Kawin Kontrak, Siapa Menghalalkannya

1,494 kali dibaca

Selain dikenal sebagai daerah wisata terfavorit, kawasan Puncak di Cisarua, Bogor, Jawa Barat juga diduga sebagai tempat sering dilakukannya praktik kawin kontrak atau nikah kontrak. Bahkan, pernah didapati, di kawasan ini ada seorang wanita yang telah melakukan nikah nikah kontrak sebanyak 11 kali dengan lelaki berbeda dalam jangka waktu sangat singkat, yaitu hanya 8 bulan.

Karena itu, isu-isu seputar kawin kontrak ini selalu membayang-bayangi riuhnya kawasan wisata Puncak. Selalu menjadi kontroversi, karena hukum kawin kontrak ini selalu menjadi perdebatan soal boleh-tidaknya atau halal-haramnya. Dalam literature Islam, nikah kontrak atau kawin kontrak ini dikenal dengan istilah nikat mut’ah.

Advertisements

Dalam Islam, pernikahan merupakan salah satu hal yang dapat menyempurnakan separo agama seseorang. Menurut keterangan Muhammad Bagir dalam buku Panduan Lengkap Fiqih Muamalah menurut al-Quran dan Sunnah, istilah pernikahan berasal dari bahasa Arab nikah, yang berarti pengumpulan atau berjalinnya sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Dalam istilah hukum syariat, nikah adalah akad yang menghalalkan pergaulan sebagai suami istri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan bukan mahram yang memenuhi berbagai persyaratan tertentu dan menetapkan hak dan kewajiban masing-masing demi membangun keluarga yang sehat secara lahir dan batin.

Sementara itu, nikah mut’ah atau disebut juga “nikah sementara waktu” atau “nikah terputus”. Dinamakannya nikah seperti itu, mut’ah (sesuatu yang dinikmati atau dimanfaatkan), karena yang melakukannya memperoleh kemanfaatan dengannya serta menikmatinya sampai batas waktu yang ditentukan.

Di dalam Islam, hukum nikah mut’ah atau kawanin kontrak selalu menjadi perdebatan. Jumhur ulama menghukuminya haram, dan ada juga yang membolehkannya. Yang sangat tegas menghukumi bahwa nikah mut’ah adalah halal kelompok Syiah. Kelompok Syiah mendasarkannya dalam al-Quran surat An Nisa ayat 24:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: “Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian itu, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”.

Ayat ini, menurut mereka, berkaitan dengan nikah mut’ah, sebagaimana dikuatkan oleh bacaan (qira’at) Ubay bin Ka’b, Ibn Abbas, Sa’in bin Jubair, As-Suddi, dan lain-lain. Pembacaannya seperti ini: … maka istri-istri yang telah kamu nikmati, di antara mereka,…(ila ajalin musamma) sampai batas waktu tertentu… (yakni dengan tambahan kalimat: sampai batas waktu tertentu … yang tidak ada dalam qira’at atau bacaan biasa).

Berlawanan dengan pendapat kelompok Syiah yang menghalalkan nikah mut’ah, semua imam mazhab dalam kelompok ahlus-Sunnah bersepakat bahwa  hukum nikah mut’ah adalah haram. Menurut Sayid Sabiq dalam bukunya yang terkenal, Fiqh As-Sunnah, pernikahan seperti itu tidak berkaitan dengan hukum-hukum pernikahan yang disebutkan dalam al-Quran, seperti talak,iddah,dan pewarisan (antara suami istri).

Sayid Sabiq juga menyitir hadits yang dengan jelas sekali mengharamkannya, seperti hadits berikut ini:
عَنْ عَلِيٍّ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنْ نِكَاحِ اْلمُتْعَةِ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ
و فى رواية: نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَوَعَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاِنْسِيَّةِ.   (احمد و البخارى و مسلم)

Artinya: Dari Ali R.A bahwasanya Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan daging himar jinak pada waktu perang khaibar. Dan dalam satu riwayat dikatakan “Rasulullah SAW melarang kawin mut’ah pada masa perang khaibar dan (melarang makan) daging himar piaraan.” (H.R Ahmad,Bukhari dan Muslim).

Diharamkannya kawin kontrak, menurut Sayid Sabiq, juga karena motifnya pelampiasan syahwat seksual belaka. Karena itu, pengharaman nikah mut’ah boleh dibilang seperti ijma, kecuali dalam mazhab sebagian kaum Syiah. Bahkan, Umar bin Khattab saat menjadi khalifah telah mengharamkan muta’h dalam salah satu pidatonya, dan di antara para sahabat Nabi Muhammad yang mendengarnya tidak ada yang menentangnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada kenyataannya, nikah mut’ah atau nikah sementara waktu memang pernah dipraktikkan di masa Nabi Muhammad. Bahwa hal itu dibolehkan karena keadaan darurat akibat seringnya para sahabat terlibat dalam peperangan yang mengharuskan mereka cukup lama berada di perantauan, jauh dari rumah dan keluarga. Sehingga, Nabi Muhammad adakalanya mengizinkan mereka melakukan pernikahan untuk sementara waktu. Namun, setelah itu Nabi melarang mereka melakukannya kembali setelah kondisinya berubah.

Mengikuti ijma para ulama, hukum di Indonesia juga mengharamkan praktik nikah mut’ah ini. Ini sesuai dengan Surat Sekretaris Jendral Departemen Agama RI nomor: BVI/4PW.01/4823/1996 tanggal 11 Oktober 1996, perihal “Fatwa tentang Nikah Muta’h”. Di situ ditetapkan dengan tegas bahwa nikah mut’ah hukumnya adalah haram. Pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan