Langit masjid masih memayungi kita. Suara lantunan ayat-ayat suci masih bergema di sudut-sudut kota. Tapi di tengah gemanya, ada dentuman yang menghunjam. Sebuah dentuman peluru ilmu yang kita tembakkan ke dada saudara sendiri.
Kita telah mengubah mushaf yang seharusnya menjadi peta penuntun, sebagai senjata api yang dingin. Setiap dalil dipelintir jadi peluru. Setiap perbedaan tafsir jadi bidikan. Dan setiap majelis ilmu menjelma jadi medan perang, tempat kita saling menembaki atas nama Tuhan. Tragedi ini lebih kejam daripada serangan musuh manapun. Kita membunuh masa depan umat dengan tangan kita sendiri.

Lihatlah bagaimana ilmu yang mulia itu kini terkapar terluka. Ia yang seharusnya menjadi lentera di kegelapan, dipaksa menjadi kambing hitam untuk membenarkan keangkuhan.
Ketika seorang pemuda bertanya tentang ketimpangan sosial, ia diserang: “Jangan bahas itu, itu pemikiran sekuler!” Ketika seorang ilmuwan muslim menemukan terobosan medis, fatwa menghunjam: “Itu meniru Barat yang kafir!”
Kita sibuk mengukur panjang jilbab tetangga, sementara perusahaan multinasional menguras kekayaan negeri-negeri muslim. Kita bersemangat memeriksa akidah orang lain, tapi membiarkan riba menggerogoti ekonomi umat. Kita menjadi penjaga formalitas agama yang galak, tapi abai terhadap rohnya: keadilan, belas kasih, dan persaudaraan.
Di ruang-ruang diskusi, debat bukan lagi mencari kebenaran, tapi pertempuran ego. Label “sesat” dan “bidah” dilontarkan lebih mudah daripada memahamkan. Kita hafal ayat “Lā taqrabū” (jangan mendekati), tapi lupa pada perintah “Ta’āwanū” (tolong-menolong).
Nabi yang dulu memaafkan orang Badui yang kencing di masjid karena ketidaktahuan, kini kita gantikan dengan sosok hakim yang kejam. Setiap kelompok mengklaim diri sebagai pasukan Tuhan, padahal yang mereka perjuangkan seringkali hanya keangkuhan kelompok. Agama yang turun untuk menyatukan, kita pakai untuk memecah belah.
Namun di tengah kegelapan ini, cahaya kecil masih menyala. Ingatlah kisah Nabi menegur sahabat yang marah pada Badui itu: “Kamu tahu ini haram, tapi dia tidak tahu.” Kalimat sederhana itu menggetarkan jiwa. Ia mengajarkan bahwa ilmu sejati bukan senjata untuk menghakimi, tapi tangan yang menuntun yang tersesat.
Ilmu tanpa rahmat adalah racun. Ilmu tanpa kerendahan hati adalah bom waktu. Kebenaran tanpa cinta adalah tirani yang menyamar sebagai kesalehan.
Maka mari kita lakukan revolusi diam-diam. Saat hasrat untuk menyalahkan saudara muncul, tahan jemari yang ingin mengetik hujatan. Saat lidah gatal untuk mengkafirkan, kunyahlah dalam diam, lalu tersenyumlah pada tetangga yang berbeda aliran. Ukur kemajuan bukan dari berapa banyak yang kita hakimi, tapi dari berapa banyak yang kita pulihkan.
Kita butuh keberanian untuk bertanya: “Apa yang akan kita tembak dengan peluru ilmu kita hari ini?” Apakah jantung saudara sebangsa yang berbeda paham? Atau buta huruf yang masih membelenggu jutaan muslim? Sistem ekonomi yang menggadaikan kedaulatan negeri-negeri Islam? Sasaran kita salah dan, naifnya, darah yang tumpah adalah darah kita sendiri.
Di akhir zaman nanti, Tuhan tak akan bertanya: “Berapa banyak kau mengkafirkan orang?” Tapi Dia akan menuntut jawaban: “Apa yang kau lakukan dengan ilmu-Ku untuk menyelamatkan sesama?” Ilmu adalah amanat. Dan amanat itu kini menangis melihat dirinya diubah menjadi algojo.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2)
Mari letakkan senjata. Ambil pena. Tuliskan gencatan senjata dengan tinta emas persaudaraan. Karena, peradaban tidak dibangun dari reruntuhan sesama muslim, tapi dari puing-puing keangkuhan yang kita runtuhkan bersama.