Ketika Hari Mulai Gelap

1,194 kali dibaca

Pernah suatu ketika, aku mendengar sebuah ungkapan, kurang lebihnya begini, “Pada hakikatnya, agama diciptakan hanya untuk mengajarkan kebaikan.”

Kemudian dalam pikiranku, mungkinkah ayah tak mengerti tentang hal itu? Mengapa hati ayah begitu keras seperti batu? Bukankah perbedaan tidak harus disamakan?

Advertisements

Aku tahu betul bagaimana ayah dengan hatinya yang beku, begitu antipati dengan orang-orang yang tak seiman dengannya. Kata ayah, orang yang tidak seiman adalah orang kafir.

***

Terjawab sudah keresahan-keresahan yang selama ini menggelayut dalam kepalaku. Cintaku tak akan menemui tepi pengharapan.

Di perempatan jalan, aku dan Leo berpapasan, tetapi mungkin Leo tak melihatku, karena kondisi jalan yang ramai. Dia bersama ibunya baru saja turun dari angkot. Bu Kris terlihat membawa barang belanjaan, dibantu Leo di belakangnya.

Terlihat sekali, mereka keteteran membawa barang belanjaan. Aku juga bisa melihat peluh Bu Kris dan Leo bercucuran. Terik matahari kian menyengat, asap knalpot mengepul. Sementara mereka berjalan menyusuri trotoar, menerobos debu-debu yang beterbangan.

Aku menyesalkan, aku tak sempat menyapa mereka. Sampai-sampai aku berjanji pada diri sendiri, jika aku bertemu dengan Bu Kris dan Leo akan menyapanya. Aku tahu betul kedua orang tersebut adalah orang yang ramah dan suka menebar senyum dengan sesama. Kedua orang itu pasti orang baik.

Di dalam hati, aku berharap jika mereka benar-benar tidak melihatku.

Berselang beberapa waktu, antara kampungku dengan pasar, tak begitu jauh. Kira-kira, hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai ke pasar. Aku bertemu dengan lalu-lalang orang berjualan di pasar.

Ketika mulai masuk ke area pasar, aku bertemu dengan Pak Robert. Dia tersenyum padaku. Senyumannya selalu aku temukan bila dia bertemu denganku. Senyum ramah itulah yang membuat hubungan kami begitu akrab.

“Mau beli apa Dek Nurul?” tanyanya dengan seuntai keindahan dalam balutan senyuman.

“Ini, mau beli kebutuhan dapur. Lha, Pak Robert sendiri kok bawa belanjaan sebanyak ini, memang ada acara apa?” tanyaku.

“Nanti ada acara buka puasa bersama. Nanti sore jangan lupa datang ya,” tuturnya.

“Di mana, Pak?” telisikku.

“Ke gereja.” Aku terperanjat. Aku meyakinkan jika perkataan tadi adalah sepenuh kesadaran yang diucapkan oleh Pak Robert. Dia pamit untuk pergi.

Meskipun aku tak benar-benar mendengar, jika Pak Robert mengucapkan kata pamit. Dalam benakku masih mengais-ngais perkataan yang tadi sebelum dia mengucapkan kalimat pamit. Dia berlalu. Aku masih berdiri di tempat, menengok ke arah belakang. Lelaki itu masih tak jauh dariku. Dia menoleh ke belakang, tepatnya menoleh ke arahku. Secepat mungkin aku membalik arah. Lalu berjalan.

***

Beberapa hari lalu, warga mengadakan kerja bakti. Mereka bergotong royong untuk merenovasi gereja yang ada di kampungku. Mereka saling berbaur, seperti tak ada batasan perbedaan keyakinan. Saling membantu, saling menghargai. Dulu ketika masjid kekurangan dana untuk pembangunan, orang-orang gereja, termasuk Pak Robert dan Bu Kris membantu untuk pembangunan masjid. Bu Kris menjual kalungnya untuk pembangunan masjid. Pak Robert menjual tiga ekor kambingnya untuk membantu pembangunan masjid. Kami hidup berdampingan dengan rukun.

Sore nanti mereka mengadakan buka bersama sekaligus menjalin silaturahmi antarwarga. Sebetulnya ini adalah jembatan untuk mempererat jalinan persaudaraan antarwarga. Gereja satu-satunya yang ada di kampungku baru akan diresmikan sore nanti. Dari itu mereka mengundang kami, untuk meresmikan gereja sekaligus buka puasa bersama.

Sepulang dari pasar, aku mendengar suara gaduh seperti orang bertengkar. Dari pelataran rumah, aku berdiri, terhenyak. Jantung ini terasa berdetak tak biasa. Suara itu sudah akrab sekali dengan telingaku. Dugaan kuat menyelimuti dadaku. Pasti ibu dan ayah sedang bertengkar, gumamku.

Hatiku merajuk mendengar ibu dan ayah bertengkar. Mungkin akan lebih baik jika aku segera masuk dalam rumah dan melerainya.

“Ada apa ini, Bu, Yah? Apa tidak malu dengan tetangga. Lagi pula ini bulan puasa, masak bertengkar,” tegurku.

“Ayahmu, melarang ibu pergi ke gereja untuk buka puasa dengan para tetangga. Ibu hanya bertanya, mengapa tidak boleh, eh, malah marah-marah tidak jelas. Padahal Rasulullah dulu berteman dengan orang-orang kafir. Itu menjadi bukti bahwa tak ada larangan untuk saling bersaudara walaupun dengan orang yang tak seiman dengan kita, ” sahut ibu.

Ayah terdiam. Dahinya mengernyit, pandangannya tertunduk. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Sorot matanya tajam, menakutkan. Entah, apa yang akan dia lakukan. Aku berharap tak ada lagi perbedaan pola pikir. Kalau pun ada, aku berharap tak ada konflik yang timbul karena agama.

Aku masih berdiri di hadapan mereka. Ibu tak henti-hentinya istighfar. Setelah jeda waktu beberapa menit. Kami saling diam. Sesekali angin dari arah pintu berdesir segar. Tempias cahaya matahari masuk lewat pintu dan celah-celah jendela. Aku sibak gorden berwarna kuning yang dari pagi belum sempat terbuka. Cahaya hangat menabrak wajahku.

“Pokoknya ibu tidak boleh pergi ke gereja itu,” ucap ayah terdengar.

Seketika aku menoleh ke arah ayah. Aku mendengar suara ayah bernada membentak. Ibu hanya diam seribu bahasa, seperti ketakutan. Aku merasa ayah seperti orang yang tidak waras. Seringkali ayah marah-marah tanpa sebab. Kasar kemudian bersikap lembut, entahlah aku juga tidak mengerti dengan sikap ayah yang selalu berubah-ubah.

***

Aku dengan Leo sudah berteman akrab, dari mulai SD sampai saat ini. Hubungan kami terus berlanjut, hingga aku tak tahu dengan perasaan ini. Entah, mengapa hati ini terasa bahagia saat kami bersama. Mungkin Leo punya perasaan yang sama, sehingga ada kontak di antara kami.

Ya, mungkin saja aku telah terkena virus merah jambu pada lelaki bermata sipit itu. Dalam bahasa cinta, cinta tak memandang perbedaan, hanya hati yang mengerti tentang rasa. Aku membuka lemari baju. Dari situ aku mengambil sebuah bingkisan berwarna merah muda dengan sedikit hiasan pita yang mengikatnya. Sederhana, tetapi menjadi sesuatu yang manis.

Leo memberikan bingkisan ini seminggu yang lalu. Berisi mukena. Aku pandang lekat-lekat mukena itu. Dia berpesan, saat sholat ied nanti, harus aku pakai.

Aku menatap mukena itu, antara percaya dan tidak. Semua itu seperti mimpi di siang bolong. Sekilas bayangan-bayangan jurang dalam begitu nyata. Aku dengan Leo tak mungkin bersatu. Aku percaya bahwa aku tak selalu harus percaya dengan kemustahilan. Aku percaya keajaiban, aku percaya dengan kemahaan-Nya.

Tuhan mudah untuk membalikkan segalanya. Agama kami adalah agama warisan. Semuanya sudah  kehendakNya. Semua adalah kekuasaan-Nya.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Ketukan itu datang lagi.

“Masuk!”

Ayah membuka pintu.

“Ayah pamit dulu,” ucapnya.

“Memangnya ayah mau pergi ke mana,” tanyaku.

“Ayah ada urusan,” tutumya sambil membelai rambutku.

Aku merasa tatapan ayah terasa aneh. Ayah menatapku dengan penuh kesenduan. Tiba-tiba dia memelukku. Belaian tangannya begitu halus. Guratan-guratan di wajahnya sayu, seakan ini adalah perpisahan. Aku menemukan gelagat yang janggal. Dia melepaskan pelukannya.

“Ayah berangkat dulu ya,” ucap ayah sambil menyarangkan kecupan hangat di keningku.

Kemudian aku mengantar ayah ke halaman rumah. Ibu muncul dari belakang, sambil terisak. Ayah melambaikan tangan kepada kami. Aku membalas. Dia berangkat. Rongga dadaku masih bercokol perasaan tidak tenang. Pikiran-pikiran negatif pun muncul seiring keberangkatan ayah.

Aku duduk di sofa ruang tengah sambil menonton tv. Pukul lima sore mulai beranjak. Sore mulai gelap. Terdengar suara beduk. Aku segerakan berbuka puasa. Kemudian terdengar suara ledakan dahsyat. Langit pun menjadi merah seperti ada yang terbakar, disusul oleh kabut hitam menggumpal. Apa yang sebenarnya terjadi? Gumamku bertanya pada batin.

Selang beberapa menit, suara ambulan terdengar riuh disusul sirine polisi. Aku terenyak sebentar. Sempat bertanya pada hati, apa yang terjadi. Terhampar pikiran-pikiran kacau. Aku tak henti-hentinya berharap, semoga tak ada sesuatu yang membuat air mataku jatuh.

Selesai berbuka puasa, aku melihat siaran televisi, telah terjadi bom bunuh diri di gereja Santo Rahmani. Semua korban yang berada di dalam gereja banyak yang tewas dan beberapa luka-luka.

Mataku mulai memanas, berujung jatuhnya air mataku. Dadaku sesak. Seketika pandanganku buram. Tubuhku terasa lemas seketika. Hatiku bertanya-tanya, bagaimana nasib Pak Robert, dan keluarganya? Bagaimana dengan saudara-saudaraku yang lain? Sementara itu ayah tidak ada di rumah dan tidak ada yang tahu keberadaannya. Dalam pikiranku yang sedang kalut, terbesit bahwa ayah ada di antara mereka.

ilustrasi: pikist.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan