Kearifan lokal merupakan manifestasi nilai-nilai luhur yang lahir dari pengalaman kolektif masyarakat dan menjadi bagian integral dari identitas budaya suatu komunitas. Di Nusantara, kearifan lokal tidak hanya menjadi sumber nilai-nilai etis, melainkan juga berfungsi sebagai landasan pembentukan identitas kolektif yang dinamis.
Hal tersebut tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan tradisional seperti pesantren. Pesantren telah mengakar kuat dalam jaringan budaya dan menjadi wadah pembentukan karakter serta pemahaman masyarakat.

Berbicara mengenai pesantren, kearifan lokal atau yang kerap diistilahkan sebagai suatu khazanah, menjadi penting kiranya untuk dikaji mendalam di dalam pesantren sebagai episentrum yang menghubungkan tradisi, nilai religius, dan kebutuhan intelektual. Menimpali persoalan tersebut, Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading, Kota Malang merupakan contoh institusi keagamaan yang telah bertransformasi tanpa meninggalkan akar tradisinya, sehingga menawarkan wacana sosioreligi yang relevan untuk menjawab tuntutan zaman.
Pondok Pesantren Miftahul Huda atau yang juga dikenal dengan sebutan Pondok Gading merupakan salah satu institusi pendidikan Islam tertua di Kota Malang. Pondok Gading juga telah lama dikenal sebagai pusat pengajaran tasawuf dan tarekat (pondok tasawuf/pondok thoriqoh).
Pesantren ini memiliki reputasi tersendiri yang membentuk identitas keilmuan khas yakni seperti pedalaman ilmu hisab. Keunggulan ini menjadikannya sebagai rujukan utama dalam penetapan hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, oleh masyarakat setempat.
Selain itu, pondok ini juga sebagai wilayah pengajaran tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, dengan tradisi pembelajaran kitab-kitab klasik yang sarat dengan ajaran sufistik. Kemasyhuran lain dari Pondok Gading, sebagaimana pesantren ini sering disebut, terkait dengan karisma spiritual KH Muhammad Yahya. Beliau adalah seorang tokoh yang dikenal karena kewalian dan kesalehannya.
Secara genealogis, KH Muhammad Yahya memiliki hubungan darah dengan salah satu tokoh Wali Songo, yakni Sunan Gunung Jati Cirebon, sehingga memperkokoh legitimasi spiritual Pondok Pesantren Miftahul Huda sebagai pusat keagamaan yang sejuk di tengah perkotaan.
Historiografi Pesantren dan Sekolah
Hubungan antara pesantren dan sekolah formal mencerminkan dinamika dua ekosistem pendidikan yang sering ditempatkan dalam kerangka dikotomis, yakni pesantren sebagai pendidikan keagamaan dan sekolah formal sebagai pendidikan umum (pemerintah). Pesantren dan sekolah formal kerap dianggap sebagai dua entitas yang merepresentasikan dinamika pendidikan dengan orientasi yang berbeda.
Pendidikan formal yang berlandaskan kurikulum nasional dan menjadi fokus utama pemerintah, sering kali dibandingkan dengan pesantren yang secara intrinsik mengedepankan pembentukan wawasan keagamaan berbasis tradisi Islam.
Pada masa lampau, berkembang asumsi bahwa integrasi kedua elemen pendidikan ini sulit terwujud. Dalam perspektif masyarakat pesantren, pendidikan formal dipandang berpotensi mengaburkan atau bahkan mengancam eksistensi pesantren sebagai pusat pendidikan keagamaan yang otoritatif.
Namun, realitas kontemporer menunjukkan adanya pesantren-pesantren yang telah mengadopsi sistem pendidikan formal sebagai bagian integral dari struktur pendidikannya, seperti yang diketahui di Pesantren Tebuireng, Pesantren Tambakberas, dan pesantren serupa lainnya yang mendirikan sekolah setingkatnya. Hal ini menunjukkan evolusi paradigma terhadap relasi antara pendidikan pesantren dan pendidikan formal yang kini tidak lagi dianggap bertentangan, melainkan saling melengkapi.
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Anang Nurwahid dengan Drs Muhaimin, seorang pakar pendidikan Islam dari Fakultas Tarbiyah IAIN Malang pada tahun 1996, beliau mengemukakan bahwa terminologi “pesantren” secara eksplisit tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasiona (SPN)l. Namun, pada Pasal 2 Ayat 6 dari UU SPN disebutkan bahwa salah satu bentuk pendidikan adalah pendidikan keagamaan.
Berdasarkan interpretasi Kementerian Agama, pondok pesantren diklasifikasikan sebagai bagian dari sub-sistem pendidikan nasional. Dijelaskan pula bahwa pondok pesantren mengedepankan pendidikan menyeluruh kepada para santri dengan cakupan kognitif, psikomotorik, dan afektif untuk menginternalisasi nilai-nilai Islam. Maka, dengan pendekatan ini, santri diorientasikan untuk menjadi muballigh, pendidik agama, serta agen penggerak dan pengembang kehidupan beragama di masyarakat, sesuai dengan peran strategis yang diemban oleh pondok pesantren dalam tatanan sosial keagamaan.
Menyikapi Santri Bersekolah
Diskursus sosioreligi yang berkembang dalam lingkungan pesantren ini menimpali respons pesantren terhadap polemik sebelumnya terkait dikotomi antara pendidikan berbasis pesantren dan pendidikan formal, yang pada masa itu kerap menjadi objek perdebatan. Salah satu upaya penting yang muncul dari tradisi Pesantren Miftahul Huda ini adalah keputusan progresif KH Muhammad Yahya yang memberikan legitimasi kepada para santrinya untuk menempuh pendidikan di luar pesantren, baik melalui sekolah maupun perguruan tinggi. Kebijakan ini diambil pada tahun 1960 ketika pesantren pada umumnya masih enggan untuk mengintegrasikan atau mengadopsi sistem pendidikan formal, baik secara fragmentaris maupun komprehensif.
Keputusan KH Muhammad Yahya ini tentu memiliki signifikansi strategis karena menjadi sebab dalam upaya membangun sinergi antara nilai-nilai tradisional dengan tuntutan modernitas. Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan adaptabilitas pesantren dalam menghadapi transformasi sosial dan pendidikan, tetapi juga mengindikasikan kemampuan pesantren untuk menjaga integritas nilai-nilai pendidikan keagamaan sambil memberikan ruang bagi pengembangan kompetensi santri di ranah ilmu pengetahuan umum, sehingga menjadikan pesantren sebagai model pendidikan yang adaptif tanpa kehilangan esensi nilai-nilai sufistiknya.
Banyak lulusan dari pesantren ini yang sukses dalam bidang ilmu keagamaan maupun karir pendidikan mereka. Sebagai contoh, KH Baidowi Muslich yang merupakan alumnus pesantren pada tahun 1985 sekaligus mahasiswa di IAIN Malang pada tahun 1968. Karier beliau menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Malang dari tahun 1985 hingga 2000, kemudian terpilih sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Malang pada periode 2016-2021. Selain itu, KH Shohibul Kahfi, beliau tidak hanya seorang santri nggading tetapi juga pengasuh pesantren. Beliau menjadi dosen matematika sejak tahun 1999 dan diakui sebagai seorang guru utama dalam ilmu hisab. Tak kalah pentingnya, KH Ahmad Munjin Nasih yang pada tahun 2023 mendapatkan predikat sebagai guru besar di Departemen Sastra Arab Universitas Negeri Malang yang merupakan pencapaian luar biasa dalam dunia akademik.
Sebagian besar lulusan pesantren cenderung untuk memilih jalur karier di luar ranah tradisional pesantren, meskipun terdapat pula individu semisal yang memilih untuk mendirikan pesantren sendiri.
Salah satu contohnya ialah KH Is’adur Rofiq yang merupakan mahasiswa Universitas Kanjuruhan Malang namun tetap manut pada jejak ajaran masyayikh. Pandangan ini sejalan dengan dawuh KH Muhammad Yahya yang menegaskan bahwa “Nomer siji ngaji, nomer loro sekolah. Insyallah hasil karo-karone”. Nasihat ini bermakna bahwa prioritas utama adalah menuntut ilmu agama di pesantren, kemudian menempuh pendidikan formal, dan dengan izin Allah, keduanya (ilmu pesantren dan ilmu pendidikan formal) akan memperoleh keberhasilan.
Dialektika ini merujuk pada tafsiran Q.S. Asy-Syuro ayat 20 yang menyatakan bahwa barangsiapa yang menginginkan keuntungan di akhirat, Allah akan menambahkannya, sedangkan barangsiapa yang menginginkan keuntungan dunia, akan diberi sebagian darinya, namun ia tidak akan memperoleh bagian di akhirat.
Tasawuf, Budaya Pesantren, dan Identitas Santri
Keberhasilan dalam pendidikan formal yang didukung oleh KH Muhammad Yahya tidak hanya terbatas pada implementasi niat kedua sebagaimana terkandung dalam dawuh beliau, tetapi juga mengedepankan niat pertama yang menekankan bahwa niat untuk menuntut ilmu di pesantren adalah esensi yang paling fundamental. Di dalam lingkungan pesantren yang kental akan nilai tasawuf, pendidikan ini tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan kecerdasan intelektual, melainkan untuk memperkaya kecerdasan emosional dan spiritual yang sering diistilahkan dengan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient).
Pesantren ini menerapkan metode salafiyah dalam proses kurikulum pendidikannya, serta mengintegrasikan ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dalam praktiknya. Pengamalan tarekat ini memiliki tentu berdampak besar, karena melalui ajaran tarekat tersebut, metode yang diterapkan di pesantren akan semakin sempurna dengan tujuan membentuk santri agar memiliki kesempurnaan (kamil) dalam karakter dan pengetahuan.

Berbicara mengenai tasawuf, jalemaah yang mengikuti tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di pesantren ini terdiri dari masyarakat umum yang melingkupi seluruh wilayah Malang. Tidak hanya orang yang berumur di atas 40 tahun, tapi juga banyak para remaja dan orang dewasa yang mengikuti amalan tarekat di pesantren ini.
Sedangkan, khusus bagi santri, mereka juga diwajibkan mengikuti baiat tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah ini ketika mereka berada di kelas tiga ulya. Pada intinya, pemahaman tasawuf di pondok ini guna meningkatkan ESQ baik melalui pengamalan zikir, maqom lathifah sab’ah (qolbi, ruh, sirr, khofi, akhfa’, nafsi, dan badn), maupun pembentukan Akhlak At Takhalliyah, At Tahalliyah, dan At Tajalliyah yang secara eksplisit maupun implisit dapat menunjang keberkahan dalam tiap intelektualitas dan ritualitas yang dijalankan.
Adapun, budaya pendidikan yang dilestarikan di lingkungan pesantren ini berfungsi sebagai elemen penyeimbang terhadap penguasaan pengetahuan umum, di samping implementasi kurikulum madrasah diniyyah. Tradisi pedagogis seperti sorogan kitab kuning, bandongan bersama kiai, musyawarah ilmiah, bahtsul masail, pembelajaran Al-Qur’an, hingga pembelajaran bahasa asing seperti Arab dan Inggris merupakan bagian integral dari sistem pendidikan pesantren ini.
Selain itu, terdapat pelaksanaan program-program reguler yang dirancang untuk mengasah kompetensi dakwah santri, yang secara internal dikodifikasikan ke dalam istilah Kegiatan Malam Jumat (KMJ). Agenda tersebut mencakup pelatihan retorika keagamaan (khitobiyah/pidato santri), simulasi praktik fikih (tutorial fiqih), serta penyelenggaraan seminar tematik yang menghadirkan narasumber berkapabilitas tinggi dalam bidang agama maupun keilmuan umum. Kegiatan-kegiatan ini secara komprehensif bertujuan untuk mengembangkan keterampilan komunikatif, intelektual, dan moral santri agar mampu berkontribusi secara konstruktif dalam konteks sosial dan keagamaan.

Kompleksitas padatnya kegiatan pendidikan di pesantren mencerminkan kesinambungan aktivitas keterampilan santri dan pelestarian budaya yang kian mendalam, terlebih ketika santri juga berkomitmen menempuh pendidikan formal di perguruan tinggi. Oleh karena itu, tidak ada pengkhususan pada pendalaman kompetensi ukhrawi semata, melainkan pengintegrasian dengan penguasaan kompetensi duniawi menjadikan santri mampu cakap dua bidang keilmuan secara utuh. Penekanan ini semakin bernilai apabila didasari niat mengaji terlebih dahulu, niat sekolah kemudian sebagaimana dawuh KH Muhammad Yahya.
Pada akhirnya, pesantren berperan dalam membentuk individu yang tidak hanya unggul dalam keilmuan agama, tetapi juga terampil dalam bidang ilmu umum dan sosial, sehingga melahirkan generasi pendidik yang berkualitas.