Jangan Agresif dalam Menggaruk!

870 kali dibaca

Beberapa jam sebelum dentuman yang menggemparkan kemarin menjadi heboh. Baik di jagat maya maupun raya. Aku sempatkan diri merenung. Barangkali pura-pura merenung. Yang jelas ingin kutenangkan pikiranku. Entah akan ikut sadar atas kebodohan perilakuku selama ini atau tidak sama sekali. Kecuali bertahan dari gigitan nyamuk yang gatalnya bukan main.

Kamu tahu rasa gatal seperti apa? Apa yang ingin kau lakukan manakala gatal itu datang? Dengan apa kau menyebutnya? Mengganggukah atau menghiburkah? Apakah kau menikmatinya? Ya, kau tidak sendiri. Aku pun ingin lakukan apa pun agar gatal itu dapat dinikmati. Tapi justru hal tersebut adalah sebuah godaan. Sama seperti menggosip, mengambil barang orang lain tanpa seizin pemiliknya, bermain petak umpet dengan KPK, kejar-kejaran dengan polisi. Semua dilakukan berawal dari iseng. Ingin mencoba, siapa tahu nyaman.

Advertisements

Pernahkah kau dapati punggungmu gatal? Kemudian kau menggaruknya dengan kukumu yang sedikit panjang. Satu, dua, tiga. Berusaha kau capai konsensus itu di punggungmu. Belum puas dan mencari konsensus yang lain. Kau sudah termenung di alam ketidaksadaran bahwa kau sedang melakukan kerusakan pada tubuhmu.

Di lain waktu bekas garukmu menyisakan luka. Memang tidak terlihat. Hanya rasa gatal lain yang muncul dari sekitaran bekas luka itu. Kau terus menggaruknya tanpa peduli sebenarnya kukumu yang panjang tadi membantu mempercepat perpanjangan bekas luka. Oh iya, kukumu juga semakin menghitam. Lantaran bekas lukamu itu menjadi borok. Ditambah kau tidak mandi seminggu ini karena jika punggungmu tersiram air pasti perih. Padahal engkau tahu itu tidak baik dan harus diobati. Seperti itulah ketika engkau berbuat sesuatu yang hati kecilmu menentangnya. Hatimu kecil di dalam sana. Mana mungkin ia dapat mencegah tubuhmu melakukannya.

Kali pertama mencoba-coba. Eh, berhasil. Harus ada peningkatan dong. Kali kedua bereksperimen dengan metode yang baru. Wow, tak kau sangka sempurna nikmatnya. Sampai engkau dibawanya menjadi senior dalam urusan jam terbang, mengeksploitasi jalur luka. Kemudian dijatuhkannya dirimu. Sesuai dengan levelmu yang terus menerus kau upgrade. Jatuhmu semakin tinggi, sakit.

Barangkali selama ini sudah terlalu agresif kita menggaruk punggung bumi. Beberapa goresan tergurat di sana. Luka yang kita torehkan terlalu dalam, sehingga dibutuhkan operasi besar-besaran untuk mengangkatnya. Tubuhnya yang sudah mulai ringkih karena usia memakannya, tak mampu berbuat banyak. Bahkan untuk dirinya sendiri.

Bukan kali pertama hal serupa terjadi pada punggungnya. Luka yang manusia (perpanjangan tangan dari seluruh makhluk di Bumi) pernah buat, kini terulang kembali. Hanya bisa membatin dan berteriak dalam kesunyian. Tidak banyak yang mendengar rintihannya. Bahkan sebagian mengganggapnya hanya hal yang mudah berlalu. Sehingga dengan petantang-petenteng melawan pantangan. Ibarat memukuli bekas luka yang sedang diobati. Kemungkinan ia akan terciprat darahnya atau sesuatu berpindah ke tubuhnya.

Virus yang saat ini me-mandemi-kan umat manusia terlalu banyak memberikan sari hikmah yang seharusnya tidak akan terulang di masa mendatang. Sama seperti ‘pes’ tujuh abad lalu menampar muka (yang katanya) khalifah. Begitu pula ‘maut hitam’ tiga abad lalu telah mengingatkan manusia. Menyusul keluarga H*N*, Mers, Ebola, dan SARS.

Tidakkah kita sadar untuk tidak agresif dalam menggaruk? Tidakkah kita kompak dalam menjaga kesehatan bumi kita? Tidakkah kita bisa berhenti mengomentari perbuatan kita sendiri? Barangkali sejenak. Mendukung melestarikan Bumi yang sudah ringkih ini. Siapa tahu di antara kita tidak mampu membayar jasa alam selama ini. Kira-kira begitulah cara kita berterimakasih dan bersyukur. Tulisanmu, videomu, uluran tanganmu tak sepenuhnya membantu. Manakala tidak turun menjadi perbuatan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan