Ketika Alawi Pulang

683 kali dibaca

“Apa yang harus aku lakukan sekarang, Sar?”

“Kau ini bagaimana? Bukannya semua orang mengidamkan memiliki anak seperti Alawi, anakmu?”

Advertisements

Busar menyeruput kopinya yang mulai dingin. Kemudian melanjutkan, “Aku sudah mendengar kabar dari orang-orang bahwa rumahmu telah beberapa kali didatangi oleh kiai-kiai besar bukan? Bukan hanya itu, kabarnya anakmu itu telah tinggi ilmunya. Ia dipuji oleh guru-gurunya. Kabarnya Ia akan jadi seorang yang masyhur, guru besar, dan dikagumi banyak orang. Kiai Fathoni saja sedang menunggu kepulangan anakmu itu.”

Samad kehilangan gairah untuk meneruskan pembicaraan. Ia tak mendapatkan pencerahan dari lawan bicaranya. Menyadari perubahan sikap Samad, akhirnya Busar melanjutkan.

“Bulan depan Ia pulang ke desa ini bukan? Kau seharusnya menyiapkan sambutan yang terbaik untuk anakmu itu. Bukan bengong di tengah sawah seperti tadi.”

“Aku malu, Sar. Aku malu pada diriku sendiri. Bagaimana mungkin dia adalah anakku? Sementara aku masih kotor seperti ini? Ibunya yang ahli ibadah, ahli sedekah, sedangkan aku? Sembahyang saja aku tak bisa.”

“Ya. Oleh karena itu, Kau selalu sembahyang jamaah, bukan?” Busar meledek.

“Ya. Kau benar. Kau masih ingat ceritaku padamu waktu itu?” Busar hanya diam menunggu lawan bicaranya menjawab pertanyaannya sendiri.

Beginilah cerita singkat Samad kepada Busar di teras surau seusai malam selamatan satu suro itu. Cerita itu terjadi sekitar dua minggu lalu.

***

Kebiasaan Narsih tidak pernah berubah walaupun tengah mengandung. Ketika suami dan dunia sedang terlelap, Narsih selalu menyempatkan diri untuk sembahyang malam. Malam itu ia bangkit dari dipan yang dialasi tikar pandan, tempat ia tidur bersama suaminya, Samad. Narsih berjalan tertatih-tatih sambil memegangi punggung belakang dan perut besarnya. Samad yang terbangun oleh suara rintihan Narsih menyadari kebiasaan sembahyang istrinya itu. Tapi kondisi Narsih yang sedang hamil besar membuatnya beranjak untuk memeriksa keadaan. Samad memeriksa dapur, barangkali Narsih belum jauh. Tapi tak ditemukannya. Ia pun segera menuju sumur. Ia tahu istrinya tak seperti wanita hamil lainnya.

Tiba-tiba Samad dikejutkan dengan suara tangis dan rintihan Narsih. Ia segera bergegas, lalu sesuatu yang luar biasa terjadi. Samad melihat Narsih sedang menangis di depan sebuah timba yang penuh berisi emas. Sejenak Samad tak mempercayainya. Ia kucek beberapa kali matanya. Mungkin Ia sedang bermimpi. Ia juga sempat mencubit lengannya. Tak dapat dimungkiri lagi, benda yang berkilau oleh cahaya bulan itu adalah benar-benar emas. Tapi yang lebih mengejutkan Samad adalah Narsih, istrinya. Ia lihat Narsih menuang kembali seluruh isi timba itu ke dalam sumur. Terdengar olehnya bunyi batu-batu itu jatuh menghantam air. Apa yang dilakukan oleh Narsih tak dapat ia mengerti. Sambil terus menangis Narsih kembali melempar timbanya ke dalam sumur. Terdengar bunyi cipratan air. Dengan sisa-sisa tenaganya Narsih menarik timba itu kembali. Lagi-lagi mata Samad terbelalak oleh pemandangan di depannya. Lagi-lagi Narsih menimba emas. Emas yang lebih banyak dari sebelumnya. Samad hendak menghampiri Narsih yang tampaknya sudah kehabisan tenaga, tetapi ia urungkan setelah mendengar kalimat Narsih yang memilukan.

“Wahai Yang Maha Pemberi. Jika Engkau hendak mengaruniakanku suatu pemberian, bukan ini yang kuinginkan. Aku tak membutuhkannya. Aku juga tak menginginkannya. Tukarlah kemuliaan batu-batu ini dengan janin yang ada dalam kandunganku ini. Muliakanlah anak ini.”

Kalimat itu terputus oleh isak tangis Narsih yang sudah tak terbendung lagi. Dilemparnya lagi timba itu ke dalam sumur. Ia tarik kembali. Lagi-lagi timba emas yang didapatinya. Kejadian itu berulang sampai beberapa kali hingga akhirnya Narsih sudah tak punya lagi kekuatan.

Samad yang sedari tadi hanya bisa menyaksikan kejadian yang luar biasa itu akhirnya menghampiri istrinya. Ia tak mampu berkata-kata. Ia langsung membantu istrinya untuk bangkit, lalu ia memegang tangan istrinya. Keduannya bersama-sama menarik timba. Setelah timba terangkat, akhirnya sebuah senyum manis menyeruak pada bibir istrinya. Isi dalam timba itu bukan lagi emas. Isinya benar-benar air. Air yang jernih. Saking jernihnya hingga air itu dapat memantulkan dengan sempurna cahaya rembulan. Samad terpesona, air itu bercahaya. Dikucurkannya air itu perlahan untuk bersuci istrinya. Setelah selesai, barulah ia juga bersuci.

***

Suasana sejenak menjadi hening, tenang penuh arti. Samad tak melanjutkan cerita malam purnama itu kepada Busar yang mulai gelisah mendengar kelanjutan dari kisah sahabatnya yang luar biasa itu. Sambil tersenyum tapi agak kesal, Busar segera menyeruput habis kopi dinginnya.

“Entahlah. Aku tak mampu untuk memikirkan hal semacam itu. Agaknya memang benar. Bukan maksudku menyinggung. Tapi kesalehan Alawi memang karena mendiang ibunya. Sedangkan, Kau Samad…” Busar sejenak terdiam, lalu melanjutkan, “Entahlah”.

Busar pamit lalu meninggalkan Samad berdua saja dengan pikirannya. Sedangkan Samad dalam renungan, terjebak. Dalam perjalanan pulangnya Samad masih sibuk dengan isi kepalanya. “Sebulan lagi. Apa yang dapat kupersiapkan?”

Tiba-tiba Samad dikejutkan oleh beberapa orang berdiri di depan rumahnya. Ia mengernyitkan dahi, mencoba meneliti wajah orang-orang itu.

“Oh. Gusti,” Samad berseru setelah berhasil mengenali salah satu wajah itu yang tak lain adalah Alawi, anaknya sendiri. Laki-laki muda berjambang itu segera menuju ke arahnya. Ia membungkuk, lalu diraihnya tangan kanan Samad, diciumnya tangan keriput dengan urat otot yang menonjol itu. Dihirupnya aroma apek tangan perokok itu. Kemudian laki-laki muda itu bangkit lalu didekapnya tubuh yang masih terpaku itu. Lepaslah semua rasa rindu yang sudah terpendam.

“Sejak dalam pendidikan keluarga, cinta memang telah ditanamkan pada dirinya. Maka tidak diragukan lagi keluargalah yang sangat berperan penting dalam perkembangan pada diri Alawi”.

“Iya, kini aku tahu dan melihatnya sendiri”. Dua orang bertubuh tinggi besar di belakang Alawi saling berbisik

Menyadari hal itu, Alawi akhirnya memperkenalkan dua orang yang turut serta bersamanya. Dengan menjadi penerjemah bahasa Arab, Alawi menceritakan maksud dari dua sahabatnya itu datang ke rumahnya.

Alih-alih mendapatkan tanggapan, tiba-tiba saja Samad beranjak meninggalkan Alawi dan kedua sahabatnya itu. Samad langsung masuk ke dalam kamar. Mengunci pintu rapat-rapat, sedangkan Alawi dan dua orang temannya hanya bisa saling bertukar pandang. Tetapi Alawi bergerak dengan tepat. Diberinya pengertian kepada kedua sahabatnya itu bahwa sebentar lagi matahari terbenam. Samad, Ayahnya, akan bersiap-siap sembahyang.

“Ayah saya sejak tadi pagi pergi bekerja mengurus sawah dan kebun. Maka mungkin sekarang beliau sedang lelah,” kata Alawi dalam bahasa Arab yang fasih. Kedua sahabatnya itu mengangguk.

Alawi segera menyusul ke dalam rumah. Ia mencoba membujuk ayahnya. Setelah dibujuk, akhirnya Alawi bisa masuk. Dua orang dalam kamar itu seperti sedang membicarakan suatu hal yang sangat penting. Untung saja kedua teman Alawi tak mengerti apa yang mereka berdua tengah rundingkan di dalam kamar. Yang mereka dengar hanya isak tangis.

“Kau tahu bahwa Bapakmu ini tak tahu mengaji? Menjadi imam untuk ibumu saja Bapak tak pantas, Wi. Sementara kamu, Wi. Kamu sudah dikenal oleh para kiai di sini. Berita kealimanmu sampai ke sini bahkan sebelum kepulanganmu.”

Samad berteriak kecil dari dalam kamar. Suaranya terdengar sampai keluar kamar, dan membuat kedua sahabat Alawi saling melempar pandang dan bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi di sana? Setelah beberapa lama, kedua orang itu tak kunjung keluar.

Kedua teman Alawi menunjukkan wajah kekecewaan. Jarak jauh yang telah mereka tempuh sepertinya akan sia-sia. Akhirnya mereka menghabiskan malam itu dengan bertanya-tanya. Mereka tidur berdua di bilik yang disediakan oleh Alawi. Sementara Alawi tidur bersama dengan ayahnya yang tidak lagi menampakkan dirinya sejak pertemuan terakhir mereka, bahkan hingga esok harinya, mereka seperti tidak mendapatkan sambutan dari ayah Alawi.

“Mari kita bersiap-siap sembahyang Maghrib. Hari mulai petang,” tiba-tiba Alawi keluar membuyarkan dua orang yang sedang berdiskusi di dipan teras rumah. Tak lama kemudian disusul oleh Samad yang keluar dengan membawa sarung dan sajadah.

Setelah selesai bersuci, mereka berempat kemudian menggelar tikar di ruang tengah. Kedua teman Alawi berbaris lurus membentuk saf yang sempurna. Kaki mereka rapat. Aroma wangi menyeruak di seluruh sudut ruangan. Agaknya ini menjadi sembahyang yang paling ditunggu-tunggu oleh kedua teman Alawi. Perasaan mereka sangat bahagia. Pada akhirnya mereka akan menjadi makmum dari seorang ayah dari kawan mereka yang terkenal istimewa itu. Sebuah senyum terbentuk dari bibir Alawi.

Akhirnya saat yang ditunggu tiba. Alawi mengambil tugas sebagai muazin. Sedangkan Samad hanya tertunduk lesu mendengarkan suara merdu anak semata wayangnya itu. Sejenak suasana menjadi khidmat. Inilah sembahyang yang paling luar biasa yang pernah digelar di seluruh dunia.

Ikamat telah selesai dikumandangkan. Tapi sang imam tak bergerak sedikitpun. Sang imam masih menunduk. Sedangkan makmum di belakangnya masih menunggu aba-aba. Sembahyang itu tak juga dimulai. Makmum mulai merasakan sesuatu yang janggal. Apa yang sedang terjadi?

Keringat dingin mengucur dari kulit renta Samad yang berdiri membeku di hadapan anaknya dan kedua sahabatnya. Tubuhnya mendadak panas, ia malu. Malu semalu-malunya. Ia merasa ia sangat tidak pantas menjadi manusia yang ditakdir menjadi ayah dari seseorang yang terkenal alim.

Aku bukan ibumu, Wi.

Gumam Samad dalam hatinya. Pikiran dan kenangan tentang istrinya berkelebat di dalam kepalanya. Cepat dan semakin cepat kenangan dan pikiran itu semerawut di kepalanya.

Tiba-tiba Sang Imam bergerak. Tapi kali ini gerakannya justru tidak biasa. Imam salat Maghrib itu melesat secepat kilat meninggalkan makmumnya yang masih berdiri mematung. Dibantingnya pintu depan keras-keras. Sang Imam berlari menembus pekatnya kegelapan malam. Ia terus berlari. Berlari hingga akhirnya napas tak memberinya kesempatan lagi. Sang Imam akhirnya kelelahan. Sang Imam menangis menyesal penuh rasa malu.

***

Keesokan harinya.

“Pak. Mari pulang. Tidak baik merepotkan orang,” Suara Alawi membangunkan lamunan Samad. Tampak juga Busar, si tuan rumah. “Mari pulang, Pak,” Kata Alawi sekali lagi.

“Bagaimana dengan kedua temanmu itu?” tanya Samad dengan wajah tertunduk.

“Mereka sudah pulang tadi subuh.”

Sepanjang perjalanan pulang, Samad terus menundukkan kepalanya meskipun sebenarnya ia ingin tertawa.

“Benar, Pak. Alawi juga heran mengapa kedua sahabat Alawi berkata seperti itu. Mereka adalah orang-orang alim. Mereka ikut Alawi ke sini karena penasaran dengan Bapak. Kata mereka, orang tua yang luar biasa akan melahirkan anak yang luar biasa pula. Tapi setelah kejadian Bapak yang meninggalkan mereka di rumah semalam, mereka mengatakan, ‘Kami tak pantas berada di sini. Kami tak pantas bertemu Ayahmu. Jangankan berguru, menjadi makmumnya saja kami tak pantas. Lihat saja. Ayahmu lari ketika hendak memulai sembahyang. Itu baru pertama kali terjadi. Kau tahu? Kami akan pulang. Kami akan belajar lebih giat lagi. Kami akan melatih diri. Sampai hati kami benar-benar bersih dan layak untuk menjadi makmumnya lagi.’”

Jember, 2023.

Catatan: Cerpen ini terinspirasi dari kisah Syekh Nawawi Al Bantani yang disadur dengan cerita yang pernah didengar penulis dari ayahnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan