KH Abdul Chalim, Tokoh Besar yang Tak Gemebyar

7,843 kali dibaca

Tercatat sebagai satu dari 13 tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), nama KH Abdul Chalim tak segemebyar tokoh-tokoh lainnya dalam catatan sejarah dan ingatan kolektif masyarakat Indonesia, khususnya warga nahdliyin. Padahal ia memiliki peran penting tak hanya di balik berdirinya NU, tapi juga dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kesederhanaan dan rendah hati, begitulah sosoknya.

Saat jamiyah NU didirikan di Surabaya pada 1926, KH Abdul Chalim duduk sebagai Katib Tsani pada kepengurusan Pengurus Besar NU periode pertama. Dengan kedudukannya itu, ia menjadi partner kerja KH Abdul Wahab Hasbullah, salah satu ulama paling berpengaruh saat itu. Saat itu, KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar, KH Ahmad Dahlan Ahyad sebagai Wakil Rais Akbar, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai Katib Awal, dan KH Abdul Chalim menjadi Katib Tsani (atau Sekretaris Dua).

Advertisements

Siapa sesungguhnya KH Abdul Chalim hingga namanya tak banyak menghiasi halaman buku sejarah dan kurang dikenal dalam ingatan kolektif masyarakat? Padahal, ia punya peran penting atas terselenggaranya Komite Hijaz pada 31 Januari 1926 yang kemudian melahirkan NU, ormas Islam terbesar di Indonesia.

Ia dilahirkan di Kecamatan Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat, pada 1898 tanpa catatan tanggal kelahiran. Karena lahir di Leuwimunding, ia kemudian lebih dengan nama KH Abdul Chalim Leuwimunding. Ayahnya Kedung Wangsagama, seorang kepala desa yang sangat disegani warganya. Ibu bernama Nyai Satimah. KH Abdul Chalim pernah menikah dengan empat orang perempuan dan memiliki 21 putra-putri, salah satunya adalah KH Asep Saifuddin Chalim, pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah yang juga Ketua Umum pengurus Pusat Persatuan Guru NU (Pergunu).

Berdasarkan penjelasan KH Asep Saifuddin, istri pertama KH Abdul Chalim adalah Nyai Hj Nur. Dari pernikahan pertama ini, KH Abdul Chalim dikaruniai seorang anak yang diberi nama Siti Rahmah. Kemudian, KH Abdul Chalim menikah dengan Nyai Mahmudah asal Cilimus, Kuningan dan melalui pernikahan ini dikaruniai beberapa anak, yakni Nyai Hj Chomsatun, Nyai Hj Mafruchat, Agus Hafidz Qawiyyun, Nyai Rofiqoh, HAhmad Mustain, Nyai Nashihah, dan Mustahdi Chalim. Setelah itu, KH Abdul Chalim menikah dengan Nyai Siti Qana’ah asal Plered, Cirebon yang kemudian dikaruniai tujuh anak, yaitu Nyai Humaidah, Nyai Muntafiah, Nyai Hudriah, H Mustafid Chalim, Nyai Farikhah, Nyai Halimah, dan KH Asep Saifuddin. Kemudian, istri terakhirnya adalah Nyai Hj Siddiqoh melahirkan seorang putri bernama Siti Halimah.

Komite Hijaz 1926.

Koneksi Hijaz

Saat remaja, KH Abdul Chalim bersekolah di HIS Cirebon. Karena itu ia mampu menguasai bahasa Belanda. Namun juga mahir berbahasa Arab. Setamat HIS, ia melanjutkan pendidikan ke berbagai pondok pesantren di Cirebon. Di antaranya Pesantren Trajaya (Majalengka), Pesantren Kedungwuni (Kadipaten), dan Pesantren Kempek (Cirebon). Pada 1914, ketika usianya baru menginjak enam belas tahun, KH Abdul Chalim menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke tanah Hijaz selama dua tahun. Di sana ia sempat menimba ilmu secara langsung dari ulama-ulama masyhur, seperti Abu Abdul Mu’thi, Syaikh Ahmad Dayyat, dan Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani yang lebih sohor dengan sebutan Imam Nawawi Banten.

Saat belajar di Hijaz itulah, KH Abdul Chalim bertemu dengan berbagai ulama Nusantara dari berbagai daerah. Beberapa ulama ini kemudian menjadi teman sekaligus gurunya. Salah satu di antaranya dan yang paling akrab sebagai teman sekaligus gurunya adalah KH Abdul Wahab Hasbullah atau yang lebih dikenal dengan Kiai Wahab Jombang. Saat itu, KH Abdul Chalim juga telah menjadi anggota sekaligus pengurus Sarekat Islam (SI) Hijaz dan merupakan anggota termuda di sana karena baru berumur enam belas tahun.

Seperti diketahui, SI merupakan organisasi para ulama Nusantara yang berorientasi menentang kebijakan-kebijakan pemerintah penjajahan Kolonial Hindia-Belanda di Nusantara. Melalui SI pula, kebijakan-kebijakan pemerintah jajahan yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan sangat merugikan rakyat ditentang secara konstitusional. Hingga pada gilirannya, para ulama pengurus SI kemudian menggabungkan diri ke Nahdlatul Ulama alias NU.

Sebagai putra tunggal seorang kuwu —sebutan untuk kepala desa— di Majalengka menjadikan KH Abdul Chalim tidak canggung lagi ketika dilibatkan dalam berbagai kepengurusan di SI Hijaz. Demikian pun ketika ia kembali ke tanah air pada 1917. Sepulangnya dari tanah suci, KH Abdul Chalim membantu orang tuanya di kampung untuk meringankan penderitaan rakyatnya akibat penjajahan Belanda.

Turut Membidani NU

Pada 1922, KH Abdul Chalim kemudian mengembara dari kediamannya di Leuwimunding ke Surabaya dengan berjalan kaki selama empat belas hari untuk bergabung dengan teman-teman seperjuangannya. Di Surabaya, atas jasa Kiai Amin Peraban, KH Abdul Chalim bertemu kembali dengan Kiai Wahab Jombang, senior sekaligus gurunya selama menuntut ilmu di tanah Hijaz. Karena hubungan baik mereka, KH Abdul Chalim kemudian dipercaya sebagai pengajar di Nahdlatul Wathan yang bertempat di Kampung Kawatan VI Surabaya.

Selain mengajar, KH Abdul Chalim juga dipercaya sebagai pengatur administrasi dan inisiator kegiatan belajar mengajar serta pembuka forum-forum diskusi. Sebagai seorang santri Pasundan yang pandai berkidung dan menguasai ilmu balaghoh (sastra Arab), KH Abdul Chalim kemudian banyak sekali menciptakan syair-syair berbahasa Arab untuk memompa semangat perjuangan santri-santri yang tergabung di dalam Nahdlatul Wathan. Salah satu karyanya adalah mahakarya sejarah NU yang berjudul Sejarah Perjuangan Kiayi Haji Abdul Wahab yang berbentuk nadhom (syair).

Melalui aktivitasnya di Nahdlatul Wathan inilah KH Abdul Chalim menerapkan gagasan-gagasan keagamaannya tentang interaksi sosial, solidaritas politik, serta wawasan kebangsaan dalam masyarakat. Selain Nahdlatul Wathan, juga tercatat sebagai pengajar di Madrasah Tashwirul Afkar, Surabaya.

Sebagai sesama santri di tanah Hijaz, KH Abdul Chalim kemudian menjadi partner KH Abdul Wahab Hasbullah dalam menyelenggarakan pertemuan ulama Nusantara yang disebut Komite Hijaz. Saat itu, KH Abdul Chalim bertugas menemui dan mengirim undangan kepada seluruh ulama atau kiai di Pulau Jawa dan Madura. Atas kerja kerasnya, pertemuan Komite Hijaz akhirnya terlaksana pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Pertemuan Komite Hijaz inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya NU. Saat NU resmi dideklarasikan pada tanggal itu juga, KH Abdul Chalim duduk dalam kepengurusan sebagai Katib Tsani. Karena itu, ia merupakan tokoh yang banyak mencatat dokumen-dokumen strategis dalam setiap sejarah penting bangsa ini, terutama sejarah pergerakan NU.

Selama mengabdi di Surabaya, berkali-kali KH Abdul Chalim pulang ke Majalengka untuk menyampaikan kabar-kabar terbaru dari Surabaya yang kala itu merupakan pusat perjuangan kaum santri dalam membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan dan kebodohan umat. Setiap pulang ke Majalengka, KH Abdul Chalim selalu mendatangi rumah-rumah penduduk untuk memperkenalkan, mengajarkan, dan menyebarluaskan paham Ahlussunnah wal Jamaah. Ia juga selalu membagi-bagikan gambar-gambar dan surat kabar Soeara Nahdlatoel Oelama kepada masyarakat di daerah Majalengka dan sekitarnya.

Pada 1942, ketika ormas-ormas Islam dibekukan oleh pemerintah penjajahan Jepang, KH Abdul Chalim mendapat dua tantangan besar di daerahnya. Intervensi Jepang kepada para pemuda untuk bergabung dalam pasukan militer Jepang dan kebanggaan para pemuda untuk menjadi komunis. Ini menjadi dilema yang sangat sulit dihadapi.

