Jenaka dalam Beragama

242 kali dibaca

Pada Ramadan tahun ini kita cukup terhibur dari adanya hubungan jenaka antara umat muslim dengan nonmuslim. Kejenakaan ini bisa dilihat dari munculnya istilah “war takjil” di beranda media sosial. Keberadaan takjil pada bulan ramadan sebenarnya sudah lama ada. Tapi baru tahun ini ramai di jagad virtual ketika para nonis (non-islam) ikut-ikutan berebut membeli takjil.

Ramainya nonis yang memburu takjil di kala umat muslim masih bertahan menahan lapar, membuat ruang virtual heboh dengan hastag “war takjil”. Komentar lucu terkait “war takjil” kemudian saling bersahutan antara umat muslim dan nonmuslim. Sekilas, takjil telah mengubah ruang publik keberagamaan di media sosial nampak indah, kocak, dan penuh tawa.

Advertisements

Takjil sebagaimana akar katanya berasal dari bahasa Arab, yakni ajjala yu’ajjilu ta’jiilan. Artinya bersegera atau mempercepat.

Maksudnya, makanan minuman yang hanya dijual di bulan Ramadan ini dimaksudkan membantu umat muslim yang sedang berpuasa agar bisa segera berbuka.

Pada perkembangannya, ternyata yang menikmati takjil tidak hanya kalangan muslim. Namun banyak nonis yang ternyata sangat menyukai Ramadan lantaran aneka macam takjil banyak tersedia. Bahkan, untuk urusan takjil, nonis jauh lebih bersemangat ketimbang umat muslim.

Lihat saja beberapa postingan lucu nonis di media sosial terkait takjil. Ada yang bilang, “untukmu agamamu, untukku takjilmu”.

Hal yang senada juga bisa dilihat dari kalimat, “puasa itu kewajibanmu, tapi takjil itu hak kita bersama”.

Apa yang ditulis oleh nonis ini kemudian direspons secara jenaka (bukan amarah) oleh umat muslim.

Ada yang mengatakan, “tolong bersaing secara sehat ya nonis. Berburu takjil itu jam lima sore. Kalau jam tiga sore, kita yang islam lagi bertahan hidup”.

Bahkan ada juga yang menulis begini, “selain setan yang dikurung, tolong nonis juga dikurung. Setidaknya dari jam tiga sampai magrib agar takjil kami aman”.

Respons umat muslim ini telah menandakan kadar kedewasaan dalam beragama. Dikatakan dewasa karena umat muslim sebenarnya bisa saja memilih respon secara emosional dengan kata atau kalimat yang penuh kebencian. Atau ungkapan yang menunjukkan identitas diri sebagai kelompok mayoritas. Tapi ini malah memberikan reaksi dengan kalimat yang tidak kalah jenakanya.

Sungguh, saling bersahutan dalam bingkai pergaulan yang penuh canda tawa pada akhirnya membuat kita sadar bahwa manusia selalu memiliki rasa humor dalam hidupnya. Dan humor inilah yang bisa mengikat rasa kebersatuan kita sebagai manusia. Karena dengan humor, keakraban mudah tercipta dan kecurigaan bisa terkikis.

Cuplikan komentar yang saling bersahutan ini menandakan satu hal penting bahwa salah satu tahapan kedewasaan dalam beragama adalah kemampuan menjalin hubungan sosial dengan yang berbeda keyakinan dalam bingkai canda tawa.

Hubungan antarumat beragama yang penuh dengan kecurigaan, kebencian, dan permusuhan adalah tanda belum dewasa dalam beragama. Mereka yang sudah dewasa secara teologis adalah mereka yang selesai dengan urusan aqidahnya. Dengan begitu, dia tidak akan mudah tersinggung dan sakit hati oleh perilaku umat agama lain. Termasuk oleh banyaknya nonis yang memborong takjil di bulan ramadan tahun ini.

Kemampuan bersikap jenaka dalam melihat realitas keagamaan ini bukanlah hal mudah. Apalagi masih ada kesalahpahaman yang mengatakan bahwa agama tidak ada kaitannya sama sekali dengan humor. Pemahaman ini membuat agama tertalu sempit dimaknai hanya sebatas petunjuk teknis dalam peribadatan. Akibatnya, hubungan kemanusiaannya menjadi kaku dan sempit.

Padahal, bila mau merujuk pada sumber historis, akan ada banyak kisah yang menunjukkan kalau Nabi Muhammad itu sangat humoris. Dengan menantunya saja, nabi pernah bercanda apalagi dengan para sahabatnya. Bukankah kita semua tahu kalau suatu ketika di kala makan kurma bersama-sama, Ali (menantu) memindahkan seluruh biji kurma yang sudah dimakan di depan Nabi Muhammad yang tak lain adalah mertuanya. Hal ini membuat seakan-akan Nabi-lah yang makan lebih banyak kurma dibandingkan Ali.

Kemudian Ali berkata, “ya Rasul, apa engkau begitu lapar sehingga engkau makan kurma begitu banyak”.

Melihat tidak ada tumpukan satu biji kurma pun dihadapan Ali, kemudian Nabi Muhammad membalasnya dengan ucapan, “bukannya engkau yang lapar wahai Ali. Lihatlah di depanmu. Engkau makan kurma sekaligus dengan bijinya”.

Sayangnya, kisah-kisah manusiawi Nabi Muhammad sebagai pribadi yang gemar bercanda dan suka tertawa sedikit sekali dipublikasi ke khalayak ramai. Kehidupan nabi lebih banyak dikisahkan sebagai sumber rujukan otoritatif hukum islam dalam menilai boleh dan tidaknya sesuatu.

Sungguh, beragama tidak hanya bisa dipandang dan dijalani dalam kacamata hukum semata. Karena agama tidak sekadar mengurus urusan halal dan haram. Tapi agama juga peduli pada aspek-aspek kemanusiaan. Sense of humor (rasa humor) adalah anugerah kemanusiaan yang harus dirawat agar hidup terasa segar dan menyenangkan.

Sikap jenaka dalam beragama bukan berarti kita bisa bercanda atau menertawakan ajaran agama. Namun, sikap jenaka haruslah menjadi salah satu pilihan cara pandang dalam melihat realitas keagamaan di sekitar kita. Karena tidak semua hal harus dihadapi dengan takaran logika.

Adakalanya kenyataan hidup memang harus ditertawakan dan disikapi dengan canda tawa supaya sisi kemanusiaan kita bisa terus terjaga.

Multi-Page

One Reply to “Jenaka dalam Beragama”

Tinggalkan Balasan