Kenapa Harus Ada NU

3,131 kali dibaca

Mungkin Anda sudah bisa membayangkan seandainya Indonesia tanpa NU. Kalau saya belum. Sungguh, saya tak bisa membayangkan akan seperti apa wajah Indonesia, lebih khusus wajah Islam Indonesia, tanpa kehadiran Nahdlatul Ulama. Mungkin wajah Indonesia tak seperti apa yang kita lihat kini. Mungkin wajah Islam Indonesia tak seperti apa yang kita lihat kini. Lalu akan seperti apa?

Saya akan berangkat dari contoh kecil yang mewarnai dinamika Muktamar ke-34 NU yang akan dilaksanakan di Lampung 23-25 Desember 2021 nanti. Di tengah warga nadliyin sedang sibuk mempersiapkan muktamar itu, ada seseorang dari luar NU yang begitu “perhatian” terhadap jamiyah ini. Hampir saban hari, melalui akun media sosialnya dan yang kemudian pernyataannya dikutip banyak media online, ia menuliskan “pandangan”-nya tentang NU dan tokoh-tokohnya, terutama KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Advertisements

Ia, yang dari akun media sosialnya kita kenal dengan nama Faizal Assegaf, kritikus sosial-politik, menyebut NU tak ubahnya sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya. Keberadaan NU disebutnya sebagai ikhtiar (baca: kepentingan?) politik belaka, dan bukan merupakan produk Islam. Klaim bahwa NU merupakan representasi Islam Ahlussunnah Wal Jamaah disebutnya sebagai pembodohan, penyesatan, dan penipuan. Fanatisme (baca: penghormatan) terhadap tokoh-tokoh NU dianggapnya sebagai perbudakan. Dengan tandas pula Faizal Assegaf menyebut bahwa Islam tak butuh NU.

Berikut saya kutipkan salah satu pernyataannya: “Kalian dedengkot dan loyalis NU berhenti gombalin umat dengan mengkultuskan Hasyim Asy’ari dan seenaknya mengklaim NU sebagai Ormas terbesar dengan dalih Aswaja,” ucap Faizal, Jumat (22/10/2021), seperti dikutip dari berbagai media online.

Yang saya belum bisa berhenti takjub adalah ini: meskipun pernyataan-pernyataan Faizal Assegaf tersebut telah dikutip atau dimuat di berbagai media online, nyaris tak ada tokoh-tokoh NU yang terpancing untuk merespons atau memberi komentar. Warga nahdliyin dan tokoh-tokoh NU terlihat tetap adem ayem.

Entah apa motif Faizal Assegaf tiba-tiba begitu “perhatian” terhadap NU rasanya memang tak penting-penting amat. Tapi mungkin benar apa yang dikatakannya, bahwa Islam tak butuh NU, seperti ketika Gus Dur mengatakan bahwa “Tuhan tak perlu dibela ”—karena Ia memang Mahakuasa. Mungkin benar, memang Islam tak butuh NU, tapi Indonesia?

Ketika membaca pernyataan-pernyataan Faizal Assegaf tersebut yang tak berbalas dari tokoh-tokoh NU, yang terbayang kemudian adalah pertanyaan yang mengawali tulisan ini: akan seperti apa wajah Indonesia, lebih khusus wajah Islam Indonesia, tanpa kehadiran NU?

Jawaban untuk pertanyaan seperti itu harus dimulai dari penggambaran sejarah penyebaran Islam di Nusantara agar kita memperoleh gambaran yang historis, bukan a-historis. Sebelum agama-agama besar dunia datang ke Indonesia, masyarakat Nusantara sudah ribuan tahun hidup dengan tradisi, kepercayaan, dan agamanya sendiri. Tapi, toh, masyarakat Nusantara tak pernah menolak kehadiran tradisi, kepercayaan, dan agama baru. Semuanya diserap dengan caranya sendiri melalui proses harmonisasi dengan tradisi, kepercayaan, dan agama yang telah menjadi jalan hidup selama ribuan tahun itu.

Karena itu, tak ada preseden konflik dan perang agama atau perang antaragama di wilayah Nusantara. Begitulah agama-gama besar dunia seperti Hindu, Budda, Kristen, dan Islam masuk ke wilayah Nusantara —semua diterima dan diserap melalui proses harmonisasi itu; “jalan hidup” baru dengan “jalan hidup” lama berjalan beriringan secara harmonis.

Contoh bagaimana proses diterimanya Islam sebagai agama baru oleh masyarakat Nusantara bisa dilihat dari keberhasilan para ulama Wali Songo mengislamkan Jawa. Mungkin saja, berdasarkan data-data arkeologis, Islam sudah masuk ke wilayah Nusantara pada masa yang paling dini, pada abad ke-8 atau ke-9 Masehi. Namun, hingga saat itu Islam masih terbilang sebagai agama “privat”. Ada orang-orang di Kepulauan Nusantara ini yang sudah memeluk Islam pada masa sedini itu, namun sifatnya masih “individual”.  Islam belum bisa berkembang dengan baik karena belum menjadi sebuah gerakan sosial-institusional.

Para ulama Wali Songo, yang menurut perkiraan hidup mulai abad ke-14 atau ke-15 Masehi, melihat mandeknya penyebaran Islam di Nusantara ini. Melihat masyarakat Nusantara, terutama di Jawa yang sudah ajek dengan tradisi dan budayanya selama ribuan tahun, maka para ulama Wali Songo mengubah cara dakwahnya. Kali ini menggunakan pendekatan budaya. Tradisi dan budaya itu kemudian dipinjam atau diambil kemudian diisi dengan nilai-nilai Islam. Sejak itulah, Islam berproses menjadi agama “publik”, menjadi gerakan sosial-institusional hingga muncul kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dan Islam pun berkembang menjadi agama mayoritas.

Proses kristenisasi Jawa juga mirip-mirip dengan pengislaman Jawa. Dibawa oleh para misionaris yang membonceng kolonialisme di Nusantara, agama Kristen nyaris gagal disyiarkan sampai dengan munculnya Kiai Sadrach. Kiai Sadrach yang lahir pada 1835 dan meninggal di Purworejo pada 14 November 1924 dikenal sebagai penginjil yang sukses di Jawa setelah menerapkan strategi yang digunakan Wali Songo —karena itu ia berjuluk “kiai” dan dianggap sesat oleh sebagian penginjil Eropa. Dari sini kelak muncul sinisme “Islam Abangan” dan “Kristen Abangan”.

Metode dakwah dan penanaman nilai-nilai ajaran Islam yang diambil para ulama Wali Songo itu kemudian terlembagakan dalam apa yang hingga kini kita kenal dengan nama pondok pesantren, lembaga pendidikan keagamaan yang nyaris tak ada padanannya di negara mana pun. Sejak abad di mana para ulama Wali Songo menyebarkan ajaran Islam, pondok pesantren mulai muncul di berbagai pelosok Nusantara dengan pertumbuhan dan perkembangan semakin masif. Apa yang dilahirkan oleh pondok-pondok pesantren itulah yang kemudian muncul ke permukaan sebagai wajah Islam di Nusantara.

Proses ini pula yang kemudian mendorong lahirnya NU pada 1926, satu organisasi atau jamiyah yang diinisiasi oleh tokoh-tokoh pondok pesantren, yang tak lain adalah para “pewaris” jalan dakwah Wali Songo.

Kenapa NU lahir? Latar sejarah menunjukkan bahwa pada dekade 1920-an itu gerakan Wahabi —juga nanti Salafi— dengan dalih “pemurnian” atau “purifikasi” Islam, dengan jargon kembali hanya kepada Al-Quran dan Hadis, mulai menjadi gerakan transnasional. Wilayah Nusantara, di mana Islam telah berkembang menjadi agama mayoritas, menjadi salah satu sasaran gerakan Wahabi ini. Di mata Wahabisme, wajah Islam di Nusantara telah menyimpang jauh dari Islam yang murni, karena dianggap penuh bidah dan khurafat, dan karena itu harus dikikis habis. Karena itu, salah satu alasan kenapa NU lahir adalah untuk membentengi umat Islam di Nusantara dari paparan Wahabisme.

Para tokoh inisiator lahirnya NU ini memiliki pandangan jauh ke depan yang cemerlang. Salah satunya, jika umat Islam di Nusantara tidak dibentengi dari paparan Wahabisme, maka sangat mungkin masyarakat Nusantara akan tercerai-berai, padahal saat itu kesatuan dan kohesi sosial sangat dibutuhkan untuk melawan penjajahan. Dari sejarah kita tahu, pada periode itu, selain harus menghadapi kaum penjajah, NU dan warga nahdliyin juga harus menghadapi “perang ideologi”. Sejak sedini itu, NU dan warga nahdliyin distigma sebagai kelompok yang kolot, tradisionalis, dan penyebar dan sarang takhayul, bidah, dan khurafat.

Catatan sejarah itu menunjukkan bahwa munculnya orang-orang seperti Faizal Assegaf ini bukan gejala baru bagi NU. Sebab, sudah sejak sedini itu NU telah diserang oleh kelompok-kelompok yang tidak sepaham dan membencinya. Namun, dunia sekarang mencatat bahwa Islam yang berkembang di Nusantara telah menampilkan wajah Islam yang moderat, yang penuh kedamaian, yang ramah dan rahmatan lil alamin, dan NU memiliki andil besar untuk itu. Bahkan, penulis buku keislaman yang sangat popular, Ahmet T Kuru, yang menulis buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan pun menilai bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang paling menjanjikan di masa depan. Apa yang telah dilakukan dan dikembangkan NU di Indonesia, menurutnya, harus disyiarkan ke seluruh dunia, terutama di kawasan Timur Tengah.

Sekarang, mari kita bayangkan seandainya di Indonesia tak ada NU. Pertama, bisa jadi wajah Islam di Indonesia akan seperti wajah Islam di negara-negara Islam yang terus-menerus berkonflik dan saling berperang dan penuh kekerasan karena sudah lama terpapar Wahabisme-Salafisme. Kedua, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini mungkin sudah goyah, bahkan bisa jadi sudah tercerai-berai, karena ada kelompok-kelompok yang memaksakan kehendak untuk mengganti ideologi dan bentuk negara.

Jika kita mengikuti sejarah NU pasca-kemerdekaan, setidaknya ada beberapa keputusan penting NU yang menjadi pilar tegaknya NKRI. Pertama adalah resolusi jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945. Kedua adalah penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal pada Muktamar 1984 di Situbondo. NU menjadi yang pertama dalam hal ini. NU berpandangan bahwa Pancasila dan NKRI sebagai sesuatu yang final, tak bisa ditawar-tawar lagi. Ketiga adalah kembalinya NU ke khittah 1926 dan keluar dari partai politik, yang juga merupakan keputusan Muktamar 1984. Saat itu, NU berpandangan bahwa politik identitas (keagamaan) akan menyuburkan sektarianisme, dan saat ini hal itu sudah terbukti.

Keputusan-keputusan tersebut menunjukkan bahwa NU telah menjadi organisasi kemasyarakan berbasis keagamaan yang paling setia pada Pancasila dan NKRI. Karena itu, sepanjang masih ada NU, kelompok-kelompok Islam garis keras berpaham Wahabisme-Salafisme akan kesulitan mendesakkan agendanya, misalnya mengubah Indonesia menjadi negara khilafah atau NKRI Bersyariah. Itulah kenapa di Indonesia harus tetap ada NU.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan