Jilbabisasi dan Urgensi Membangun Toleransi

757 kali dibaca

Kasus pemaksaan jilbab di SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menegaskan hilangnya satu hal dari dunia pendidikan, yaitu kebebasan beragama. Menyitir buku Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia karya Abdul Aziz, bahwa konsep kebebasan beragama harus menyasar pada tiga hal, yaitu kebebasan untuk memilih agama yang diyakini, kebebasan melaksanakan ibadah, dan kebebasan untuk mengekspresikan kesalehannya di ruang publik.

Maka jelas, jika pemaksaan penggunaan jilbab menjadi pelanggaran atas kebebasan beragama. Menjadi lebih parah, apabila dilakukan di lingkungan pendidikan, yang sejatinya menjadi tempat menggodok nalar siswa menjadi lebih toleran dan terbuka. Seorang guru seharusnya dapat bersikap lebih bijaksana dalam menyikapi perbedaan yang ada di lingkungan pendidikan. Karena walau bagaimanapun, lingkungan sekolah sangat mempengaruhi semangat belajar siswa.

Advertisements

Urie Bronfebrenner, seorang psikolog asal Rusia, mengungkapkan, jika keberhasilan pendidikan anak dan remaja tergantung oleh lingkungan sekolah dan tempat tinggalnya. Apabila kedua lingkungan tersebut cenderung kondusif dan inklusif, maka akan berdampak positif terhadap kecerdasan siswa.

Kesimpulan ini didapatkan oleh Urie Bronfebrenner dengan melakukan studi terhadap anak-anak yang tinggal di lingkungan yang kondusif dan inklusif. Hasil yang didapatkan, dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di lingkungan yang tidak kondusif, didapatkanlah perbedaan yang mencolok pada kecerdasan mereka, yang diunggulkan oleh keadaan pertama.

Menghadirkan lingkungan yang mendukung menjadi suatu hal yang penting dalam mewujudkan pendidikan yang berkeadaban. Dengan mengubah skema lingkungan, peserta didik tidak hanya akan merasa nyaman, namun juga merasa bebas untuk mengembangkan ilmu dan pembelajaran yang sudah didapat. Sehingga refleksi yang dihasilkan dapat bersifat lebih alami, dan menuju kemaslahatan umat.

Agenda pendidikan seperti ini didukung oleh napas ideologi negara yang mengutamakan kerukunan serta tindakan kemanusiaan secara adil dan beradab. Jika ditarik lebih dalam, keberhasilan negara dalam menghadapi perubahan dapat diwujudkan oleh pendidikan. Buku Pendidikan Berkebudayaan karya Yudi Latief menegaskan pentingnya pendidikan sebagai elemen pembangunan bangsa. Dengan mengangkat kultur dari dalam negeri, kebudayaan yang ada di Indonesia dapat diadaptasikan dengan teknologi menjadi suatu nilai luhur yang membanggakan.

Hal ini semakin diperkuat oleh SKB 3 Menteri yang mengatur konsep merdeka belajar. Bagaimana para siswa dapat tenang, nyaman, santai, dan memilih apapun sesuai minat belajarnya. Tidak ada gangguan yang membatasi dirinya ataupun dorongan dari pihak luar yang membatasi siswa untuk berkarya.

SKB 3 Menteri merupakan ikhtiar untuk membangun kemerdekaan belajar bagi peserta didik. Konsepsi pendidikan yang dibangun nantinya akan menjadi jembatan untuk menghasilkan sosok yang humanis dan menghargai semua manusia.

Dengan misi itulah suatu pendidikan harus dibebaskan oleh praktik-praktik intoleransi. Praktik pemaksaan penggunaan jilbab pada siswi SMA Negeri 1 Banguntapan adalah suatu contoh kecil bagaimana tindakan tersebut harus secepatnya dibuang dari dunia pendidikan. Selain berpengaruh buruk pada psikis anak, tindakan buruk dari seorang pengajar rentan ditiru dan menjadi doktrin aktif pada anak.

Pemaksaan-pemaksaan terkait atribut keagamaan sebenarnya bukanlah kasus baru. Pernah viral sebelumnya kewajiban memakai jilbab untuk seluruh siswi di SMKN 2 Padang. Persamaan kedua kasus tersebut adalah kurangnya pemahaman akan eksistensi dari sebuah pendidikan. Kegagalan guru dalam mentransformasikan nilai toleran, menjadi bukti bahwa sebenarnya terdapat masalah serius dalam dunia pendidikan kita.

Oleh karena itu, sudah saatnya dunia pendidikan dibebaskan dari segala praktik intoleransi, intimidasi, dan diskriminasi yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Segala hal yang dirasa tidak sejalan dengan konsensus pendidikan toleran harus segera ditindak dan diberikan teguran. Jangan sampai marwah pendidikan Indonesia yang sejatinya ingin membangun sosok yang humanis, berubah menjadi lahan yang menciptakan benih subur pemicu kebencian dan kekerasan.

Maka kerja sama semua pihak, baik guru, orang tua, lembaga pendidikan, maupun unsur terkait lainnya sangatlah penting untuk mendukung kerja pendidikan yang toleran. Sehingga Indonesia kedepannya dapat diisi oleh sosok-sosok yang membangun bangsa dengan semangat toleransi dan moderasi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan