Kenapa Ada Larangan Nikah Beda Agama?

1,847 kali dibaca

Perkara nikah beda agama atau keyakinan kembali menjadi perbincangan publik. Ini terjadi setelah belum lama ada warga negara yang mengajukan gugatan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut diajukan pada Fabruari 2020 atas nama Ramos.

Ramos, yang kebetulan beragama Katholik, gagal menikahi gadis yang telah menjadi kekasihnya selama tiga tahun. Pasalnya, gadis yang hendak dinikahi Ramos adalah seorang muslimah. Pernikahan mereka tak bisa dilangsungkan lantaran dianggap melanggar UU Perkawinan. Karena itulah Ramos mengajukan gugatan ke MK.

Advertisements

Gugatan itu memperoleh dukungan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Bahkan, Komisi ini merekomendasikan agar MK bisa mengabulkan permohonan atas gugatan pernikahan beda agama.

“Komnas Perempuan merekomendasikan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perkara pengujian Pasal 2 dan Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (terkait perkawinan beda agama),” ujar Anggota Komnas Perempuan Dewi Kanti dalam keterangan tertulis, seperti dikutup Kompas.com, Jumat (25/11/2022).

Di dalam masyarakat Indonesia yang latar belakang kebudayaan dan keyakinannya beragam, pernikahan beda agama memang bukan merupakan hal yang baru dan sudah berlangsung sejak lama. Meskin, dalam praktik atau kenyataan sosial fenomena pernikahan beda agama dalam masyarakat Indonesia sudah sejak lama terjadi, isu ini selalu menjadi kontroversi di kalangan masyarakat, terutama masyarakat muslim. Sebab, banyak sumber hukum dalam Islam yang melarang dilakukannya pernikahan beda keyakinan.

Adapun landasan teori yang digunakan termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 221 yang berbunyi:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ

Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”

Menurut penafsiran Muqatil bin Sulayman, ayat ini diturunkan pada peristiwa Abu Mirtsad Al Ghanawi. Singkat cerita, Abu Mirtsad Al Ghanawi diutus oleh Rasulullah secara rahasia untuk berangkat ke Makkah guna membebaskan dua orang sahabatnya. Ketika itu, Abu Mirtsad mempunyai seorang istri yang dicintai pada masa jahilliyah. Wanita itu bernama Anaq.

Kemuadian, Mirtsad berkata kepadanya, “Sesungguhnya Islam mengharamkan apa yang telah terjadi pada masa jahilliyah.” Anaq menjawab, “Maka kawinilah aku!” Mirtsad berkata, “Aku akan meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah.” Setelah itu Mirtsad kemudian mendatangi Rasulullah dan meminta izin. Namun, Rasul melarangnya untuk menikahi Anaq. Sebab, dia merupakan pria muslim, sedangkan Anaq adalah seorang wanita musyrik.

Namun demikian, terdapat beberapa pandangan ulama tentang takwil menikahi wanita beda agama sebagaimana terdapat dalam al-Baqarah 221 tersebut.

Pertama, ada ulama yang menegaskan bahwa bahwa Allah memang telah mengharamkan pria muslim menikahi wanita-wanita musyrik seperti surah al-Baqarah tersebut. Namun, jika wanita-wanita musyrik tersebut tergolong ahlul kitab, hukumnya di-nasakh, di mana Allah telah menghalalkan mereka sebagaimana tercantum surah al-Maidah.

Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Pendapat ini pun dikemukakan oleh Malik bin Anas, Sufyan bin Sa’ id Ats-Tsatri dan Murrahman bin Amru AlAuza’i. Sebagian ulama berkata, di antaranya Ibnu Al Mundzir, “Adapun kedua ayat tersebut (maksudnya ayat dalam surat al-Baqarah dan ayat dalam surat al-Maa’idah), sesungguhnya tidak ada pertentangan. Sebab, zhahirnya lafaz syrik itu tidak mencakup ahlul kitab. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah:

مَا يَوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ وَلَا الْمُشْرِكِيْنَ اَنْ يُّنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ خَيْرٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ

Kedua, ada golongan ulama yang tetap mengharamkannya. Argumentasi didasarkan pada firman Allah: اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ yang artinya: “Mereka mengajak ke neraka.” Ajakan ke neraka ini dijadikan alasan hukum untuk mengharamkan menikahi mereka. Selain itu ada firman Allah: وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ yang artinya: “Sesungguhnya wanita budak yang muhnin lebih baik dari wanita musyrik,” sebab orang yang musyrik itu mengajak ke neraka. Alasan hukum ini berlaku untuk orang-orang kafir. Dengan demikian, orang Islam itu lebih baik daripada orang kafir secara absolut. Hal ini sangatlah jelas

Lantas, muncul problematika-problematika yang diperdebatkan, di antaranya bagaimana hukum menikahi pria ahlul kitab jika mereka adalah orang-orang yang memerangi kaum muslim?

Ibnu Abbas pernah ditanya tentang hal itu (menikahi pria ahlul kitab), kemudian dia menjawab, “Itu tidak halal.” Ibnu Abbas membaca firman Allah Ta’ala:

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صَاغِرُوْنَ ࣖ

Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

Seorang periwayat hadis berkata, “Aku menceritakan hal itu kepada Ibrahim An-Naklra’i, dan hal itu mengejutkannya. “Imam Malik menganggap makruh menikah dengan wanita kafir harbi (yang tinggal di kawasan Islam dan suka memusuhi Islam dan umatnya). Alasannya adalah karena akan meninggalkan anak di medan perang. Selain itu, wanita tersebut mengkonsumsi khamer dan babi.

Dalam konsep menikahi perempuan ahli kitab sudah dibahas di poin sebelumnya, maka dari itu muncul pertanyaan bagaimana hukum menikahi budak perempuan ahli kitab? Para ulama berbeda pendapat tentang menikahi budak perempuan ahlul kitab. Menurut Imam Malik, tidak boleh menikahi budak perernpuan ahlul kitab. Sedangkan, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya boleh.

Pendapat Abu Hanifah diriwayatkan oleh Ibnu Al Arabito. Ibnu Al Arabito berkata, Syaikh Abu Bakar Asy-Syasy memberikan pelajaran kepada kami di kota As-Salam. Dia berkata, para sahabat Abu Hanifah berargumentasi atas dibolehkannya menikahi budak perempuan ahlul kitab didasarkan firman Allah وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ yang artinya: “Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik.”

Ini diartikan bahwa Allah memberikan pilihan untuk menikahi budak perempuan yang beriman atau budak perempuan yang musyrik. Seandainya menikahi budak perempuan yang musyrik itu tidak boleh, niscaya Allah tidak akan memberilan pilihan di antara keduanya. Sebab, pilihan itu berada di antara dua hal yang dibolehkan, bukan antara yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan. Juga, bukan di antara dua hal yang bertolak belakang. Jawaban (atas argumentasi ini) adalah, bahwa perintah untuk memilih di antara dua hal yang bertolak belakang itu diperbolehkan, baik menurut bahasa maupun Al-Quran.

Sementara itu, jumhur ulama telah sepakat bahwa hukum tentang menikahi wanita Majusi dilarang atau haram. Tetapi, ada sekelompok ulama yang berbeda pandangan dengan jumhur.  Mereka berbeda pendapat tentang menikahi wanita Majusi. Misalnya seperti yang diriwayatkan Yahya bin Ayyub dari Ibnu Juraij, dari Atha’ dan Amru bin Dinar; bahwa keduanya pernah ditanya tentang menikahi budak perempuan yang beragama Majusi. Keduanya menjawab, “Tidak ada dosa dalam hal itu.”

Mereka menakwilkan firman Allah: وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ (“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik”). Menurut mereka, ayat ini berkenaan dengan akad nikah, bukan dengan status budak yang dibeli.

Perbedaan pandangan ulama perihal menikahi wanita musyrik, budak perempuan ahli kitab, perempuan majusi, dan lainnya itu semua didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan, yaitu tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat pernikahan beda agama. Maka, dapat ditegaskan bahwa pernikahan yang paling ideal sesuai petunjuk QS al-Rūm ayat 21 yang berbunyi:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Itulah sesungguhnya alasan kenapa ada larangan akan pernikahan beda agama. Sebab, pernikahan beda agama lebih berpotensi menimbulkan problematika di dalam keluarga di kemudian hari. Maka dari itu, dianjurkan memilih pasangan yang seagama karena hal ini dapat membawa kepada keselamatan di dunia maupun akhirat serta keluarga yang bahagia: sakinah, mawaddah, dan rahmah adalah pernikahan dengan orang yang seagama. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan