Kearifan Budaya Pesantren dan Perubahan Zaman

547 kali dibaca

Ada sebuah prototipe kearifan dalam budaya dan tradisi pesantren, yang sebenarnya adalah konsep nilai yang diwariskan oleh para wali, ulama, atau kiai di masa lalu. Di mana mereka mau menyerap tradisi apa pun ke dalamnya tanpa harus kehilangan jati dirinya.

Tradisi pesantren inilah yang sangat mewarnai pola kehidupan masyarakat disebut “kaum sarungan”. Kita tahu bahwa santri (student) yang mukim di pesantren adalah mereka yang berniat belajar mendalami agama dan sosial.

Advertisements

Mengapa agama dan sosial? Agama adalah pola aktif interaksi antara Tuhan dan manusia. Sedangkan, sosial adalah bagian dari kehidupan antar-sesama manusia dan makhluk lainnya.

Oleh sebab itu, berakar pada pernyataan tersebut, maka santri memiliki kewajiban untuk tidak bersikap konservatif, kolot. Melainkan harus fleksibel, lentur, dan mampu berbaur dengan siapa pun, karena perbedaan itu berakar pada sikap sosial.

Jika Clifford Geertz mengatakan bahwa pesantren adalah proses pembelajaran dengan pola ada kiai sebagai guru agama, santri atau siswa yang sesekali belajar perihal mistis, wilayah pesantren terpusat dengan masjid dan berada di tengah pemukiman penduduk, maka pesantren adalah pusat di mana pembelajaran agama dan sosial berlangsung secara bersamaan.

Kita boleh saja beranggapan bahwa dewasa ini pesantren mengalami perubahan nilai, seiring dengan perubahan sosial yang tidak bisa dibendung. Namun, kita perlu berpikir positif bahwa bagaimanapun perubahan itu terjadi, pesantren tidak akan kehilangan jati dirinya.

Yang terpenting adalah semangat pesantren dalam mengawal pembentukan karakter manusia. Karena, sejatinya, manusia adalah objek utama dalam pendidikan. Khususnya pendidikan pesantren. Sehingga, tidak sepatutnya pesantren yang berbasis modern menilai lebih unggul dari pesantren yang nilai tradisionalismenya tinggi.

Gus Dur menegaskan bahwa pesantren sebagai a place where santri (student) live. Dengan kata lain, santri yang tinggal di pesantren tidak hanya terpaku pada pendidikan agama semata, melainkan kultur, budaya, dan konteks sosial yang lainnya.

Satu hal yang sampai era digital ini perlu digaris bawahi adalah peranan pesantren dalam perkembangan dan kemajuan sosial, jangan sampai dihilangkan. Artinya jika menggunakan konteks kejawaan disebut dengan diilang-ilangno. Ditutup-tutupi.

Karena kita tahu, pesantren atau santri ketika tidak memiliki embel-embel modern sangat sulit mendapatkan ruang publik. Jika pun ada hanya beberapa. Sedangkan, santri dan pesantren yang ada di Nusantara tentu beragam dan berjubel jumlahnya. Mereka semua memiliki kearifan berpikir masing-masing sebagai bentuk dari nilai kearifan budaya sosial dan keberagamaan yang dibentuk di pesantren.

Walaupun istilah “kaum sarungan” masih saja menjadi identitas kaum santri, pun sebenarnya adalah sindiran para peneliti modern yang menganggap bahwa kehidupan pesantren tidak lepas dari pola tradisional yang sangat lekat, bahkan dianggap terbelakang. Namun, pada kenyataannya pesantren dan santri menunjukkan bahwa mereka mampu berjalan bersamaan dengan perubahan sosial yang terus bergulir.

Demikian juga, kaum santri dapat melebur dan berbaur dengan perubahan sosial, yang justru menjadi problem sosial bagi dan menurut para modernis.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan