Kesedihan Ebes

853 kali dibaca

Sudah banyak karyawan yang pulang ke rumah dalam keadaan tubuh yang terbelah menjadi dua. Ada juga yang terpotong menjadi tiga, karena kebetulan salah satu lengannya kena sabetan mesin gergaji itu. Namun, kejadian itu dulu. Sekarang, seolah mesin tua itu telah menemukan pawangnya yang sakti. Siapa yang tak mengenalnya? Seluruh karyawan pabrik menyebutnya Ebes, si penunggang mesin gergaji.

Sebutan itu tak semerta-merta didapatkan oleh Ebes. Hal itu bermula ketika salah satu petugas kebersihan pabrik mendapati dirinya sedang duduk sembari tertawa di atas mesin yang sedang aktif memotong batang pohon besar dari Kalimantan. Bak sebuah komedi putar, Ebes naik di atas mesin itu sembari pita gergajinya terus berjalan, memotong bongkahan kayu secara horizontal.

Advertisements

Awalnya petugas itu ketakutan. Ia mengira itu adalah sosok setan yang sedang menampakkan dirinya. Tapi ketika diperhatikan betul-betul sembari mengucek kedua matanya, barulah ia meyakini bahwa yang tertawa sambil menunggangi mesin gergaji kayu itu memanglah si Ebes. Seorang duda yang baru dua bulan bekerja di pabrik pembuat triplek itu.

“Aneh sekali ya, Kang? Dulu hampir saja mesin tua itu dijual karena selalu memakan korban. Eh, sekarang malah menjadi mesin utama bahkan menjadi idola karena hasil kerjanya ternyata melebihi mesin yang baru dibeli oleh si pemilik pabrik,” kata Pak Supar, salah satu pemborong kayu bakar, limbah dari pabrik itu.

“Kita semua kan tahu. Yang hebat itu bukan mesinnya, tapi yang mengendarainya, eh, maaf, yang mengoperasikannya. Dia sebenarnya yang hebat. Kamu lihat hasil potongannya? Begitu rapi dan dengan ketebalan yang pas. Tidak merusak serat kayu dan permukaannya juga mulus,” kata Pak Man, satpam pabrik yang sudah bertahun-tahun bekerja di sana.

“Ya. Barangkali juga memang berkat si Ebes pabrik menjadi sebesar ini. Aku tak pernah menyangka upah kita juga naik. Berkat siapa lagi kalau bukan si Ebes?” Pak Gi ikut bergabung dalam pembahasan kecil di warung belakang pabrik kayu itu.

“Ya kebangetan kalau produksi naik, tapi upah malah tidak naik. Sesungguhnya bos kita itu kan makan dan hidup dari keringat kita setiap harinya,” kata Pak Man dengan nada sedikit naik.

“Hus. Sudah. Disyukuri saja. Tapi ngomong-ngomong, apa kalian tahu cerita sebelum si Ebes bekerja di sini?” tanya Pak Supar sembari berlagak seperti orang yang paling tahu banyak tentang topik pembahasan kala itu.

“Memangnya Sampean tahu?”

“Ya tahulah. Aku sudah lama menyelidiki masalah ini. Sebab, aku penasaran dengan pabrik yang dulunya angker, sekarang malah menjadi sebesar ini. Dan aku bertambah heran, karena perkembangan pabrik ini katanya berkat jasa satu orang saja.”

“Bukannya Sampean ini iri sama Koh Anton. Sampean, kan dulu pesaing terberatnya. Jangan-jangan Sampean ini sedang mencoba bersaing lagi dengan Koh Anton,” timpal Pak Man sembari menyeruput kopi hitamnya.

“Ya, tak usah bahas soal itu. Nyatanya aku memang kalah dan sekarang harus mengais limbah kayu di sini untuk aku jual lagi.” Semua orang diam, menahan diri untuk melanjutkan pembahasan persaingan antara dua pebisnis itu.

“Jadi, kalian ingin tahu tidak tentang si Ebes yang mematahkan keangkeran mesin gergaji itu?”

Berdasarkan cerita Pak Supar, diperoleh informasi bahwa sebelum menjadi operator mesin gergaji kayu milik Koh Anton, ternyata kehidupan Ebes jauh sekali dari gambaran kehidupan seorang kuli atau buruh.

Dulu Ebes adalah seorang guru honorer yang mengajar di sebuah sekolah di pinggiran kota. Sebelum terkenal dengan kisahnya yang dapat menaklukkan mesin gergaji yang telah memakan banyak korban itu, Ebes lebih dikenal sebagai sosok yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tak ada yang tertarik membicarakannya. Tak seperti sekarang ketika ia lebih pantas dibilang mistis dan sakti. Bahkan, beberapa orang mengatakan bahwa Ebes sebenarnya adalah orang setengah gila.

Kehidupan Ebes sebelumnya seolah tanpa prahara apapun yang berarti. Ia seolah menikmati perannya sebagai seorang guru Bahasa Indonesia. Memang sempat ada yang bilang Ebes masuk koran. Ketika orang-orang menyelidiki, ternyata ia hanya muncul sebagai penulis dari sebuah cerpen di koran lokal. Tak ada foto dirinya yang dimuat oleh koran itu, sehingga mudah saja orang mengabaikannya. Selain itu, kabar tentang namanya masuk koran hanya sekali, setelah itu tidak lagi. Begitulah kemudian nama Ebes kembali tenggelam dan kehidupannya berjalan seperti biasa. Tak ada gejolak sampai suatu ketika ia menginjak pada usia di mana ia harus segera mengakhiri masa lajangnya, yaitu menikah.

Kebiasaannya sekarang yang sering tertawa di tempat kerja tak akan ditemukan pada dirinya yang dulu. Ebes lebih sering dibilang sebagai seorang yang pandai menjaga lisan. Introvet, demikian beberapa adiknya yang kuliah menjulukinya. Namun, agaknya itu menjadi sandungannya ketika ternyata ia justru dijodohkan dengan seorang perempuan yang bisa dibilang lebih pendiam daripada dirinya. Sumi, seorang gadis kota anak juragan sayur di pasar induk yang kemudian berjodoh nikah dengan Ebes.

Pernikahan atas dasar perjodohan itupun terlaksana. Baik Ebes ataupun Sumi sama-sama tak bisa menghindar dari perjodohan itu. Tak ada masalah dalam pernikahan itu, kecuali Sumi yang merasa bahwa pernikahannya dengan Ebes itu dinilainya sebagai beban yang begitu berat. Selain harus meninggalkan keluarga besarnya yang selama ini menyayangi dan membesarkannya, Sumi harus menerima kenyataan tinggal bersama keluarga besar Ebes.

Yang menjadi beban Sumi, karena keluarga besar Ebes termasuk keluarga yang memiliki nama baik di masyarakat. Tidak pernah ada kabar keluarga Ebes sedang mengalami suatu masalah. Masyarakat sekitar melihat kehidupan keluarga itu seperti kesempurnaan. Nyaris tak ada masalah yang terjadi di kehidupan keluarga itu. Semua saudara-saudara Ebes rata-rata menjadi orang yang sukses. Kabarnya anak-anak dalam keluarga itu adalah anak yang penurut. Tak pernah membangkang orang tua. Pokoknya orang tua yang nomor satu. Maka tak heran banyak orang yang mengatakan bahwa di balik kesuksesan mereka disebabkan oleh pengabdian yang penuh kepada kedua orang tua. Dan kali ini Sumi resmi menjadi anggota baru keluarga besar itu.

Sumi tak berkutik dan sekali lagi harus menerima keputusan yang tak dapat disanggahnya. Dalam hatinya mungkin ia keberatan, namun ia pun akhirnya tetap menjalaninya. Sementara di sisi lain, Ebes yang pendiam itu tak tertebak apa yang ada di pikiran dan hatinya. Bahagia menerima pernikahan itu? Atau justru sebaliknya? Tak ada yang tahu. Tapi yang pasti ia pun mau menjalani kehidupan dalam bingkai pernikahan itu. Hanya satu yang pasti, yaitu Ebes selalu mendengarkan dengan baik kedua orang tuanya.

Prahara bermula sejak kabar tentang hamilnya Sumi. Keluarga besar Ebes menyambut dengan gembira berita itu, termasuk Ebes yang juga bersyukur atas kehamilan anak pertamanya itu. Tapi bagaimanakah dengan Sumi? Tak ada yang tahu persis bagaimana perasaannya saat itu. Senyumnya tampak bercampur kekhawatiran. Dan itu benar. Beberapa waktu kemudian Ebes mendengar keluhan pertama dari Sumi.

Sumi merasa ia belum siap menerima kenyaatan akan menjadi seorang ibu. Ia merasa belum siap dengan segala perubahan yang akan terjadi. Meskipun Ebes berulang kali memberikan nasihat dan pandangan positif, tapi tampaknya ia tak mengenal betul istri yang baru tiga bulan dinikahinya itu. Alih-alih memberikan perubahan perasaan nyaman kepada Sumi, nasihat Ebes lebih terdengar seperti khotbah setiap harinya, tak mencerahkan dan tak memberi jalan keluar atas apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh Sumi.

Beberapa kali Sumi mengatakan kepada Ebes bahwa telah terjadi sesuatu pada dirinya. Ia seperti sedang dirasuki oleh sesuatu. Ada yang mengganggu pikiran dan jiwanya. Namun, hal itu malah dianggap sebagai omong kosong, bahkan Ebes juga enggan menanggapi keluhan istrinya tersebut. Hingga suatu ketika, sebuah peristiwa yang tak diduga terjadi.

***

“Setelah peristiwa itu terjadi, Ebes berubah menjadi seperti orang gila. Ia bahkan sering kelihatan menyendiri di atas atap rumahnya sambil tertawa terbahak-bahak. Namun, kabarnya keluarganya berhasil membawanya ke sebuah pengobatan dan beginilah jadinya,” kata Pak Supar mengakhiri ceritanya sore itu.

Para karyawan pabrik yang telah beberapa hari ini mengikuti cerita Pak Supar di warung belakang pabrik telah mengetahui bahwa ada peristiwa dahsyat yang melatarbelakangi karakter Ebes yang sekarang. Mendengar cerita itu, lantas beberapa karyawan pabrik memutuskan untuk mengenal lebih dekat dengan Ebes sembari berniat untuk membantu mengobati kesedihannya. Malam itu juga mereka pergi mengunjungi bagian pemotongan kayu.

“Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kejiawaan saya jika mengalami hal itu,” kata Pak Gi sembari berjalan menuju tempat kerja Ebes.

“Apalagi saya. Melihat anak mati di tangan ibunya sendiri. Itu bukan pengalaman hidup yang baik. Makanya, kita harus lebih mengerti dan menyayangi istri kita di rumah,” kata Pak Man mengingatkan yang lain.

“Betul. Apalagi jika sedang hamil dan menyusui. Jangan sampai anak menjadi korban,” kata mereka kompak.

Jember, 2023.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan