Di rak buku, mushaf itu terbaring tenang. Sampulnya berdebu, halamannya menguning, dan suara lantunannya mungkin hanya bergema saat Ramadan tiba.
Kita tahu ia suci. Kita hafal beberapa suratnya. Tapi jarang bertanya: mengapa kitab ini disebut mukjizat terbesar Rasulullah?

Padahal, Nabi Muhammad ﷺ pernah membelah bulan —mukjizat visual yang langsung membuat orang terpana. Namun, Al-Qur’an yang tak menampakkan drama fisik justru dianggap lebih dahsyat. Rahasianya terletak pada kata mukjizat itu sendiri: ia bukan sekadar tontonan, tapi tamparan bagi keangkuhan manusia.
Mukjizat —dari kata ‘ajaza (melemahkan)—hadir untuk meruntuhkan klaim superioritas suatu zaman. Di masa Nabi Musa, Firaun membanggakan sihir, maka tongkat yang menjadi ularlah jawaban Allah. Di Arab Jahiliyah, kebanggaan mereka adalah bahasa. Penyair adalah pahlawan. Syair adalah senjata yang menentukan kemenangan perang. Maka, turunlah Al-Qur’an dengan bahasa yang melampaui semua retorika manusia. Gaya bahasanya memukau, strukturnya sempurna, hingga para ahli sastra Arab terdiam.
Umar bin Khattab —sang pemimpin dengan karakter keras yang awalnya ingin membunuh Nabi— jatuh tersungkur menangis hanya karena mendengar Surat Thaha. Bukan pedang atau kekuatan fisik yang meluluhkannya, tapi kata-kata yang menusuk kalbu.
Tapi mukjizat Al-Qur’an tak berhenti di masa lalu. Allah menantang manusia hingga akhir zaman: “Buatlah satu surat semisal Al-Qur’an!” (QS. Al-Baqarah: 23). Ribuan tahun berlalu, tak ada yang sanggup. Bahkan Musaylimah si pendusta yang mencoba meniru, hanya menghasilkan rangkaian kata kacau yang mengundang tawa. Al-Qur’an tetap utuh, terjaga keasliannya, meski sejarah diwarnai konflik dan upaya pemalsuan. Bandingkan dengan kitab lain: ada yang hilang, ada yang diubah, ada yang jadi legenda tanpa bukti. Al-Qur’an? Ia tetap sama—dari generasi ke generasi.
Namun, di balik kemukjizatan itu, ada ironi pahit. Kita —yang mengklaim mencintainya—justru memperlakukannya seperti pusaka yang dikurung dalam kotak kaca. Kita menghafal huruf per huruf, tapi lupa bahwa Allah menurunkannya untuk dihidupkan, bukan dijadikan mantra tanpa makna.
Seorang hafiz bisa melantunkan Surat Al-Ma’un tentang kecurangan dalam beramal, tapi diam melihat tetangganya kelaparan. Kita hafal ayat-ayat keadilan, tapi tak peduli pada korupsi yang menggerogoti negeri. Al-Qur’an dijadikan simbol status —dibaca di acara resmi, diukir indah di dinding masjid, tapi jarang disentuh untuk berdialog.
Lihatlah mushaf-mushaf itu. Di rak buku, ia mungkin bersanding dengan novel romantis atau buku self-help. Di genggaman, ia bersaing dengan notifikasi media sosial yang tak henti berdering. Kita sibuk memuja kecerdasan buatan, tapi lupa bahwa Al-Qur’an telah menyebut kapal yang “berlayar di laut bagai gunung” (QS. Ar-Rahman: 24) atau isyarat komunikasi tanpa kabel (QS. An-Naml: 40) ribuan tahun sebelum teknologi itu ada. Kita terpesona pada kemajuan zaman, tapi takjubnya hati pada mukjizat Al-Qur’an justru meredup.
Allah mengingatkan: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24).
Hafalan tanpa pemahaman ibarat memegang peta harta karun, tapi tak tahu cara membacanya. Kita tersesat dalam kebisingan dunia, padahal petunjuk itu ada di tangan. Mukjizat fisik seperti membelah bulan mungkin memukau mata, tapi Al-Qur’an memukau jiwa. Ia tak butuh tontonan spektakuler—cukup dengan kata-katanya, ia mampu membelah kegelapan hati.
Maka, usaplah debu itu. Bukan hanya dengan kain, tapi dengan membuka hati. Ambil mushaf, baca perlahan, dan tanyakan: “Apa pesan-Mu untukku hari ini, Ya Allah?”
Al-Qur’an bukan kitab mati. Ia adalah suara yang terus berbicara —menantang keangkuhan intelektual, menyembuhkan luka spiritual, dan mengajak kita berdiri di garis depan keadilan.
Mukjizat terbesar tak akan berarti jika hanya jadi pajangan. Ia harus dihidupkan: dibaca dengan tadabbur, dipahami dengan akal, lalu dijalani dengan ikhlas.
sumber foto: pesantren halamatul qur’an.