Haflah Akhirus Sanah merupan kegiatan akhir tahun bagi Pesantren Salafi “Shiratul Fuqaha”, memeringatinya sebagai resolusi dari klimaks tahunan bagi para santri. Sebelumnya, ada rangkaian tamrinat atau ujian yang dilaksanakan. Ujian tes tulis raudlah atau kelas tentang pelajaran, lalaran kitab tertentu yang disimak, dan ujian lisan berupa tanya jawab antara santri dengan ustadz sebagai pengujinya berupa kajian kitab-kitab dengan penafsirannya.
Tibalah Kiai Mad membuka tausiyahnya di depan santri-santrinya raudhah sadisah; kelas enam yang akan lulus. “Santri-santriku yang dirahmati Allah, setelah tamrinat selesai, kalian boleh tetap tinggal di sini meneruskan mengaji atau boyong. Pesenku, aja lali dampar! (jangan lupakan bangku). Santri harus menyebar untuk menjadi penerang di masyarakat. Ajarkan dan amalkan ilmu pesantren yang dimiliki. Tetap mengaji biar aji dan diajeni”.
Para santri khusyuk mendengarkan setiap wejangan yang diberikan Kiai Mad dengan saksama. Jika lulusan kuliah setelah lulus orientasinya adalah bekerja, maka santri setelah lulus tetap istikamah berorientasi pada mengaji, tidak sekadar materi. Santri sadar, ketika terjun ke masyarakat, mereka harus berperan bukan sekadar diam. Berjuang untuk Islam, menyelamatkan umat dengan semangat ikhlas. Menjadi shirat atau jembatan, jalan hubung bagi masyarakat awam dalam menjalani kehidupan.
Kiai Mad menutup tausiyahnya malam itu dengan wejangan singkatnya. “Jadilah guru di mana tempat dan kapan waktu yang mengiringimu. Jadilah guru bagi anak-anakmu kelak, keluargamu, tetanggamu, dan lingkungan sekitarmu. Apa pun pekerjaanmu, tetap jadilah guru. Petani yang guru, pedagang yang guru, pegawai yang guru, perangkat yang guru, dan lainnya. Minimal menjadi guru bagi diri sendiri. Uswah yang hasanah, sebagai teladan yang patut digugu dan ditiru. Jadikan guru bagian dari thariqatmu, di tengah zaman yang semakin rawan berpotensi kembali ke jahiliyahan. Santriku, ojo lali dampar! Mulang ngaji, Nashirul Ilmi..Barakallah”.