Ketika Hizbullah berdiri pada 1944, KH Abdul Chalim adalah salah satu penasihat nasionalnya. Dalam situasi inilah, KH Abdul Chalim membentuk Hizbullah Cabang Majalengka bersama KHAbbas Buntet Cirebon. Hizbullah Majalengka kemudian bahu membahu bersama dengan kelompok-kelompok pejuang lainnya, baik dari laskar-laskar santri maupun laskar-laskar pemuda lainnya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan, semasa pemerintahan sementara, ia menduduki jabatan penting sebagai anggota MPRS sampai lahirnya pemerintahan definitif.

Pada 1955, KH Abdul Chalim menjadi anggota DPR dari Partai NU perwakilan Jawa Barat. Sejak saat itu, perjuangan KH Abdul Chalim lebih dititikberatkan pada pemberdayaan warga NU Jawa Barat dengan membentuk berbagai wadah pemberdayaan masyarakat seperti PERTANU (Perkumpulan Petani NU), PERGUNU (Perkumpulan Guru NU), dan pendirian lembaga-lembaga formal pendidikan NU di Jawa Barat.

Dalam perjalanannya berjuang untuk Indonesia dan NU, KH Abdul Chalim dikenal sebagai tokoh sederhana dan rendah hati. Dalam kisah perjalannya dari Leuwimunding ke Surabaya yang dicantumkan dalam buku Sejarah Perjuangan Kiai Haji Abdul Wahab,ia hanya berbekal sarung dan makanan seadanya serta dengan berjalan kaki dalam waktu empat belas hari. Lalu, pada saat menjadi anggota DPR GR, tak pernah sedikit pun memakai uang atau fasilitas negara. Bahkan, ketika perjalanan ke ibu kota Jakarta, ia hanya menggunakan musala dan masjid sebagai tempat istirahat.

Makam KH Abdul Chalim Leuwimunding.

Karena Gus Dur Ziarah

Saking sederhananya, ketika wafat tidak ada satupun warisan berharga yang ditinggalkan kepada keturanannya, selain madrasah kecil (bukan pondok pesantren) di Leuwimunding bernama Madrasah Sabilul Halim. Ditambah lagi, ia tidak pernah berwasiat untuk memberikan hal yang spesial pada makamnya sendiri. Bahkan, keberadaan makam KH Abdul Chalim baru banyak diketahui masyarakat pada Maret 2003, Ketika Presiden ke-4  RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berziarah ke Leuwimunding. Bisa dibayangkan jika bukan karena Gus Dur, maka mungkin sampai detik ini pun jasa-jasa dan makamnya hanya akan diketahui oleh segelintir orang saja.

Dari kesederhanaan dan kerendahhatiannya ini pula akhirnya banyak orang yang keliru dan tidak bisa membedakan antara KH Abdul Chalim Leuwimunding dengan Abdul Halim-Abdul Halim lainnya. Berdasarkan penjelasan dari KH A Lazim Soeadi,  salah satu pengajar di Pondok Pesantren Amanatul Ummah, di Jawa Barat ternyata banyak ulama yang bernama Abdul Halim. Atas kenyataan itu, seringkali saya temukan buku-buku sejarah yang salah mencantumkan foto. Yang seharusnya itu adalah sosok KH Abdul Chalim Leuwimunding, namun yang dipasang justru gambar KH Abdul Halim yang lain.

Diceritakan langsung oleh KH Asep Saifuddin, saat-saat akhir hayatnya, KH Abdul Chalim sering mengkaji kitab yang membahas kematian atau sakaratul maut. Kemudian, 40 hari sebelun wafat, ia sering didatangi oleh malaikat dangan menyuguhkan makanan. Semakin mendekati hari kematiannya, KH Abdul Chalim semakin sering mengkaji kitab tentang kematian. Hingga pada hari kematiannya, selepas menunaikan ibadah salat subuh, KH Abdul Chalim sempat mengelilingi empat desa di Kecamatan Leuwimunding, yaitu Desa Leuwimunding, Ciparay, Leuwikujang, dan Desa Mirat. Beberapa saat menjelang siang, KH Abdul Chalim mengumpulkan keluarga beserta semua istri-istrinya. Tidak lama setelah pertemuan itu, ia naik ke loteng dan di sanalah beliau ditemukan sudah menghadap Ilahi Rabbi SWT, yakni pada 11 April 1972 dengan posisi tengkurap sambil membawa selembar kertas dan sebuah pena.

Sang Alim Allamah dan sosok pejuang serta pendiri NU yang sederhana ini dimakamkan di Kompleks Pesantren Sabilul Chalim di Kecamatan Leuwimunding, Majalengka, Cirebon, Jawa Barat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan