madura namamu kueja

Di tepian jantungmu kubawa

Di larung syair Indonesia

 

Di ujung alief fajar nun mekar

Di ujung semadi puisi bersinar

Dendang nazaman di hati nanar

Di baris mantra hizib akbar

 

Bayangan diri sesakti Khidir

Gus Mus pagari diri Kiai

Tembusi lapis semesta lahir

Dengan bayangan sang musafir

 

Kiai Ahmad Mustofa Bisri

Tepikan prahu lesatkan diri

Ke bukit Lirboyo, Gus Mus, mendaki

Mencari berkah, Mbah Marzuqi

 

Sembilan tangga jenjang kiai

Sembilan suluk khasiat wali

Ke Kediri, Gus Mus, trus mencari

Sosok petapa raga dan hati

 

Bersama Ibriz renungan Abah

Gus Mus suluhi aksara rahasia

Renungi jejak Bisri Mustofa

Gamang hati kitari karomah

 

Senyum kiai terus mengembang

Lembaran Ibriz jadi selendang

Di muka guru takzim diretas

Di jantung malam kitab dideras

 

Aduhai, Ahmad Mustofa Bisri

Pohon usia tak henti panjati

Berkalung tasbih mantra gaib

Samarkan wujud dengan hizib

 

Bertahun sudah, Gus Mus, terkepung

Di dalam hutan aksara tebu

Mencecap manis ilmu sang guru

Dibatsul masail[5] ilmu dijunjung

 

Lirboyo tiada henti bertadarus

Deras rimbun aksara kehidupan

Menguak rimba titi keheningan

Membelai hangat Kiai Mahrus

 

Gus Mus ikuti saudara sekandung

Menujum awan tepis mendung

Di jalan, Gus Mus, siap tarung

Berterompa kayu melepas sarung

 

Tiadalah orang bersalam muka

Diri terbang sekelebat angin

Gus Mus lah sakti tiada dua

Di hadapan Abah tunduk dingin

 

Aduhai Ahmad Mustofa Bisri

Perahu layari lautan puisi

Geladak sajadah dayung bahasa

Seberangi Sembilan laut ulama

 

Wahai Ahmad Mustofa Bisri

Terimalah salam takzim santri

Lewat nadhoman dan puisi

Nyanyian santri nahwu emriti

 

Luluh runtuh pesantrenku sudah

Ditinggal berlari pendaki alim

Acuhi kaum takzim dan talim

Kopiyah, sarung, tasbih, dan madrasah

 

Santri gamang di jalan ulama

Madah syair terdengar samar

Hinggap dan senyap dalam belukar

Bila kiranya balagha menggema

 

Ini syair salam santri

Sepoi sepi penyair Kiai

Aduhai, Ahmad Mustofa Bisri

Mari melagu kerinduan hati

 

Dari Madura aku berlari

Iringi Ahmad Mostofa Bisri

Meniti sunyi jembatan puisi

Di jantung hari majelis santri

 

Lara hitam langit kelam

Payungi jalan puisi gamang

Takjub hati fajar membayang

Dalam lipatan sarung bersulam

 

Di langit Rembangmu, Gus Mus, keheningan batin nanar terbakar, mawar cintamu sunyi tak mekar. Lagu-sendu-lagu menggema dari pangkalan dan pematang, dari rumah-rumah tak berpintutak berpalang.

 Ya, iya, siapa tahan orangnya dalam dekapan ombak, tidur berbanjar beralas geladak. Ya, iya, siapa tahan mengukir kobaran rindu di jenjang anjungan, melipat rengsa layar badai dalam kesunyian.

 

Wahai, Kiai Bisri Mustofa

Wahai, Kiai Cholil Bisri

Kiai Bisri, Kiai Mustofa

Kiaiku, Ahmad Mustofa Bisri

 

Rembang dibayang ombak gulita

Merana hati tergerus lara

Pelaut petani didera sengsara

Di punggung musim luka menganga

 

Di dalam lumbung, di pelabuhan kelam

Kotamu, kiai, berselempang langgam

Payang biru pinjaman rentenir

Padi biru mendesir getir

 

Pelaut berbanjar beralas kayu

Petani berselimut panen layu

Deru hasrat menggeliat linu

Di atas perahu dan sawah bisu

 

Lautmu, Kiai, berombak pasang

Pelaut berbantal arus gelombang

Pundakmu, Kiai, pikuli beban

Dari lereng bukit hingga lautan

 

Ke mana sakal hembuskan harap

Ke gumuk ataukah ke bilik langgar

Teratak lumbung anyaman lontar

Terbangkan hasil panen senyap

 

Alangkah panjang ini penantian

Alangkah dangkal muara perjumpaan

Alangkah sayup senandung syairan

Sesayup jejakmu, jauhi kegaduhan

 

Aduhai Ahmad Mustofa Bisri

Ke Multazam, ratapmu bersurai

Kecupan hangat rindu bersemi

Kekasih hati kekasih sunyi

 

Kaukah tembang gandrung kalbu

Ketukan senyap nada sendu

Kaukah kasih berkerudung biru

Ke muka pintu seangin lalu

 

Bilalah benar kabarkan padaku

Biar kutulis kisah untukmu

Bilalah tidak isyaratkan padaku

Biar kutumpahkan puisi rinduku

 

Lirik mahabbah sendu beralun

Lili kelopak di pagi berembun

Lirik cinta tak kuasa kususun

Lirik dan nada terasa ngungun

 

Ke dalam diri nada dan lagu

Khusyuk menderas putih cintamu

Kepada ibu batinku berseru

Kenapa cintaku b’rujung pilu

 

Akulah tembang laras ibunda

Api cintaku menyala-nyala

Asapi pandangan penuh ra’hsia

Antarkan kasih pinangan Kanda

 

Tapi siapa tasbihkan samsara

Tak ‘kan perih beserpih di dada

Terasa lara mendera jiwa

Tinggallah aku semakin fana

 

Kekasihku, di jalan ada perjumpaan dan sua kembali.

Tetapi kita berjalan sendiri-sendiri.

Kubawa ragaku menempuh kemegahan Suluk,

dan kamulah tembang laras Suluk itu.

Kau mengira aku pergi,

padahal aku mengembara di dalam dirimu[6].

 

Kita ‘kan terus nadhomkan cinta

Kinanti usia nyala asmara

Kemana mesti kedipkan mata

Ketika cinta berujung duka

 

Biarlah diri jauh mencari

Berselempang sorban sulaman diri

Betapa, Ahmad Mustofa Bisri

Berat meniti kesunyian hati

 

Ya, Ahmad Mustofa Bisri

Ke Multazam, ratapmu suci

Basah kecupan rindu bersemi

Cintamu derai kasihmu sunyi

 

Surat cintamu putih berserat

Susuri diri di malam k’ramat

Serak dan parau tiadalah nikmat

Sendulah kalbu ditinggal hasrat

 

Maka biarlah kekasih hati

Meskipun lebam luka di diri

M’rana sendiri hari jalani

Menembus lapis musim berganti

 

Ibu, kau tahu rahasia buyung

Ilahi bersuar iringi jantung

Isyaratkan bagi diri bingung

Inikah kehendak Ilahi Agung

 

Ibu Kaulah gua teduh

tempatku bertapa bersamamu sekian lama

Kaulah kawah dari mana aku meluncur dengan perkasa

Kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku

melepas lelah dan nestapa gunung

yang menjaga mimpiku siang dan malam

mata air yang tak brenti mengalir

membasahi dahagaku telaga

tempatku bermain berenang dan menyelam.[7]

 

Adikku gandrung dan terluka

Akan bersua kekasih jiwa

Arifi gerak g’lombang asmara

Akankah cinta jadi angkara

 

Wahai Ahmad Mustofa Bisri

Ke Multazam, ratapmu suci

Basah kecupan rindu bersemi

Cintamu menderai kasihmu sunyi

 

Asytaghfirullah Robbal baroyah

asytaghfirullah minal khotoyah

Robbi zidni ‘elman nafi’a

Wawafiqni ‘amalan maqbula

 

Ya, Allah huya Muhammad

Ya, Abu Bakrinissidiq

Ya, ‘Umar Utzman wa’ali

Sitti Fatimah binti Rosuli

 

Dengan berbunga kubawa raga

Dekaplah wahai belahan jiwa

Denyut cintamu mrasuk sukma

Dikaulah mawar mekar di dada

 

Langitku biru lautku biru

Luhur kasihmu, wahai istriku

Luruhkan cokelat layu kalbuku

Lekaslah sayang, peluklah aku

 

Perahu cintaku tak retak lagi

Pusaran gelombang tiada arti

Pupus asmara kenangan menepi

Perih di nadi sudah terobati.

 

[1] Kitab Tafsir Al-Ibriz atau al-Ibrîz li Marifat Tafsîr al-Qurân al-Azîz adalah kitab tafsir al-quran yang ditulis oleh Mbah Khlil Bisri, ayah Ahmad Mustofa Bisri. Adapaun kandungan dalam kitab tafsir Al-Ibriz adalah tafsir terhadap surat-surat dan ayat-ayat al-quran dengan penulisan bahasa Jawa.

[2] Gus Mus adalah panggilan akrab Kiai Ahmad Mustofa Bisri. humanis.

[3] Kiai Mahrus Aly adalah ulama terkemuka Indonesia yang lahir di dusun Gedongan, kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dari pasangan KH Aly bin Abdul Aziz dan Hasinah binti Kyai Said, 1906 M.

4] Inul atau Inul Daratista  adalah penyanyi dangdut Indonesia. Penyanyi yang dikenal dengan goyang ngebor ini menunai kontoroversi. Di tengah-tengah kontroversi itulah, Gus Mus menggelar pameran lukisan dengan judul “Berdzikir Bersama Inul. Lukisan dipamerkan di ruang Ash-Shofa Masjid Agung Al-Akbar Surabaya, Jawa Timur.

[5] Batsul Masail adalah forum yang membahas suatu permasalahan yang berkaitan dengan persoalan hukum (fiqih) dan masalah-masalah keagamaan (al-masailud-dinyah)

[6) Dikutip dari Serat Chentini

[7] Dikutib dari Puisi “Ibu” karya Ahamd Mustofa Bisri

Multi-Page

Tinggalkan Balasan