Kekafiran Intelektual

779 kali dibaca

Kita mungkin pernah, atau bahkan sering, menjumpai orang atau apa pun di dunia ini yang memiliki banyak perbedaan. Itu lumrah dan sudah merupakan sunnatullah. Sikap kita seyogyanya adalah jangan terlalu dini menjustifikasi orang yang berbeda dengan kita dengan predikat “salah”, “bodoh”, “bid’ah”, atau lebih-lebih “kafir”.

Orang yang merasa benar sendiri adalah orang kafir, ya, kafir intelektual. Penulis sengaja meminjam istilah “kafir” agar orang bisa melek intelektual, dan agar ia tidak tertutup (kafir) pemikirannya sehingga mengabaikan dan enggan menerima keniscayaan yang namanya perbedaan dan mengklaim sebagai pemegang legitimasi kebenaran.

Advertisements

Kafir, secara etimologi adalah berasal dari kata kafara-yakfuru-kufran, yang bermakna tertutup-menutupi. Kata ini kemudian dipungut oleh Islam untuk menunjuk orang yang tertutup hatinya untuk menerima nur atau hidayah Islam. Dan dalam kesempatan ini, penulis lebih memilih menggunakan istilah kafir secara etimologi agar orang lebih memahami tentang hakikat makna kafir dan implikasinya agar kita tidak dengan lantangnya lagi berapi-api melontarkan vonis kafir terhadap sesama peng-kiblat Kakbah dan pengikut nabi yang sama, yakni Nabi Muhammad.

Tulisan ini mungkin dilatarbelakangi oleh keracunan dan kerancuan penulis terhadap dunia maya yang penuh dengan “hadith mawdlu” alias berita hoaks dari berbagai akun media sosial yang sifatnya propaganda dan provokatif. Melihat upload-an mereka, dalam benak penulis mereka salah, atau mereka dalam kegelapan sehingga penulis mencoba meluluhkan kekafiran intelektual penulis dan memperbanyak istighfar intelektual, yakni mengampuni diri sendiri atas tertutupnya intelektual penulis dengan cara memperbanyak khazanah intelektual.

Memang benar, kita sebagai penduduk dunia lain yang bernama “sosial media” sedang disuguhi berbagai atmosfer dunia maya yang menyesakkan. Isu sara, adu domba, sampai hujat sana-sini tak lepas dari layar ponsel kita. Udara segar sosial media sangat kita butuhkan dan untuk itu perlu adanya “reboisasi” dalam dunia maya kita agar atmosfer sosial media kita dapat kita hirup dengan segar.

Kurangnya penangkapan yang matang dan kurangnya memahami isi teks maupun konteks atas suatu berita yang di-share, didukung dangkalnya pengetahuan akan klarifikasi serta dibumbui semangat yang menggebu-gebu dan sangat responsif sekali terhadap isu-isu yang beredar, semakin memperkeruh keadaan. Hal ini memicu semakin maraknya kebohongan yang bertebaran di dunia maya dan sangat meresahkan masyarakat, khususnya masyarakat netizen.

Dalam literatur ulumul hadith, perlu adanya kajian mendalam jika terdapat sebuah berita atau kejadian yang sedang hangat. Kajian ini melalui dua aspek, yaitu tentang siapa yang membawa berita dan apa isi berita tersebut. Penelusuran ini tidaklah mudah dan tidaklah murah. Pasalnya, untuk membendung dan menanggulangi berita bohong butuh upaya keras dan ketelitian yang banyak hanya untuk mengklarifikasi satu berita hoaks. Artinya, butuh berhari-hari untuk memfiltrasi berita hoaks satu. Berbeda lagi dengan penyebaran hoaks. Lebih mudah menyebarkan hoaks dari pada mengklarifikasinya. Hanya perlu beberapa menit, atau mungkin beberapa detik, untuk menyebarkan satu hoaks, atau bahkan sekali tekan tombol enter berita hoaks sudah tersebar ke mana-mana.

