Jejak Kaki yang Abadi

1,434 kali dibaca

Ruh Landaur tersenyum, wajahnya binar, sebinar rekah melati yang ia genggam, saat melihat jejak kakiknya masih memancar air. Jejak kaki yang menjadi sumur dan berpencar di berbagai desa di Sumenep. Orang-orang mengerumuninya untuk menimba air dari jejak kaki itu, sebagai obat ampuh bagi segala penyakit.

Sesekali, ruh Landaur merapikan juntai rambutnya yang kusam, di antara datar kulit keriputnya yang harum tanah, ujungnya menyentuh lapis kafan yang jadi gaun kebesarannya. Hatinya bahagia. Tak sia-sia ia bangkit dari tempat peristirahatannya untuk melihat sumur-sumur yang tercipta dari jejak kakinya itu. Orang-orang Sumenep mengenal sumur itu dengan sebutan sumur Tanto. Ruh Landaur melayang dari satu sumur Tanto ke sumur Tanto yang lain. Lekas sekali. Dan sesekali mengatur arah kupingnya ke arah tempat peristirahatannya. Khawatir malaikat akan memanggilnya, ketika durasi waktu satu jam untuk bermain yang diberikan kepadanya habis.

Advertisements

Sambil melihat sumur Tanto, tak lupa ia cium setangkai melati yang digenggamnya. Ia masih menyukai bunga itu, sebagaimana dulu sebelum mati, ketika dirinya masih utuh sebagai manusia, karena baginya, melati adalah lambang hati yang suci.

Senyum ruh Landaur kian rekah. Terkenang masa lalunya, ketika kawasan Sumenep bagian timur daya dipimpin oleh raja keji Dulkemmek Banakeron. Saat itu, wilayah timur daya kesulitan air, nyaris tak satu pun mata air memancar di tanah garam itu. Kalau pun ada, pasti debit airnya sangat tipis dan akan habis oleh belasan timba saja. Sang Raja menekan rakyat—mulai dari orang jompo hingga anak-anak—untuk mengangkut air dari daerah lain ke kerajaan, tentu dengan ragam siksaan yang keras dari para prajuritnya yang juga jahat. Sedangkan rakyat yang tidak bisa mengangkut air, harus membayar denda. Ruh Landaur itu—yang saat itu masih sempurna sebagai manusia—tak rela melihat penderitaan rakyat. Ia berjuang melawan raja zalim itu bersama rakyat, terlebih ketika kedua orang tuanya dipenjara oleh raja.

Suatu waktu, setelah genap empat puluh hari empat puluh malam ia bertapa. Atas izin Allah, tiba-tiba tubuhnya menjadi besar seperti raksasa. Lalu ada bisikan gaib dari gurunya, agar ia segera datang ke kerajaan untuk menghancurkan raja jahat beserta seluruh pengikutnya. Ia pun gegas menuju kerajaan, sembari membawa setangkai melati. Dalam perjalanan menuju kerajaan, setiap jejak kakinya memancar mata air. Hingga ia tiba di kerajaan dan berhasil melenyapkan raja durjana itu dengan enteng. Lantas ia mencium melati di tangannya tiga kali.

Rakyat bahagia karena raja murka sudah tidak ada dan mata air memancar dari jejak Landaur. Jejak itulah akhirnya menjadi sumur tanto, dan Landaur kembali bertubuh normal seperti sediakala. Hatinya bungah, melihat rakyat berduyun-duyun menimba air, dan tanpa ia duga, air di sumur itu ternyata juga bisa menyembuhkan segala penyakit.

Ruh Landaur itu terus tersenyum bahagia, hingga senja yang diambung wangi dupa merambat di ufuk barat. Lalu sesosok malaikat memanggil namanya, “Landaur, waktumu sudah habis. Ayo! Segera kembali ke kuburmu!” Ia selipkan setangkai melati di balik jubah kusamnya. Lalu melesat menuju kuburnya.

***

Selalu, sebelum subuh, di sumur Tanto yang terletak di Dusun Bungduwak itu, ada kecipak air jatuh dari timba karet yang ditarik oleh Misna. Bunyinya menjauh-labuh ke palung sunyi, di antara rumput yang lelap dan sesabit bulan tua kuning mentega, yang kerap temaram di balik pohon nyamplung. Wanita paruh baya itu datang setiap pagi ke sumur itu, beserta anaknya, Ilham yang sering duduk lesu di seonggok batu, sambil mengamati tubuhnya yang seperti hanya tinggal tulang, sesekali menghidu bau kulitnya yang amis. Borok menyebar di seluruh tubuhnya.

“Aduh, ini dingin sekali, Bu,” erang Ilham dengan wajah meringis.

“Tapi air ini harus mengguyur tubuhmu sebelum azan subuh berkumandang, Nak,” sahut Misna, menjinjing setimba air dengan sarung setara lutut.

“Dingin, Bu.”

“Kamu ingin sembuh, kan?”

Ilham hanya mengangguk lesu dengan mata sayu, tak gairah, dan pandangannya ia lempar ke sesabit bulan di balik dahan nyamplung. Kemudian Misna—seperti biasa—akan bercerita panjang lebar perihal keampuhan air sumur Tanto, juga perihal asal mula sumur itu yang berasal dari jejak manusia raksasa bernama Landaur. Serta kesukaan Landaur  yang sering membawa bunga melati.

Demi membunuh rasa dingin, Ilham tekun mendengar cerita ibunya, walau tak sedikit pun ia percaya pada mitos yang ibunya percayai itu. Kilau manik-manik air yang disorot bulan, tetes dari ujung rambutnya, terjun pada genangan air di antara kakinya. Ilham menahan gigil, bibirnya gemetar, giginya bergemeretak, tak sabar ingin segera selesai, sedang Misna harus bolak-balik ke pinggir sumur untuk menimba air berikutnya.

Seusai mandi, saat Misna mengeringkan sisa air di tubuh Ilham dengan handuk, Ilham tak bosan bertanya, seperti hari-hari sebelumnya.

“Sudah tinggal berapa hari lagi harus mandi ke sini, Bu?”

“Kau baru dua puluh malam mandi ke sini, Nak. Tinggal dua puluh satu malam lagi. Kata tetua, harus purna empat puluh satu kali,” jawab Misna, seraya mengalungkan handuk ke lehernya. Ilham mengernyitkan dahi. Bulan terbenam di ufuk barat. Lalu di kejauhan, azan subuh berkumandang.

***

Meski Ilham tak percaya mitos sumur Tanto yang bisa menyembuhkan penyakit, tapi ia merasakan sendiri perubahan yang terjadi pada dirinya. Dari hari ke hari, terasa tubuhnya mulai berisi. Borok di seantero tubuhnya sembuh satu persatu, hanya tersisa di beberapa bagian. Bahkan ia terkejut saat bercermin, wajahnya sedikit tampan dari sebelumnya. Dan yang lebih aneh lagi, tubuhnya menguar harum melati.

“Ah! Mitos. Aku tak yakin penyakitku bisa hilang oleh sebab mandi di sumur itu. Kesembuhanku ini karena memang sudah waktunya. Bedebah!” paras Ilham sewot.  Ia mendekat ke jendela. Di balik gorden yang ia singkap, cerlang cahaya bulan bagai tinta emas menjilat malam. Pohonan diam, kecuali hanya sesekali meluruhkan daunnya ke pinggang jalan. Kesenyapan merayap tingkahi tik-tok jarum jam.

“Tidurlah, Nak!. Ini sudah larut malam. Besok sebelum subuh kita harus berangkat ke sumur Tanto. Mandimu masih sampai di hitungan keempat puluh. Hanya tinggal dua malam lagi,” tiba-tiba Misna muncul dari balik pintu.

“Penyakit saya sudah bisa dibilang sembuh, Bu. Saya rasa tak usah mandi lagi ke sumur itu,”  sanggah Ilham dengan nada agak ditekan.

“Jika mandi tidak purna empat puluh satu malam, maka penyakit yang diderita seseorang biasanya akan kembali lagi. Meski ia sudah sembuh, biasanya mudah kambuh. Apa kamu ingin tubuhmu borok dan kerempeng lagi?” tanya Misna setengah mengancam, di balik sepasang tatap mata yang ngantuk.

Ilham hanya tertunduk diam. Hatinya masih tak percaya dengan keampuhan sumur tanto. Malam merayap dengan kuku dingin, seolah menggores dari balik tembok. Lalu terdengar suara ibunya menutup pintu. Klek! Berganti sunyi.

***

Di pagi buta yang keempat puluh satu, Ilham dan Misna datang ke sumur Tanto lebih awal dari biasanya. Tanah Dusun Bungduwak masih pulas dalam belai jemari embun. Ritme lagu serangga mengawini kelam. Jarum jam masih jauh dari waktu subuh. Dan dingin suhu bagai jarum gaib menusuk-nusuk tubuh.

Suara kecipak air dan benturan timba ke perigi sumur itu terdengar melenggang ke datar persawahan. Lalu terdengar suara air diguyur ke tubuh, juga suara Ilham yang tengah menahan gigil. Suara-suara seperti menyatu, senada membisik malam.

“Bertahanlah, Nak! Ini malam terakhir kau mandi di sini. Harus lebih lama dari biasanya. Bertahanlah,” bujuk Misna mondar-mandir ke arah sumur, menceburkan timba yang dipasangi tali, dan menariknya kembali dengan penuh harapan. Penuh senyuman.

Sedang Ilham tetap membisu, duduk di batu dengan tatap sayu. Meski penyakitnya hampir semuanya sembuh, tapi ia tetap kurang percaya kalau air sumur itulah yang menjadi perantara bagi kesembuhannya. Bahkan ia kadang kala tersenyum sinis melihat ibunya yang sibuk oleh keyakinan yang diwariskan oleh moyangnya.

“Pejamkan matamu! Ini siraman yang terakhir kali. Balarak kolare tarebung manyang, baras mare tedung nyaman1, Husss! Sirnalah semua penyakit!” suara Misna membelah senyap. Matanya terbelalak, seolah sedang mengusir ruh jahat di tubuh Ilham. Sedang Ilham hanya terdiam. Hanya menggerak-gerakkan sepasang kakinya pada dasar air yang menggenang di sekitarnya.

“Syarat yang terakhir, kau harus menunggu waktu subuh di sini sendirian. Lalu pulanglah ketika terdengar suara azan,” Misna menepuk bahu anaknya yang masih basah. Tersenyum dalam gelap, sebelum akhirnya ia pulang lebih awal dari Ilham, tepat ketika masjid-masjid dan surau-surau mulai membaca salawat, sebagai tanda detik-detik menuju subuh.

Usia enam belas tahun cukup bagi Ilham untuk melawan nyanyian sunyi menjelang subuh. Ia pasrah dan berani menunggu waktu subuh sendirian di sumur itu, meski hatinya tetap tak percaya dengan mitos yang diceritakan ibunya.

Ilham mengelap tubuhnya dengan selembar handuk, kembali ia memakai baju dan sarung, setelah celananya yang basah ia lorotkan di atas batu. Tubuhnya menggigil, giginya bergemeretak menahan dingin. Tanpa terasa, azan subuh berkumandang. Ilham mengeluarkan napas lega, tugasnya sudah selesai.

Saat kakinya beranjak melangkah untuk pulang, tiba-tiba ada sesuatau yang jatuh dan bersarang di atas kepalanya. Ilham pun meraba benda itu dengan tangan kananya pelan-pelan. Setelah ia lihat, ternyata benda itu adalah setangkai melati yang masih segar, putih berseri, lengkap dengan dua lembar daunnya. Ia terkejut dan sedikit ketakuatan.

“Di sekitar sumur ini jelas tak ada melati. Siapa yang melempar bunga ini dari langit?” tanyanya dalam hati. Bulu kuduknya meremang. Melati yang masih ia genggam, menguar wangi yang khas, seperti wangi yang terhidu dari tubuhnya. Ia lalu teringat kepada kisah Landaur yang jejak kakinya menjadi sumur tanto, kata ibunya, manusia raksasa itu suka menggenggam bunga melati. Ia pun mulai berangsur-angsur percaya kepada mitos perihal sumur itu.

Sesaat sebelum pulang, ia mengedarkan matanya ke datar langit. Mencari-cari sesuatu. Penasaran ingin tahu seperti apa Landaur, si manusia raksasa yang baik hati itu. Tapi fajar keburu rekah, silau retakan cahaya kuning melentang horizontal di ufuk timur.

1. Mantra kuno orang Madura yang sering dijadikan pantun.

ilustrasi: melati suryodarmo, museum macan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan