Kang Jam di Antara Dua Alfiyah

4,528 kali dibaca

Tangannya tak berhenti memutar tasbih. Mulutnya berkomat-kamit tanpa suara. Mukanya bersih karena senantiasa menjaga wudhu. Kepalanya menunduk, tawadhu. Di pelukan dadanya ada sebuah kitab besar yang baru dikajinya di masjid pondok bersama Kiai Hasan.

Langkahnya cepat menuju gothakan. Namun dia segera berhenti ketika melihat ada Gus Dowi di kejauhan. Gus Dowi masih balita, tapi itu tidak menyurutkan ketawadhuan Kang Jam padanya. Nama sebenarnya adalah Zamzam Zamran Noor, panggilannya Kang Jam. Dia merupakan santri senior yang sangat rajin mengaji. Hafalannya banyak, referensi kitabnya sulit ditandingi santri lain. Ibadahnya pun sangat khusyuk. Kang Jam inilah tipe santri ideal idola para santri-putri, mungkin.

Advertisements

“Nggak ikut ngaji Dul?” tanyanya pada Abdul, santri asal Jawa Tengah yang sedang duduk-duduk bersanding kopi di teras asrama bersama beberapa temannya sesama geng santri santuy.

“Ngajinya titip sampean, Kang,” jawab Abdul sambil menyeringai.

“Bisa saja Dul-Dul. Apa perlu sekalian salatnya titip? Aku salati kamu di masjid mau? Atau kamu milih yang paket lengkap mulai dari menyolatkan dan memandikan sampai tahlilan dan khataman, mau?” tantang Kang Jam dengan muka menyebalkan.

Ucapannya itu merupakan perpaduan antara gurauan dan keseriusan. Mereka berdua berada di kamar yang sama di asrama B. Keakraban yang terpupuk setiap hari membuat candaan-candaan sarkas terasa biasa saja bagi mereka. Sindiran keras mungkin akan terasa menyakitkan, tapi kemudian akan menghilang seiring waktu yang berjalan. Hidup di pondok membuat para santri tumbuh menjadi muslim yang tidak kagetan karena candaan-candaan. Olok-olok sudah menjadi bumbu di setiap rutinitas sehari-hari mereka.

“Iya, nanti kalau aku sudah mati, Kang, kamu sekarang sabar dulu. Rokok dan kopi masih terasa nikmat di mulutku,” tukas Abdul sambil nyeruput kopi lagi. Setelah menandaskan kopinya, remaja itu kemudian melangkah pergi.

“Hei Dul! Dibilangi santri senior malah ngacir! Santri kok nggak mau ngaji! Di pondok rebahan terus nanti pulang mau jadi apa?” Kang Jam menggerutu sendiri sambil menyingsingkan sarung untuk kembali mempercepat langkah. Orang yang diceramahi itu telah pergi, mungkin tak lagi mendengar kata-kata Kang Jam tadi.

Setelah menaruh kitab di laci, Kang jam bergegas menuju dapur untuk ngeliwet. Semua dikerjakan cepat-cepat. Dia tidak ingin dicap sebagai santri abdul butun, yakni santri yang hanya mengurusi makan saja. Selepas ngeliwet, Kang Jam kembali lagi ke kamar. Ia membuka kitab Alfiyah lantas mengulang hafalannya. Di sebelah Kang Jam, beberapa santri sedang bercengkrama. Sesekali tawa mereka berderai memenuhi ruang kamar. Merasa terganggu, akhirnya Kang Jam bersuara, “Santri bukannya ngaji malah guyon terus, kapan pinternya? Nggak kasihan orang tua yang ngirimi uang tiap bulan?”

“Nanti kalau sudah ke-futuh sama Allah tinggal melihat kitab isinya langsung hafal, Kang. Sekarang menunggu rahmatnya Allah turun sambil duduk-duduk dulu,” jawab seseorang di antara mereka.

“Cita-citamu tinggi tapi perjuanganmu tidak ada. Gila itu macam-macam jenisnya, salah satunya adalah mau meraih cita-cita tanpa usaha,” jawab Kang Jam sembari berkutat dengan kitabnya lagi.
Tiba-tiba Abdul datang lengkap dengan pakaian yang berbau rokoknya. Bau keringatnya menguar di setiap jengkal ruang kamar. Karena kelelahan dia langsung tidur di sebelah Kang Jam.

Astaghfirullahaladzim! Ini baru datang langsung tidur. Sudah salat ashar apa belum, Dul?” tanya Kang Jam risih.
Tidak ada jawaban. Remaja itu justru mengeluarkan dengkuran lembut dengan mulut yang terbuka, menampakkan sisa-sisa daun bayam yang masih bersemayam di sela gigi-giginya. Kang Jam akhirnya keluar kamar setelah Abdul tidak mau bangun. Setelah itu, Ajib yang juga penghuni kamar itu gantian membangunkan Abdul. “Dul! Bangun salat asar dulu!” Abdul melek lantas mengucek-ucek mata.

“Aku di mana?” Abdul mengigau. Santri yang satu ini memang setiap malam selalu begadang sehingga siangnya sering digunakan untuk tidur.

“Kamu sudah berada di neraka karena sering meninggalkan salat!” teriak Ajib di telinga Abdul. Santri santuy itu langsung jenggirat bangun.

“Kamu siapa? Malaikat Malik?” ceracau Abdul.

“Bukan! Kami Munkar dan Nakir dan staf ahli urusan tata alam kubur!” balas Ajib kesal. Sulton dan Jupri sudah duduk mengelilingi Abdul.

“Munkar- Nakir kok di neraka?”

“Iya. Tadi kamu kami interogasi di alam barzah tetep nggak mau bangun akhirnya kami kirim langsung ke neraka karena dianggap mempersulit prosedur alam kubur. Tugas kami masih banyak woi! Bangun!!!” teriakan Ajib makin kencang. Karena terus diteror teman-temannya akhirnya Abdul bangun tapi matanya masih merem.
Kang Jam masuk, di tangannya ada kitab Alfiyah kecil. Kedatangan santri senior itu ke kamar tak lain untuk menasihati adik-adik tingkatnya ini . “Kenapa teriak-teriak? Kalian kira ini gunung? Nggak punya adab, ngganggu istirahat kiai tahu!” semprot Kang Jam penuh gelora.

“Tuh Izrail datang. Kamu mau mati dua kali Dul? Mau merasakan sakitnya sakaratul maut lagi? makanya buruan bangun kalau nggak mau mati lagi!” Sulton ikut berkiprah.

Abdul menguap lebar lantas bangun untuk berdiri sambil mengucek mata. Ia lihat teman-teman sekelilingnya dan kemudian menguap lagi dan lebar lagi.

“Kalau menguap tutup corongnya! Coronanya bertebaran dari mulutmu Dul!” Kang Jam memprotes keras. Abdul bergegas melangkah keluar menuju kamar mandi. Sejenak suasana kamar mereka langsung sepi.

Alhamdulillah, penyakitnya keluar. Bisa lalaran Alfiyah di sini sekarang,” gumam Kang Jam sambil mengambil posisi duduk sila di atas sajadahnya. “Minggu depan kita pulkam teman-teman,” Kang Jam memberi tahu teman-temannya.

“Serius, Kang Jam?” histeris Si Ajib. “Kenapa? Gara-gara Corona?” tanyanya lagi.

“Iya, katanya. Corona sudah menyebar ke mana-mana. Saatnya kita uzlah di rumah masing-masing. Dan satu lagi, kalau nanti sudah saatnya masuk pondok, segera masuk jangan menghilang. Tambah lagi jangan lupa ngaji di rumah, mutholaah kitab-kitabnya,” kata Kang Jam memberikan imbauan. Mereka mengangguk supaya Kang Jam senang dan tidak omong lagi.

Dan benar, minggu berikutnya mereka pulang ke kampung halaman masing-masing, padahal belum waktunya akhirus sanah, belum waktunya liburan menjelang puasa. Efek Corona memang sangat terasa di semua sendi kehidupan manusia. Untuk mengisi aktivitas di rumah, Kang Jam mengajak teman-temannya di pondok untuk syawir online via Zoom. Sayangnya, banyak yang tidak punya pulsa. Sebagian tidak bisa ikut syawir karena tidak ada sinyal. Sedangkan, Abdul ikut syawir akan tetapi yang muncul di layarnya hanya segelas kopi yang sebentar-sebentar diangkat untuk diseruput. Akhirnya, Kang Jam menghentikan usahanya untuk mutholaah lewat jalur daring.
Untuk menghilangkan jenuh karena tidak ada aktivitas, Kang Jam menanam cabai di polybag. Putra Haji Samir satu-satunya itu pergi ke toko Haji Samanhaji untuk membeli polybag. Toko itu merupakan toko terlengkap yang ada di desanya. Masih dengan pakaian santrinya, Kang Jam terus meluncur menerobos udara. Sembari mengendarai motor, Kang Jam mengulang-ulang hafalan Alfiyah-nya.

Tidak butuh waktu lama Kang Jam sudah sampai di toko. Haji Samanhaji sendiri yang melayani pembelinya itu. Karena mencari polybag yang dicari Kang Jam tidak segera ketemu, akhirnya Haji Samanhaji memanggil seorang perempuan yang ada di samping pemilik toko itu, mungkin anaknya yang sedang ada di rumah karena datangnya musim Corona ini.

“Sampean masuk saja sini Kang, ikut nyari polybag-nya, daripada keliru,” pinta perempuan bermasker itu. Kang Jam pun masuk ke dalam toko di ruang sebelah.

“Sampean Kang Jam kan? Yang beberapa malam ini tadarusan di masjid Cordoba?” celetuk gadis itu. Deg-deg-ser! Dada Kang Jam tiba-tiba berdebar. Tangannya bergetar. Dan dia kemudian sadar, putri Haji Samanhaji ini begitu cantiknya. Dzikir dalam hatinya semenjak tadi tiba-tiba ambyar.

“Kamu siapa?” tanya Kang Jam agak grogi.

“Aku Alfiyah. Kamu baru pulang dari pondok ya, Kang? Saya selalu dengerin suara Kang Jam tadarusan loh. Bikin hati adem, kaya lagi ada di kutub utara,” seloroh perempuan bernama Alfiyah itu.
Kang Jam tidak segera menjawab. Dadanya bergemuruh. Tiba-tiba kepalanya terasa berat dan tubuhnya sedikit oleng. Baru kali ini dia dipuji wanita, cantik pula. Pakai masker saja kelihatan cantik, apalagi kalau seluruh wajahnya kelihatan, pasti kecantikannya akan berlipat ganda. Kang Jam semakin penasaran dengan gadis ini. Dan ternyata gayung pun bersambut. Gadis itu juga ada tanda-tanda ketertarikan pada Kang Jam. Alfiyah menuliskan nomor teleponnya di kantung polybag dengan alasan nanti dia mau tanya-tanya seputar ilmu agama. Apalagi sekarang bulan Ramadan, banyak hal yang masih dia belum ketahui tentang seluk beluk puasa.

Maka Kang Jam pulang membawa pundi-pundi rasa bahagia. Kalau berangkatnya tadi dia sambil hafalan bait-bait Alfiyah, maka sekarang dia pulang sambil membayangkan sosok Alfiyah yang baru dikenalnya tadi. Ketika tadarusan sehabis tarawih di masjid, suaranya diperindah sedemikian rupa. Bacaan makhraj dan tajwid-nya pun sangat diperhatikan. Al-Quran yang dia baca, tapi Alfiyah yang ada di isi kepalanya.

Setelah salat tarawih dan tadarus di masjid Cordoba biasanya Kang Jam lalaran Alfiyah. Kali ini dia juga membuka kitab Alfiyah-nya, tapi yang muncul di kepalanya adalah Alfiyah penjaga toko tadi. Tubuhnya berguling ke kanan dan ke kiri, tapi bayangan itu tetap berkelebat di benak Kang Jam. Dia lantas bangun dan hatinya bertambah resah. Matanya menatap langit-langit kamar dan bayangan itu ada di sana. Hatinya kian gundah. Kantung polybag berisikan nomor HP milik Alfiyah itu diambilnya. Nomor itu segera ia catat dan ternyata muncul di aplikasi whatsapp-nya. Foto profil perempuan itu tampak cantik sekali. Dada Kang Jam semakin bergemuruh. Jemarinya kemudian mengetik salam, tapi Kang Jam malu untuk mengirimnya ke nomor Alfiyah. Pikirannya semakin gelisah. Dia duduk mencakung. Satu, dua, tiga, akhirnya Kang Jam mengirimkan salam itu.

Assalamualaikum. Maf sy Kang Jam yang tadi beli polybag,” tulisnya di WA.
Beberapa saat kemudian pesan itu telah dibaca. Kang Jam menantikan jawaban dari Alfiyah dengan cemas. Dadanya terus berdebar-debar.
Waalaikumsalam. Makasih Kang Jam. Jadi saya boleh nanya-nanya seputar puasa ini?” tanya Alfiyah.
“Yup!” Kang Jam membalas cepat.
“Sy semalam lupa tidak niat puasa. Puasa sy sah pa tdk Kang?”
“Kalau puasa wajib, niat harus dilakukan mlam harinya. Kl lupa brarti puasanya tdk sah. Tp ttep tdk boleh makan. Nnti diganti di hari yg laen tp ttep imsak, tdk boleh makan minum. Allahua’lam.”
“Tp pas awal puasa dulu sy niat puasa untuk satu bulan itu. Bgaimana kang?”
“Oh. Kl sdh taqlid sama imam malik niat puasa untuk semua hari berarti jika lupa tdk niat puasanya ttep sah. Alllahua’lam bissowab.”
“Oh iya, mkasih kang. Maf mngganggu.”
“Sneng bisa bantu. Ada yg dtanyain lg?”
“Kyknya tdk ada kang, makasih.”
“Oh iya, sama-sama. Hmmm. Boleh sy yg ganti tanya?”
“Tanya apa kang jam? Silakan.”
“Mencuri apa yg tdk dosa?”
“Hmmmm. Apa y…”
“Ayo tebak.”
“Nyuri air?”
“Bukan.”
“Nyuri sampah?”
“Bukan. Nyerah?”
“Iya deh, nyerah. Nyuri apa yg tdk dosa itu kang?”
“Nyuri hati. Hatimu kucuri boleh?”
“Apa?”
“Aku mencuri hatimu boleh?” Kang Jam mengulang pertanyaan. Pikirannya melayang-layang di dunia maya.
“Maf, hatiku sdh ada yg mmiliki.”
Deg!
“Siapa???”
“Haji Samanhaji.”
“Ya iyalah, dia kan abahmu.”
“Bukan, kau salah paham.”
“Kenapa???”
“Dia bukan abahku.”
“Kamu siapanya Haji Samanhaji?”
“Aku istrinya yang keempat.”
Gobrak!!! HP Kang Jam jatuh di lantai.

Bantur, 18 Mei 2020

Multi-Page

Tinggalkan Balasan