Isu hoaks kontennya bervariasi. Tergantung motif yang digunakan oleh si penyebar hoaks, atau tergantung siapa yang akan diserang dengan hoaks itu dan situasi apa yang sedang hangat terjadi untuk menggoreng isu yang terjadi, seperti bubuk mesiu yang siap diledakkan dengan sulutan sepercik api. Pelaku penyebar hoaks sudah pasti orang yang tak punya nilai kejujuran di hatinya.

Penulis sendiri sangat geli sekali melihat seseorang yang gencar menyuarakan agama dengan menggebu-gebu dengan melontarkan berbagai dalil yang beraneka ragam yang seakan-akan semua konsep agama sifatnya dogmatis yang tidak ada tolerensinya. Gelinya di mana? Gelinya adalah mereka sangat semangat dalam beragama, tapi lemah dalam berpikir sehingga dengan mudah sekali diprovokasi dan seketika langsung meledak bagai petasan kembang api.

Tidak ada perbedaan kalau kita tetap menghargai perbedaan. Artinya pluralisme akan seperti sebuah kesatuan yang utuh jika kita mampu mengkolaborasikan sehingga yang nampak adalah indahnya keberagaman tanpa adanya saling menghujat karena perbedaan.

Memang benar, perbedaan itu indah. Seindah perbedaan sebuah benang yang beraneka ragam kemudian disatupadukan dalam untaian sebuah sulaman kain bermotif, tidak polosan. Atau bagai semburat beberapa warna di langit pasca hujan membentuk sebuah pelangi. Bukankah keindahan pelangi dihasilkan dari perbedaan warna? Itulah kehidupan.

Menengok ke belakang di beranda sejarah kita, bahwa saat Rasulullah masih memijakkan kaki di semenanjung Arabia, beliau seoranglah pemegang kalimatul haq. Hanya beliau, bukan yang lain. Akan tetapi, setelah beliau wafat, pemegang kalimatul haq ini turun kepada para sahabat yang menjadi saksi hidup Rasulullah. Dan kekuatan kalimatul haq ini berada pada toleransi antarsesama sahabat didukung persatuan para sahabat. Tak jarang dari mereka yang di satu sisi sebagai murid, di sisi lain menjadi guru bagi sahabatnya. Toleransi terhadap setiap perbedaan yang menghiasi kehidupan para sahabat ini patut kita teladani.

Perbedaan pandangan yang mengarah pada persoalan ijtihad semakin memperindah sendi kehidupan, menjadikan medan keilmuan dan khazanah keilmuan yang perlahan semakin kompleks. Tapi perlu kita ingat, sejarah mencatat adanya ijma atau konsensus sebagai hukum terkuat setelah al-Quran dan al-Sunnh, dan ini merupakan bukti persatuan para sahabat dengan menyamakan visi-misi dan pandangan mereka.

Maka, upaya kita sebagai salah satu warga dunia maya untuk melakukan “reboisasi” sosial media adalah dengan belajar sungguh-sungguh sampai ke akarnya. Dan menanami jagat sosial media dengan tanaman konten-konten yang subur dan segar, yang bersifat mendidik bukan menghardik, menyuarakan persatuan, membendung perpecahan. Yang jelas jangan enggan menghijaukan jagat sosial media kita dengan konten yang menyejukkan sehingga terciptalah sebuah atmosfer dunia maya yang sehat.

Raulullah jauh-jauh hari sudah memberikan pesan mendalam dalam sendi kehidupan, melalui riwayat sahabat Abdullah bin Mas’ud. Rasulullah bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا»

Artinya: “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim Nomor 2607).

Hemat penulis adalah, perlu adanya istighfar intelektual, yakni mengampuni diri terhadap kafirnya intelektual dengan cara memperbanyak wawasan dan pengetahuan. Ini sebagai upaya kita bertaubat dari kekafiran intelektual. Upaya ini juga akan semakin memperluas wawasan dan mempersempit medan perpecahan, dan membuka seluas-luasnya ruang toleransi antarsesama.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan