Pernahkah kita duduk di tepi sungai, memperhatikan air yang mengalir? Di sana da ketenangan dalam ritmenya yang alami.
Sekarang, bayangkan sungai itu adalah arus informasi di layar kita. Tapi alih-alih mengalir tenang, ia kerap berubah menjadi riam deras yang menghanyutkan akal sehat dan kemanusiaan kita. Inilah zaman yang kita jelajahi bersama, zaman di mana sengatan pendek dopamin seringkali lebih berkuasa daripada kebijaksanaan yang dalam.

Dampaknya tidak hanya pada apa yang kita lihat, tapi juga bagaimana kita berpikir dan merasa. Kita semua merasakannya. Yang lantang dan bising mendominasi panggung, bukan karena kebenarannya lebih nyaring, tapi karena algoritma menganggap kegaduhan sebagai mata uang berharga. Kontroversi menjadi kereta api ekspres menuju popularitas, menarik penumpang dari dua stasiun: yang bersorak setuju dan yang gemas ingin melawan. Keduanya sama-sama membayar tiket dengan perhatian mereka.
Di sinilah hati manusia tersandung. Echo chamber dan filter bubble membangun tembok-tembok tak terlihat di sekitar kita. Setiap kali kita menyentuh layar, algoritma dengan setia menyuguhkan “gema” pendapat kita sendiri, membisikkan mantra: “Kau benar. Mereka salah.” Lama-kelamaan, kita mulai mengira bahwa pantulan diri kita di dinding ruang gema itu adalah kebenaran mutlak. Kita lupa bahwa dunia nyata jauh lebih luas, lebih berwarna, dan penuh nuansa abu-abu.
Ilmu pengetahuan yang kini serba terjangkau, ironisnya, seringkali justru merendahkan sang pemilik ilmu. Ketika setiap orang bisa bersuara, batas antara yang berpengetahuan dan yang sekadar berani bicara menjadi kabur. “Sanad” keilmuan, sebuah rantai kepercayaan dan keahlian yang dijaga berabad-abad, tersapu oleh viralitas konten. Yang dihargai bukan lagi kedalaman analisis atau adab dalam berpendapat, melainkan keberanian menyulut kontroversi demi angka views dan adsense.
Akibatnya? Empati menjadi langka seperti air di musim kemarau. Perbedaan yang seharusnya menjadi berkah, menjelma bahan ejekan. Kritik memburuk menjadi cercaan. Percakapan berubah menjadi pertempuran. Kita terluka, dan tanpa sadar, melukai balik. Bukankah kita semua pernah merasakan getirnya hal ini? Saat jari lebih cepat mengetik comment pedas daripada hati merenungkan perasaan orang di seberang layar?
Fenomena ini mengingatkan kita pada Hadis Ruwaibidhah: “Akan datang suatu masa, orang yang bodoh berbicara tentang urusan umum.”
Ini bukan ramalan suram, tapi peringatan yang hidup. Algoritma adalah panggungnya, ruang gema adalah pengeras suaranya, dan gelembung filter adalah penjaga gerbangnya. Mereka yang seharusnya mendalamkan ilmu sibuk di menara gading, sementara panggung direbut oleh tong kosong yang nyaring bunyinya.
Namun, di tengah riuh ini, manusiawi kita sesungguhnya belum padam. Ia masih mengembuskan napasnya yang hangat di sela-sela kesibukan jemari. Saat amarah terpancing konten, ada ruang untuk menarik napas dalam, sebelum jemari tergesa mengetik balasan; ruang untuk bertanya dalam hati apakah kata-kata kita menumbuhkan kebaikan atau hanya menambah sampah dalam sungai kebisingan.
Angin lain pun bisa kita cari dengan sengaja—menyusuri lorong informasi di luar tembok gema bagai petualang yang mencicipi rempah asing, membiarkan cakrawala pikiran melebar perlahan.
Pun, di setiap kolom komentar, benih adab digital bisa kita taburkan dengan mengingat: di balik username yang dingin ada jantung manusia yang berdetak; bahwa setiap kata adalah cermin jiwa. Dan ketika godaan soundbite viral mengganggu, kita bisa memeluk kembali kedalaman.
Menghormati proses sunyi yang melahirkan pemahaman, menyadari ilmu yang diendapkan dalam diam, selalu lebih bernutrisi daripada seruan yang menggelegar tapi kosong.
Seorang anak kecil belajar berjalan dengan jatuh-bangun. Mungkin peradaban digital kita masih seperti anak kecil itu, cerdas secara teknologi, tapi tersandung dalam kebijaksanaan. Setiap kali kita memilih untuk tidak terprovokasi, setiap kali kita menyimak sebelum menyanggah, kita meniupkan sedikit kemanusiaan kembali ke dalam angin yang berembus di layar.
Pertanyaannya bukan lagi “Siapa yang tidak terhipnotis?” Tapi, “Bersediakah kita mencabut diri dari hipnosis itu, sedikit demi sedikit, dengan harapan obrolan yang lebih manusiawi di tepian sungai informasi ini?”
Angin algoritma akan terus bertiup. Tapi arah perahu kita, masih bisa kita kendalikan. Dengan hati, bukan sekadar jemari.