Kasus UAS dan Pemberantasan Radikalisme-Ekstremisme

724 kali dibaca

Belakangan ini nama penceramah kondang asal Indonesia, Ustaz Abdul Somad atau akrab dipanggil UAS seketika menjadi buah bibir khalayak ramai. Seluruh media di Indonesia memberitakan. Hal ihwal berawal dari penolakan Singapura akan kedatangan UAS ke negaranya.

Tentu, kita akan bertanya-tanya mengapa negara Singapura menolak bertandangnya UAS, kendati sekadar untuk berlibur bersama keluarga? Bukankah ia termasuk ulama kesohor di Indonesia dalam bidang ilmu hadis?

Advertisements

Ternyata, usut punya usut, ditolaknya UAS oleh negara Singapura karena beberapa alasan. Sekurang-kurangnya, menurut Kementerian Dalam Negeri Singapura, sebagaimana dikutip beberapa media bahwasanya ada empat alasan. Pertama, UAS dinilai tengah menyebarkan ajaran ekstremisme dan segregasi, sehingga kedatangannya ditolak atau tidak diterima.

Kedua, UAS pernah berceramah tentang bom bunuh diri, dan membolehkan jika terjadi pada konflik Israel-Palestina. Pun, ia menyatakan bahwa bom bunuh diri sebagai bentuk perjuangan dan termasuk mati syahid bagi pelakunya.

Ketiga, UAS pernah menyebutkan salib Kristen merupakan tempat tinggal atau rumah jin kafir (roh jahat). Kemudian, secara tegas negara Singapura menyatakan bahwa Ustaz Somad pernah menyampaikan komentar yang tidak ‘sedap’, yaitu merendahkan agama lain (Kristen).

Keempat, kerap mengafirkan ajaran agama lain dalam setiap ceramahnya. Alasan inilah yang membuat Pemerintah Singapura menolak UAS karena dinilai tengah menganjurkan kekerasan serta mendukung ajaran radikal-ekstremis. Penolakan ini, tentu saja, bertujuan demi menjaga keutuhan dan keberlangsungan dalam berbangsa dan bernegara.

Sebelum negara Singapura menolak kedatangan UAS, ternyata ada beberapa negara yang pernah menolak kedatangan UAS bahkan tanpa alasan apapun, seperti dilansir dari pelbagai media. Pertama, pada 2019 UAS ditolak masuk ke Jerman-Belanda karena dianggap seringkali membuat pernyataan yang intoleran bahkan cenderung provokatif. Kedua, Hong Kong pada Desember 2017. Ketiga, Timor Leste pada 2018 ketika hendak mengadakan tablig akbar. Namun, saat tiba di bandara, petugas imigrasi menjegalnya karena diduga terkait terorisme.

Kesamaan alasan beberapa negara tersebut dalam menolak kedatangan Ustaz Abdul Somad bukanlah suatu kebetulan, atau ada konspirasi. Artinya, tidak mungkin kelima negara memiliki pemahaman yang sama dalam menilai satu orang. Akan tetapi, tentu saja, masing-masing negara memiliki kriteria dan kebijakan tersendiri yang sangat jitu terkait hal-hal yang dapat mengancam pada keutuhan sebuah negara, seperti penilaiannya terhadap UAS.

Pelajaran bagi Indonesia

Namun, di balik penolakan beberapa negara terhadap UAS dengan alasan tersebut, satu hal yang menurut saya sangat urgen untuk dikampanyekan, yaitu betapa berbahayanya paham atau ideologi radikal-ekstremis-terorisme pada keutuhan suatu bangsa. Bahkan, dapat meluluh lantakkan melalui aksi-aksi heroiknya; memaksakan kehendak, perilaku intoleran, klaim kebenaran tunggal dan menganggap yang lain salah hingga aksi teror.

Dengan kenyataan ini membendung serta memberantas paham atau ideologi yang kerap bertentangan dengan NKRI dan ideologi Pancasila merupakan sesuatu yang niscaya. Mengingat di Indonesia, paham atau ideologi radikal-ekstremis-terorisme berkembang cukup pesat. Keberadaannya seolah-olah tengah menjadi bagian dari perjalanan hidup bangsa ini.

Ambillah contoh, kasus teranyar yang sempat menyita perhatian publik beberapa waktu belakangan ini yakni 5 WNI yang menjadi fasilitator pendanaan ISIS, yang kemudian di sanksi berupa pemblokiran aset oleh Departemen Keuangan Amerika Serikat. Kelima WNI ini menjadi bukti nyata bahwa, salah satu sumber dana yang digunakan oleh kombatan ISIS juga berasal dari Indonesia. Ini berarti, bangsa kita masih dalam kondisi tidak aman dari para kelompok pemecah belah bangsa.

Karena itulah, penolakan Pemerintah Singapura terhadap UAS patut dijadikan pelajaran bagi bangsa Indonesia dalam membendung berkembangnya paham radikal-ekstremis-terorisme. Mengapa demikian, karena Singapura telah melakukan tahap pencegahan dini terhadap paham-paham yang dapat mengancam keutuhan negaranya, yakni tumbuh kembangnya pemikiran radikalisme yang berpotensi melahirkan ancaman aksi kekerasan dan teror disebabkan pandangan intoleran dan eksklusif.

Sementara Indonesia, pemberantasan terhadap paham atau ideologi radikal-ekstremis-terorisme masih berkutat dalam tataran preventif strike atau pencegahan hukum terhadap ancaman atau aktivitas teror. Artinya, pemerintah tetap melakukan penegakan hukum meski belum melakukan aksi teror.

Dengan demikian, maka diperlukan suatu regulasi khusus yang tidak sekadar berkutat dalam ranah hukum untuk memberantas tumbuh kembangnya paham atau ideologi radikalisme, baik melalui Perpu ataupun Undang-undang demi menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa sebagaimana dilakukan Pemerintah Singapura. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan