Kakek Penjual Katapel

897 kali dibaca

Ia terkenal sebagai pembuat katapel sakti sejak katapel buatannya berhasil melayangkan nyawa banyak tentara Jepang. Saat itu usianya masih enam tahun. Sejak saat itu, katapel-katapel yang dibuatnya kerap diperbincangkan dan jadi pesanan banyak orang sebagai senjata pelindung paling ampuh. Keampuhan katapel buatannya itu terus berlanjut hingga kini dan mampu menghuni rumah banyak orang; ditaruh bersanding dengan gadget dan benda milenial lainnya.

Kini, meski usinya sudah sepuh dan tubuhnya demikian ringkih dan kedua matanya sudah mulai rabun, tak mengurangi kepekaannya dalam mengamati ranting bercabang dua yang cocok dibuat katapel. Cukup hanya dengan menyentuhkan jari telunjuk dan jari jempolnya dengan gerakan sedikit meremas, ia akan tahu mana ranting paling tepat untuk mengarahkan bidikan ke arah sasaran secara akurat.

Advertisements

Walau harus bertatih dengan tongkat, ia tekun mendatangi lereng bukit Montorra setiap dua kali seminggu untuk memilih ranting bercabang dari aneka pohon yang tumbuh. Jika ada cabang yang posisinya kurang bagus tetapi tetap berpangkal di bagian tengah, ia akan mengikat cabang itu dengan tali sehingga arah bengkoknya sejajar sesuai dengan yang dikehendaki.

Mulai anak-anak sampai orang dewasa banyak yang membeli katapel buatannya. Alasan sederhananya, karena katapel yang dihasilkan tangan keriputnya itu memang selalu akurat mengenai sasaran.

“Sejak menggunakan katapel buatan Ki Badrun, tupai-tupai yang biasa menyantap buah kelapaku banyak yang jatuh nelangsa tak bernyawa,” ungkap seorang lelaki kepada temannya di tepi sepetak kebun.

“Ya, burung-burung di sawahku juga lenyap setelah aku menggunakan katapel buatan Ki Badrun untuk membuatnya terkapar.”

“Tak sia-sia membelinya dengan harga seratus ribu.”

“Betul, bahkan andai lebih dari seratus ribu, aku tetap mau.”

Sejak zaman penjajahan hingga kini, setiap hari katapel buatannya selalu banyak yang memesan. Itu membuat dirinya tergolong jadi orang kaya. Dan tentu saja membikin bibir hitamnya selalu tersenyum. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang membuatnya risau ketika mengingat-ingat pekerjaannya sebagai pembuat katapel, yaitu ketika ingat almarhum Ki Munawir atau ketika melihat seekor kucing berbulu putih.

Saat ingat hal itu, biasanya ia mengutuk dirinya sambil melinangkan air mata, bahkan tak jarang sambil memukul dada dengan telapak tangan. Bahkan kadang kerap bersikukuh untuk berhenti membuat katapel, namun itu telanjur jadi pekerjaan yang bisa memberinya makan, atau setidaknya dirinya terlanjur dibutuhkan banyak orang untuk membantu mengurangi hama pertanian dan perkebunan dengan kesaktian katapelnya itu. Hal yang demikian itu akan membuatnya dilema, antara mau berhenti dan tidak. Biasanya ketika bersiap menyentuhkan pisau di cabang ranting yang hendak diraut, kemudian ia terdiam, pikirannnya didatangi bayang-bayang almarhum Ki Munawir dan seekor kucing putih. Ia bergidik ketakutan.

***

Kala itu dirinya masih muda dan sedang gila-gilanya pada uang. Seorang pemesan katapel berkumis tebal datang ke rumahnya pada suatu dini hari, dan meminta berbincang di dalam dapur dengan suara sangat lirih, mirip orang berbisik. Ia meminta dirinya membuat katapel khusus untuk membunuh orang. Mulanya ia tidak mau jika orang yang dimaksud bukan penjajah kejam. Tapi si pemesan itu membujuknya dengan harga beli setara dua ekor sapi dewasa. Sebelumnya ia masih menggelengkan kepala tepat saat cahaya bulan menumpahi rambutnya dari celah genting pecah. Hingga si pemesan harus mengelabuhinya dengan pura-pura mengatakan bahwa orang yang hendak dibunuh itu adalah pengkhianat yang memihak kepada Jepang.

“Dia orang yang selama ini memberikan informasi penting seputar aktivitas warga kepada tentara Jepang,” si pemesan terus membuat cerita-cerita palsu, membuat ia menganggguk-angguk dan darah mudanya mulai sedikit mendidih.

“Bahkan dialah yang menyuruh tentara Jepang untuk menembak kakekmu saat menyadap lahang hingga ia jatuh ke tanah, dan mati mengenaskan bersimbah darah persis seperti burung tekukur ketika kena katapelmu,” tambah lelaki itu sambil mengelus kumisnya.

Ia menoleh ke wajah lelaki itu dengan serius seraya mendenguskan napas dendam, darahnya tambah mendidih, spontan ia meninjukan kepalan tangannya ke datar meja.

Keesokan harinya, ia langsung membuat katapel pesanan itu yang dibuat dengan ritual khusus di dekat makam kakeknya. Gelegak niat dalam dadanya tidak lain hanya untuk balas dendam kepada orang pengkhianat sebagaimana yang dimaksud pemesan. Niat tulus berbalut dendam itulah yang pada akhirnya membuat dirinya memberikan katapel sakti itu cuma-cuma kepada pemesan. Dirinya tak lagi ingat pada harga yang setara dua ekor sapi. Ia cuma bilang agar si pengkhianat itu cepat dibunuh.

Berselang dua hari dari penyerahan katapel itu, pada suatu pagi buta, warga diributkan dengan meninggalnya Ki Munawir di tengah jalan sepulang salat subuh dari mesjid. Suluh dan lampu senter bagai kunang-kunang mengambang sepanjang jalan, dipegang warga menuju tempat itu. Ia pun turut datang sebagai bentuk dukacita kepada kiai Ki Munawir yang telah mengajarinya mengaji. Setiba di lokasi, ia sangat terkejut saat melihat ada cekung berdarah bekas kerikil yang tepat mengenai pelipis Ki Munawir. Beruntung semua warga mengiranya bekas peluru.

“Laknat, terkutuk tentara Jepang.”

“Iya, jelas ini terkena tembak penjajah keparat itu.”

Ia melihat wajah Ki Munawir dengan tubuh gemetar, jongkok, dan segera ikut menyeka rembesan darah segar itu langsung dengan telapak tangannya. Beberapa kali ia menahan air matanya untuk tak menangis di tempat itu.

“Kiai bukan kena peluru, kalau dilihat dari bekasnya, ini kena katapel,” gumamnya dalam hati, masih merinding, sebab dirinya khawatir katapel buatan dirinyalah yang membuat guru ngajinya itu meninggal. Kekhawatirannya semakin besar pada hari-hari berikutnya karena lelaki pemesan katapel itu tak pernah datang lagi ke rumahnya. Celakanya, ia tidak sempat bertanya alamatnya. Kekhawatiran itu memuncak luka sebulan kemudian ketika terungkap bahwa lelaki berkumis tebal itulah yang membunuh Kiai Munawir. Hanya saja pembunuh itu kemudian menghilang tanpa jejak.

Sedang dirinya sebagai pembuat katapel dan sebagai seorang murid merasakan beragam guncangan dalam batinnya; takut, cemas, dan menyesal. Sejak saat itu ia merasa berdosa kepada Ki Munawir. Berminggu-minggu setelahnya ia sejenak berhenti membuat katapel. Pikirannya kacau. Ada kalanya berteriak-teriak menyebut lelaki pembunuh itu. Untuk melampiaskan kekacauannya ia kadang mengambil katapel buatannya, memberinya kerikil dan melepaskannya ke udara atau kadang ke pohon yang ia anggap lelaki pembunuh itu, hingga tiba suatu malam; ia melihat kucing putih melintas di depan rumahnya dengan langkah gontai, matanya berkedip suram, kadang henti sebentar menoleh ke sekitar, lalu berjalan lagi, ekornya bergerak-gerak pelan.

Entah setan apa yang merasukinya malam itu, seketika kucing itu terlihat seperti lelaki pembunuh yang ia benci. Sontak ia mengambil katapel dan kerikil hitam bulat, kemudian dilepaskan ke arah kucing itu. Kerikil tepat mengenai kepala si kucing. Binatang itu pun terkapar. Sesaat berguling-guling sambil mengeong sekarat sebelum akhirnya mati bercecer darah di pangkal pohon sawo.

Ia bersorak saat melihat sasarannya mati mengenaskan. Lekas ia mendekat untuk memastikan apakah benar-benar mati atau tidak. Setelah mendekat, tiba-tiba ia terkejut, wajahnya berubah muram saat tahu yang baru saja dibunuh ternyata seekor kucing. Ia tak bisa menahan air mata, dengan tangan gemetar kemudian ia ambil kucing itu dan dikubur di balik semak-semak  ketika bulan tanggal tua bersinar temaram.

***

Setelah peristiwa terbunuhnya Ki Munawir dan kucing putih, ia semakin larut dalam hati yang cemas dan dilema; di satu sisi ia berkeinginan kuat untuk berhenti membuat katapel sebagai sesal tebusan terhadap dosa-dosanya, tapi di sisi yang lain ia sadar tak punya pekerjaan lain yang bisa jadi perantara dalam menyambung hidup.

Tak jarang setiap duduk untuk meraut batang katapel, ia harus berhenti; diam lama bagai patung. Larut mengenang dua kematian tragis dari katapel buatannya. Hal itulah yang membuatnya sering mengabaikan beberapa cabang-cabang ranting yang sudah jadi setengah katapel begitu saja, terserak bertebar di beranda rumahnya. Ia memilih tidur, tak peduli banyak pemesan yang datang. Dalam seminggu ia hanya menghasilkan satu buah katapel yang dipaksakan. Hal itu membuat katapel buatannya langka di pasaran dan harganya semakin tinggi. Meski harganya tinggi, pemesan bukan berkurang, malah semakin banyak yang berjubel, hingga beberapa di antara mereka mau membeli satu katapel seharga kambing dewasa.

Seiring membanjirnya pesanan dan harga yang terus naik, justru kecemasannya semakin bertambah. Kini ia selalu merasa arwah binatang yang mati oleh katapelnya bangkit dan berdatangan kepada dirinya; mengancam balik untuk membunuhnya. Ia sering mengurung diri di kamar sambil memangis ketakutan.

“Semakin hari katapel kakek semakin laris dan harganya semakin tinggi, tapi mengapa wajah kakek terlihat kurang semangat dan muram, mestinya ini jadi sumber kekayaan kan, Kek?” ucap salah seorang pemesan suatu pagi.

“Seseorang terhadap orang lain hanya menduga-duga. Jika kaya pasti dikira bahagia, padahal tak ada yang tahu pada keadaan hatinya, bisa saja luarnya kaya tapi dalamnya penuh luka. Seperti aku ini,” jawabnya pelan, sedikit berderai air mata.

Keadaan mendadak senyap. Si pemesan bingung, bibirnya terkatup rapat.

“Aku lebih baik begini.”

Ia memberikan katapel kepada si pemesan lengkap dengan kerikilnya.

“Maksud kakek?”

“Luncurkan kerikil itu ke kepalaku, barulah aku akan bahagia.”

Si pemesan hanya terdiam.

“Ayo! Jangan ragu! Ayo tarik dan lepaskan ke kepalaku. Ayo!”

Ia memaksa sekali lagi. Ia tak sabar ingin segera mati oleh katapel buatannya sendiri, ingin segera menyusul arwah Ki Munawir, kucing putih, dan seluruh korban katapelnya hanya untuk satu hal; minta maaf.

ilustrasi: bagus darmasaya, kilasbali.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan