Kang Syukri yang Selalu Bersyukur

4,825 kali dibaca

Kang Sukri. Nama itu sangatlah terkenal di seantero pondok Futuhiyah. Dalam sehari speaker pondok bisa memanggil nama itu sampai berkali-kali, hanya karena kiai sering mencarinya. Dia adalah seorang santri khodim Kiai Fatah yang sudah bertahun-tahun mengabdi. Kata “syukri” yang tersemat sebagai namanya berarti syukur.

Jika ditinjau dari segi ilmu nahwu dan sorof, kata “syukri” bukan berarti berkedudukan khofad walaupun berakhiran dengan bunyi “i” atau tanda kasroh yang menjadi ciri khusus i’rob khofad. Hal ini karena i’rob jer atau khofad menunjukkan kedudukan yang selalu di bawah yang tidak pantas dipakai menjadi sebuah nama. Sebuah nama yang memakai i’rob khofad memiliki makna filosofis negatif, yakni kedudukan kasroh atau di bawah.

Advertisements

Menurut cerita pamannya, pamannya dapat cerita dari ayah Kang Syukri, kata “syukri” berasal dari isim masdarsyukron” yang bertemu dengan ya’ mutakallim wahdah, maka kata Syukri memiliki arti syukurku, atau rasa syukur yang kumiliki. Orang tua Kang Syukri sangat menginginkan dirinya menjadi orang yang ahli syukur. Orang yang syukur dan ridho atas keputusan Allah memiliki kedudukan yang teramat mulia di sisi-Nya. Ahli syukur adalah pemenang di setiap pentas kehidupan.

“Kang Syukri!” panggil Kiai Fatah suatu waktu. Kang Syukri pun mendekat sembari membungkuk takdzim.
“Tolong belikan daging ayam, kecambah, sama bumbu soto ya. Nanti berikan ke mbak-mbak yang ada di dapur,” perintah Kiai Fatah. Tanpa ba-bi-bu, Kang Syukri langsung berangkat ke pasar mencari pesanan kiainya.

Beberapa saat kemudian Kang Syukri sudah kembali membawa pesanan Kiai Fatah tadi. Namun kemudian Kang Syukri didera bingung ketika akan memberikan pesanan itu. Daging ayam harus diberikan kepada santri putri yang mengurusi masak, tetapi ketika Kang Syukri sudah membunyikan lonceng untuk memanggil para khodimah, mereka tak kunjung datang. Kang Syukri berdiri mencakung menanti kedatangan perempuan yang sudah sangat dia hafal bentuk dan warna kulit serta baju yang biasa dikenakannya, bahkan Kang Syukri juga hafal bau keringat perempuan khodimah Kiai Fatah itu. Sembari menunggu kedatangan khodimah itu, Kang Syukri membayangkan seperti apa wajahnya. Suara lembut perempuan itu selalu mampu menggetarkan dadanya. Dan semakin hari dia semakin penasaran seperti apa wajah perempuan itu. Ketika suara gesekan sendal khodimah itu terdengar di gendang telinga, dada Kang Syukri mulai berdebar-debar tak terkendali.

Sudah ada lima tahun Kang Syukri memendam penasaran itu. Entah itu sebenarnya apakah hanya rasa penasaran atau ada warna perasaan yang lain. Kuat-kuat dia mengendalikan diri agar tidak berbuat kelewat batas dalam mengenal santri putri. Kini dia sudah berusia tiga puluh tahun. Dan pengabdiannya kepada Kiai Fatah sudah selama tiga belas tahun, terhitung sejak kewafatan ayahnya di tahun kedua dia mondok di pesantren Futuhiyyah asuhan Kiai Fatah ini. Ngajinya juga sudah khatam walaupun masih ada banyak kitab yang bolong-bolong. Bagi Kang Syukri, alur hidup seorang santri adalah ngaji, ngabdi, rabi. Mondok sampek rabi, ngaji sampek mati. Dia ingin mewujudkan tekad itu. Bahwa selama belum nikah dia bertekad akan tetap mondok. Baginya mencari ilmu harus berlangsung sampai akhir hayatnya. Dan saat ini usianya sudah cukup matang untuk menikah. Maka usaha harus dia lakukan.

“Mbak, tunggu dulu,” sergah Kang Syukri melihat tangan perempuan itu mengambil kantung plastik berisikan barang belanjaan tadi. Transaksi antara khodim dan khodimah hanya sebatas suara saja. Barang belanjaan ditaruh di atas sebuah meja dan khodimah hanya boleh menampakkan tangan untuk mengambil barang itu. Mereka dibatasi dinding dari bilah-bilah papan yang dilubangi untuk mengambil barang.

Perempuan itu menghentikan langkahnya dengan menahan setumpuk penasaran. Tak biasanya Kang Syukri memanggilnya. Seingatnya, semenjak menjadi khodimah Kiai Fatah lima tahunan yang lalu, baru kali ini dia dipanggil oleh santri putra itu. Nama Kang Syukri sudah terkenal di kalangan santri putri, khususnya para khodimah, karena saking lamanya Kang Syukri menjadi abdi ndalem atau khodim Kiai Fatah.

“Ada apa Kang Syukri?” tanya khodimah itu. Dan dada Kang Syukri semakin berdebar karena namanya disebut oleh perempuan yang diam-diam mengisi ruang hatinya itu.

“Boleh tahu namamu Mbak? Namamu siapa?” tanya Kang Syukri memberanikan diri.

“Untuk apa Kang?” tukas perempuan itu dengan suara lirih seolah sedang berbisik- bisik, takut kedengaran kiai.
Kang Syukri mulai keringetan menahan grogi. Dia kini bingung harus menjawab bagaimana. Kang Syukri terdiam agak lama hingga kemudian terdengar suara gesekan langkah perempuan itu. Akhirnya dia menjawab sekenanya.

“Barang kali nanti Kiai Fatah bertanya siapa penerima belanjaan ini, biar aku tidak bingung menjawab pertanyaannya,” tukasnya dengan suara sedikit bergetar.

“O begitu. Namaku Nurmala Kang, panggil saja Mala,” jawab perempuan itu sambil melangkah pergi. Kini Kang Syukri tinggal sendirian. Dan nama itu semakin deras mengisi ruang-ruang dalam hatinya. Naluri sorof Kang Syukri segera bergerak memahami nama perempuan itu. Dia teringat lagu kullul kulub. Kullul kulubi ilal habibi tamilu –setiap hati selalu cenderung pada kekasih hatinya. Lalu Kang Syukri menasrif nama itu, Maala- yamiilu- mailan. Mala berposisi sebagai fi’il madhi yang menunjukkan waktu lampau. Dia kemudian tersenyum. Nama itu memang sudah bercokol di dalam hatinya sejak lama. Mala bermakna condong atau kecenderungan. Dan hati Kang Syukri semakin cenderung terikat pada gadis itu, meskipun dia belum pernah melihat seperti apa wajahnya. Sebagai seorang khodim, dia jarang sekali berinteraksi dengan kaum hawa. Baginya perempuan adalah makhluk yang hanya ada dalam angan-angannya.

Kang Syukri semakin memantapkan diri. Sudah saatnya dia pulang. Dan dia bertekad pantang pulang sebelum membawa istri sesama santri. Sebagai sesama pelayan kiai, dia menganggap Mala memiliki persamaan latar belakang dengan dirinya. Ini adalah faktor kafa’ah atau sekufu yang menjadi anjuran dalam mencari pasangan hidup agar kelak bahtera rumah tangga yang diarungi tidak goyah di tengah jalan.

Menjelang Lebaran Kang Syukri bermaksud mengutarakan keinginannya pada Kiai Fatah. Dia sudah tidak sanggup lagi menahan keinginan itu. Dia harus mengungkapkan perasaannya.

“Ada apa Kang Syukri?” tanya Kiai Fatah tatkala melihat gelagat aneh santrinya itu. Biasanya Kang Syukri akan dengan mudah mengutarakan maksud hatinya tatkala berada di depan Sang Kiai. Tapi kini khodimnya itu terlihat ragu untuk berbicara.

Nganu Kiai. Saya bermaksud mengambil Mbak Mala menjadi pendamping hidup saya,” akhirnya Kang Syukri mampu bersuara.

“Pendamping hidup? Hidupmu mau ke mana Kang kok butuh didampingi?” Kiai Fatah mencandai Kang Syukri. Pemuda itu gelagapan harus menjawab bagaimana.

“Sudah pingin nikah to Kang?”

Kang Syukri menyahut pertanyaan kiainya itu dengan senyuman malu-malu.

“Mala itu siapa?” Kiai Fatah melanjutkan pertanyaan.

“Santri khodimah yang ngurusi keperluan dapur, Kiai,” sahut Kang Syukri sambil menunduk.

“Kok sampai tahu Mbak Mala? Sudah pernah lihat orangnya?”

“Dengar suaranya sering Kiai, setiap hari,” Kang Syukri menjawab.

Kiai Fatah tertawa. “Sudah pernah lihat orangnya apa belum?” ulang Kiai Fatah.

“Belum, Kiai.”

“Kok berani-beraninya mau menikahi orang yang belum pernah dilihat?”
Kang Syukri tak mampu menjawab. Suasana ruang tamu tempat terjadinya percakapan itu berubah sunyi senyap. Di antara perempuan yang pernah dilihatnya adalah Ning Farha, putri Kiai Fatah yang sangat cantik itu, tapi tidak mungkin Kang Syukri berani mencintainya. Tidak sekufu. Baginya, sebaiknya tidak usah mencintai seandainya tidak bisa memiliki.

“Kang, kok kamu berani mencintai orang yang belum pernah kamu temui? Ini sungguh-sungguh apa tidak, Kang? Nikah itu perkara serius, Kang, tidak boleh asal-asalan biar tidak menyesal kemudian.”

“Sungguh-sungguh, Kiai. Allah yang belum pernah kulihat juga aku cintai. Cinta masalah perasaan, Kiai, bukan masalah penglihatan,” tegas Kang Syukri. Kiai Fatah bagi Kang Syukri sudah seperti orang tuanya sendiri karena semenjak kecil dia sudah menjadi khodimnya. Sebelum wafat Pak Syarkawi, ayah Kang Syukri itu memasrahkan Syukri kecil kepada Kiai Fatah untuk dididik dan supaya menjadi khodimnya.

Kiai Fatah lagi-lagi menimpali ucapan Kang Syukri itu dengan deraian tawa. Kang Syukri bingung, mungkinkah dia salah bicara? Tapi melihat raut cerah gurunya itu dia kembali merasa tenang.

Tiba-tiba tawa Kiai Fatah berhenti. Raut mukanya pun berubah. “Sayang sekali kamu telat, Kang.”

Suasana ruang tamu semakin sunyi.

“Mala sudah dipinang seseorang. Seandainya kamu datang seminggu yang lalu mungkin dia bisa menjadi milikmu. Tapi sekarang benar-benar sudah telat. Kemarin Mala bahkan sudah menerima pinangan itu,” ucap Kiai Fatah getir.
Lidah Kang Syukri serta merta tercekat mendengar penuturan Kiai Fatah. Dia menelan ludah berkali-kali lantas mendesah.

Hari-hari Kang Syukri menjadi murung. Dia pulang kampung sehari menjelang hari raya untuk menengok pusara ayah dan ibunya. Dia kirimkan doa-doa untuk kedua orang tuanya itu sebagai pelepas rasa rindu. Ibunda Kang Syukri meninggal saat melahirkan dirinya, sedangkan ayahnya meninggal ketika dia baru dua tahun mondok.

Waktu terus berlalu. Dan kehidupan mengajarinya untuk berjiwa besar. Tidak mudah meratap dan sambat untuk kemalangan yang mendera hidupnya. Seusai mengirim doa, Kang Syukri lantas pulang untuk menengok rumah peninggalan orang tuanya. Dia dapati sebagian perabot rumah sudah dimakan rayap. Ingin sekali dia segera mendapatkan jodoh untuk kemudian menempati rumah warisan itu berdua. Angan-angannya terus mengajaknya berselancar. Dia berpikir, kelak istrinya akan melahirkan anak dan beranak-pinak melahirkan cucu di rumah sederhana ini. Kang Syukri lalu tersadar telah terlarut dalam tulul amal, panjang angan-angan. Istighfar mengalir dengan deras di bibirnya.

“Jadi lamaranmu telat Kri?” sahut Budi teman kecil Syukri tatkala menanggapi cerita Kang Syukri tentang perjalanan cintanya yang berakhir dengan kesedihan.

“Oalah Kri-Kri. Apa gunanya kamu mengabdi kalau kamu tidak dihargai begitu. Bukankah mudah saja sebenarnya bagi kiaimu itu untuk membatalkan pernikahan Mala? Seharusnya kamu yang sudah puluhan tahun mengabdi lebih diutamakan daripada orang lain,” Budi berpetuah.

“Bapakku memberiku nama Syukri agar aku menjadi orang yang bersyukur, Bud. Bukan orang yang suka menyalahkan keadaan,” Kang Syukri menjawab dengan bijak.

“Bapakku mengirimku ke pondok supaya aku mengaji dan mengabdi padi kiai, agar aku bisa mendapatkan ilmu yang hakiki. Dan ilmu yang hakiki mengajariku tidak untuk merasa memiliki, tapi merasa dititipi. Mengabdi kepada kiai bukan untuk mendapatkan balasan materi. Tapi dari mengabdi pada kiai aku belajar untuk ikhlas, termasuk ikhlas saat kehilangan orang yang aku kasihi. Kalau aku tidak ikhlas atas keputusan kiai, bisa saja aku akan kehilangan semua ganjaran pengabdianku. Sebaliknya, jika aku ikhlas, Allah itu dzat yang paling tahu cara membalas kebaikan hamba-hambanya. ”

Budi mengangguk-anggukkan kepala mendengar ceramah Kang Syukri. Perbincangan kemudian terhenti karena telepon jadul Kang Syukri berdering. Dia lantas terkejut sekali ketika melihat ternyata Kiai Fatah yang sedang meneleponnya. Dadanya berdebar tidak karuan menantikan kabar yang akan disampaikan kiainya itu.

“Sepertinya kiaimu berubah pikiran Kri. Mala akan jadi milikmu,” celetuk Budi.

Tanpa menggubris ucapan teman lamanya itu, Kang Syukri langsung mengangkat telepon.

Wonten nopo, Yai?” tanya Kang Syukri dengan suara gemetar.

“Kang Syukri, kalau pulang ke pondok sekalian tolong belikan bumbu soto lagi ya.”

Kang Syukri meneguk ludahnya sendiri lantas tersenyum penuh arti.

Mentaraman, 28 Mei 2020

Multi-Page

Tinggalkan Balasan