Kasih dan Air Mata Ibu

857 kali dibaca

Setelah keluar dari pesantren, menjadi alumni Pondok Pesantren Annuqayah, sekitar tahun 1995, saya diajak senior pesantren untuk mengabdi di pesantren yang ada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Perjalanan jauh ini merupakan perjalananku yang pertama. Sebelumnya, saya tidak pernah melakukan perjalanan hingga menyeberangi laut lepas. Tetapi, karena targetnya adalah mengabdi di sebuah pesantren, akhirnya saya setuju dan mau bepergian sejauh itu.

Tentu saja, pertama kali yang saya minta persetujuan dan restu adalah ibuku. Saya  memberitahukan masalah ini ketika ibu sedang sibuk di dapaur. Biasanya pada saat demikian saya dan ibu ngobrol sambil aku membantu seadanya.

Advertisements

“Bu, saya mau ke Kalimantan,” saya memulai percakapan saat itu.

“Kalimantan mana?”

“Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Lumayan jauh dari Madura.”

“Untuk apa pergi sejauh itu?” Ibu bertanya acuh.

“Mengabdi, Bu. Di sana ada pesantren baru yang memerlukan ustadz,” saya jawab dengan jujur.

Ibu sesaat diam. Entah apa yang ada dalam pikiran ibu. Saya juga diam. Tentu menunggu persetujuan ibu. Tetapi kemudian ibu mengatakan bahwa kalau dalam rangka pengabdian tidak apa-apa. Silakan saja. Hanya, pesan ibu, harus hati-hati dan jangan sampai melenceng dari tujuan semula: pengabdian itu.

“Tidak apa-apa Kau pergi jauh. Asalkan jangan sampai membelot dari tujuan utama, mengabdi demi rida Allah swt.” Demikian ibu akhirnya memberikan restu.

Meski demikian, saya melihat ada rasa gundah di wajah ibu. Entah apa yang dirasakan ibu sebenarnya. Bagi saya, restu ibu adalah segalanya. Jika ibu tidak berkenan, tentu saya tidak akan melangkahi titah ibu.

Keberangkatan pun sudah tiba. Sebenarnya ada beberapa dari teman sealmamater yang turut serta dalam missi “jihad” ini. Mereka semua teman seangkatan saya. Jadi, saya punya teman ngobrol dan berdiskusi sepanjang perjalanan. Bahkan hingga sampai di tempat pengabdian nanti.

“Ibu, yang berangkat bukan hanya saya saja. Ada beberapa teman yang juga ikut pergi menyeberangi lautan luas itu.” Sebelum berangkat saya bilang ke ibu, agar ibu tidak kepikiran.

“Ya, sudah tidak apa-apa. Malah lebih baik kalau ada teman yang sama-sama berangkat,” jawab ibu saat itu. Terlihat ibu begitu ikhlas untuk melepas kepergiannku.

Namun pada saat saya pamit dan mencium tangannya, tiba-tiba tangis ibu meledak. Saya tidak pernah melihat ibu menangis seperti itu. Selama ini, ibu adalah sosok yang begitu tegar dan tabah. Tapi mengapa saat keberangkatan ke pulau seberang itu, tiba-tiba saja ibu menangis tersedu. Terbersit dalam pikitan, jangan-jangan ibu tidak rela atas kepergian saya.

Melihat ibu menangis, tak terbendung air mataku pun mengalir. Teringat bagaimana tindakanku selama ini. Meski saya tidak pernah menyakiti ibu secara sengaja, tetapi sampai detik ini saya tidak bisa membalas pengorbanan ibu. Teringat Sabda Nabi saw, “Kerelaan Allah swt tergantung pada kerelaan kedua orang tua, dan kemarahan Allah swt juga tergantung kepada kemarahan kedua orang tua.” Tersebab itulah, kemudian saya merasakan kesedihan yang luar biasa.

“Berangkatlah, Nak. Semoga Allah swt selalu melindungimu dalam perjalananmu.” Kalimat ini yang kemudian membuat pikiranku yakin. Bahwa tangis ibu adalah kesedihan cinta karena harus berpisah dengan anaknya. Selama ini, aku belum pernah bepergian terlalu jauh. Sehingga ibu mungkin merasa ragu dengan kepergianku yang jauh ini. Tetapi, rupanya tidak demikian. Ibu tetap memberikan restu meskipun aku harus pergi jauh.

Aku pun berangkat diiringi derai air mata cinta ibu. Aku dan beberapa teman yang setujuan denganku pun sudah siap menempuh jarak yang entah. Dalam perjalanan, saya masih sempat berpikir tentang keadaan ibuku. Maklum, saya termasuk anak yang disayang dalam keluarga. Bukan berarti ibu tidak sayang kepada kakak-kakak dan adikku. Akan tetapi, perasaan cinta ibu kepadaku terasa lebih dari yang aku rasa selama ini. Jadi, ibu adalah “madrasahku” yang akan selalu kukenang sepanjang masa.

Kepergianku ke pulau seberang, Kalimantan Selatan, tidak mengalami hambatan yang berarti. Kami sampai di tujuan dengan tanpa kurang suatu apa. Dan di tempat itu, pesantren baru, kami semua berjihad untuk kemaslahatan umat. Setiap saat bergelut dengan santri, kajian kitab kuning, rangkaian ibadah, dan segala hal terkait dengan kepesantrenan. Secepatnya aku mengabarkan kondisiku ke orang rumah, terutama ibu. Dan, alhamdulillah, ibu juga merasa bahagia sekaligus bangga ketika saya kerasan di tempat baru itu.

Itulah ibu, yang kata D Zawawi Imron, “Berselendang bianglala.” Merupakan tumpuan kasih yang tak bertepi. Ibu yang membawaku pada titian kehidupan yang sebenarnya. Ibu adalah buah rindu yang selalu menguarkan beribu purnama.

Ibuku sudah pergi untuk selama-lamanya. Dalam usia yang cukup senja, ibu pergi menghadap Tuhannya. Aku berada di sisi ibu, saat Beliau terakhir kali melihat dunia. Ibu meninggalkan duka, tetapi membawa senyum bahagia karena akan segera berjumpa dengan pujaan hati, Allah swt. Dan itu artinya, aku tidak akan lagi dapat melihat wajah ibu yang teduh. Sabar dan tabah adalah bagian dari keseharian yang dapat saya lihat. Gurat ketabahannya begitu membekas di wajah ibu yang mendamaikan.

Hari itu (pertengahan 2016), hampir senja. Saya mengantarkan ibu ke pemakaman. Alam seakan berduka, mendung menggelantung di ufuk. Tanpa titik hujan, namun air mataku membasahi gundukan tanah di mana ibu bersemayam untuk selamanya. “Selamat jalan, Ibu, aku masih di sini, di dunia ini, yang setia dengan munajat doa. Robbighfir li waliwalidayya warhamhuma kama robbayani shoghiro, (Tuhan, ampunilah aku dan kedua orang tuaku yang telah mendidikku sejak aku masih kecil).”

Madura, 22 Desember 2020.

Ilustrasi: Eva Maulidiyah.

Multi-Page

One Reply to “Kasih dan Air Mata Ibu”

Tinggalkan Balasan