Jamu Gendong Yu Karti

1,277 kali dibaca

Yu Karti kembali membuka dompet lusuhnya. Dia bolak balik. Siapa tahu ada uang lain yang terlesip. Ternyata nihil. Isi dompetnya hanya tinggal tiga lembar pecahan sepuluh ribuan dan satu lembar lima ribuan.

“Entah bagaimana bertahan hidup dengan uang tiga puluh lima ribu,” gerutunya.

Advertisements

Yu Karti kemudian menuju dapur. Bahan untuk dagangannya hampir semua habis. Kencur, jahe, lempuyang, daun pepaya, kunyit, dan gula jawa tidak cukup untuk dibuat dagangan.

Beberapa hari ini dagangannya tidak laku. Sehari paling bawa pulang uang dua puluh lima ribu rupiah. Jumlah yang tidak cukup untuk membeli bahan dagangan esoknya. Jangankan untung, balik modal saja tidak.

“Mak! Minyak goreng habis, berasnya juga tinggal dikit,” kata Siti, anak sulungnya mengagetkan Yu Karti yang sedang melamun memikirkan bagaimana menyambung hidup.

Sejak satu tahun lalu, suaminya pergi untuk mencari kerja di kota lain. Sampai sekarang, jangankan uang kiriman, kabar pun tidak pernah didengar. Entah suaminya sudah meninggal atau malah kecantol perempuan lain, Yu Karti tidak tahu. Yu Karti harus berjuang membayar kontrakan tiga ratus lima puluh ribu rupiah sebulan dan menghidupi anak-anaknya, Siti kelas 8, Tono kelas 4 dan si bungsu Ratna yang berusia 15 bulan. Beruntung anak-anaknya tidak neko-neko, mau menerima keadaan tanpa mengeluh.

“Ya sudah, yang penting berasnya masih cukup untuk hari ini. Masih ada telur, kan?” tanya Yu Karti pada Siti.

“Masih, Mak. Tinggal 1 butir lagi.”

“Wajan untuk menggoreng sudah kamu cuci?”

“Belum, Mak.”

“Jangan dicuci dulu! Minyak jelantahnya lumayan, bisa untuk mengoreng telur. Kalian makanlah. Emak mau ke pasar dulu belanja bahan jamu.”

***

Setelah beres membuat jamu, Yu Karti bergegas menjajakan dagangannya. “Bismillah, mudah-mudahan hari ini semua laku.” Ia berdoa salam hati sambil menggendong tenggok yang berisi botol penuh jamu. Dia mulai menyusuri jalan-jalan di kampungnya, menuju kampung sebelah.

Hari sudah hampir gelap. Sebentar lagi azan Maghrib berkumandang. Botol-botol jamu Yu Karti hampir semuanya masih penuh. Baru ada tiga pembeli ibu-ibu yang baru melahirkan. Mereka membeli jamu uyup-uyup yang dapat memperlancar ASI.

“Ya Allah gimana ini? Hari sudah menjelang Maghrib. Mendung gelap, sebentar lagi pasti hujan turun deras. Dagangan masih segini banyak. Kalau tidak ada yang beli, rugi lah aku. Tidak ada lagi uang untuk belanja bahan jamu besok, tidak ada uang untuk beli beras dan lauk. Bagaimana anakku makan besok?” rintihnya.

Benar saja, tidak berapa lama hujan turun dengan deras. Yu Karti terpaksa berteduh di sebuah gubuk yang ada di pinggir jalan. “Ya Allah… lindungi hamba dan anak-anakku di rumah.”

Sambil menunggu hujan reda, Yu Karti terus berdoa dan menangis dalam hati. “Hamba pasrah Ya Allah. Hamba hanya memohon, beri pertolongan agar hamba terus dapat memberi makan anak-anak hamba.”

Tidak berapa lama dua orang laki-laki dan perempuan berlari menuju gubuk tempat Yu Karti berteduh. Rupanya mereka juga ingin berteduh di gubuk itu. Segera Yu Karti menggeser tenggoknya dan memberi tempat mereka untuk duduk.

“Monggo Pak, Bu! Di sini tidak kena pias air hujan.”

“Terima kasih, Bu,” jawab si bapak.

“Gimana ini Pak? Kok mobilnya malah mogok? Mana hujan deras banget lagi?” tanya si wanita kepada si pria. Rupanya mereka suami istri. Mobil mereka mogok tidak jauh dari gubuk tempat berteduh.

“Sabar, Bu! Orang bengkel akan segera datang,” jawab suaminya.

“Iya, tapi berapa lama? Aduh, mana botol minum tertinggal di mobil lagi. Ibu haus banget ini.”

Yu Karti segera mengambil dua gelas yang masih bersih dan menuangkan jamu beras kencur, kemudian menyodorkan ke pasangan suami istri itu. “Jika berkenan, monggo. Barangkali ini bisa menghilangkan haus, sambil menunggu mobil bapak ibu dibeneri oleh bengkel.”

Sang istri menatap gelas yang disodorkan Yu Karti. Nampak guratan keraguan di wajahnya. “Duh, sehat nggak ini ya?” katanya lirih. Namun karena haus, gelas itu pun diterimanya.

“Terima kasih banyak, Bu,” ucap si istri sambil menerima dua gelas beras kencur dari tangan Yu Karti.

Setelah meminumnya dan mengembalikan gelas kepada Yu Karti, si perempuan menyodorkan uang dua puluh ribuan.

“Maaf, Bapak, Ibu. Saya ikhas memberikan jamu tadi untuk penghilang dahaga. Jadi tidak usah dibayar.”

“Terimalah Yu, anggap kami memesan dan membelinya tadi,” ucap si suami.

Yu Karti kekeh tidak mau menerima uangnya. “Mohon maaf, Bapak, Ibu. Saya tidak bisa menerimanya,” ucapnya sambil menyatukan tangan tanpa menolak uang tersebut.

Kebetulan hujan sudah mulai reda, meski belum berhenti benar. Yu Karti segera memberesi tenggok gendongannya dan bergegas untuk pulang.

“Bapak, Ibu, saya pulang duluan. Kasihan anak-anak menunggu di rumah.”

“Monggo Bu, matur nuwun jamunya,” sahut si wanita.

Njih, Bu,” jawab Yu Karti. Walau masih hujan gerimis, Yu Karti nekat berjalan pulang. Jika menunggu benar-benar reda, bakal kemalaman dia sampai di rumah.

“Assalamualaikum!” Yu Karti membuka pintu kontrakannya.

“Walaikum Salam,” jawab Siti dan adik-adiknya hampir bersamaan. Nampak Siti sedang memangku adik bungsunya sambil menyuapi. Tono makan di samping Siti.

“Mak…dagangan Emak masih banyak sekali. Bagaimana ini, Mak?” ucap Siti memelas. Seandainya mereka punya kulkas, dagangan itu tidak akan terbuang karena dapat disimpan di kulkas.

“Nggak apa-apa. Insyaallah nanti ada jalan. Kalian makan sama apa?”

“Telur Mak. Masih ada sepotong. Tadi telurnya aku campur terigu, terus aku goreng, aku potong jadi empat,” jawab Siti.

Yu Karti menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak. Sedih melihat kondisi anaknya. Sedih memikirkan dagangannya yang tidak laku, memikirkan besok tidak ada lagi modal untuk belanja bahan dagangan, tidak ada beras dan lauk untuk makan. Tetapi Yu Karti juga bangga pada anak-anaknya. Anak yang ditempa penderitaan.

Lepas salat Maghrib Yu Karti menyendok nasi dan mengambil sepotong telur campur tepung masakan Siti. Makanan sederhana itu terasa sangat nikmat walau susah ditelan karena sambil menahan agar air mata kesedihan tidak menetes di depan anak-anaknya. Yu Karti harus tetap tegar di depan mereka.

“Mak, besok kita sarapan apa?” Tono mengagetkannya.

“Tono mau makan apa?”

“Yang ada saja Mak.”

“Ya sudah, Tono ke warung ya. Beli dua bungkus mi instan. Besok kita sarapan mie instan.”

***

Tidak ada yang Yu Karti dapat perbuat. Jamu dagangannya yang nyaris utuh masih di tenggok. Tadi beberapa tetangga kontrakan ditawari gratis, mereka tidak mau. Mungkin karena terlalu sering minun jamu gratis sisa dagangan dari Yu Karti.

Hanya doa dan kepasrahan mengharap pertolongan Gusti Allah yang dapat dilakukan. Meminta tolong kepada tetangga rasanya tidak mungkin. Selama ini Yu Karti sudah terlalu sering ditolong. Apalagi tetangga kontrakan juga banyak yang mengalami masalah ekonomi.

Paginya, setelah memandikan Ratna, Yu Karti menyuapinya. Terdengar suara ketukan di pintu.

“Assalamualaikum,” Pak RT yang sekaligus pemilik kontrakan datang mengagetkannya.

“Waalaikumsalam. Pak RT, maaf Pak. Sepertinya ini belum saatnya saya bayar kontrakan,” kata Yu Karti kaget melihat kedatangan Pak RT.

“Saya datang bukan untuk menagih uang kontrakan Mbakyu, ini mengantar tamu. Ada yang mencari Yu Karti. Katanya beliau tadi sudah keliling kampung sebelah menanyakan tukang jamu gendong yang biasa keliling itu tinggalnya di mana. Trus ada yang menunjukkan ke sini. Kebetulan tadi mampir rumah saya untuk menanyakan apa benar ada warga yang menjual jamu gendong keliling.”

Yu Karti nampak bingung. Siapa tamu yang dimaksud. Tidak berapa lama muncul seorang laki-laki dan perempuan menenteng plastik berisi belanjaan. Yu Karti mengamati orang tersebut dan merasa tidak kenal, namun sekilas dia merasa pernah bertemu. Mungkin salah satu langganannya. Ada apa gerangan? Apakah setelah meminum jamu dagangannya ada masalah sehingga mereka mencarinya untuk minta pertanggungjawaban.

“Maaf Pak, Bu. Benar ini yang Bapak Ibu maksud?” tanya pak RT kepada tamunya.

“Benar Pak. Ibu ini yang saya temui kemarin sore,” jawab tamu laki-laki yang ternyata bernama pak Marta.

Bu Marta menyalami Yu Karti kemudian menyerahkan plastik berisi belanjaan. “Ini untuk anak-anak Yu.” Rupanya Pak RT sudah menceritakan keadaan Yu Karti kepada kedua tamunya dan bu Marta berinisiatif membelikan beberapa keperluan dapur. Mi instan, telur, minyak goreng, dan jajanan itu diterima Yu Karti dengan mengucapkan terima kasih.

“Yu Karti,” Pak RT membuka percakapan. “Pak Marta ini tinggal di Semarang. Beliau mempunyai usaha aneka makanan dan minuman tradisional. Kedatangannya ingin mengajak Yu Karti bekerja sama.”

“Benar Yu. Setelah kemarin merasakan jamu beras kencur buatan Yu Karti, saya dan istri banyak diskusi. Sepertinya jamu Yu Karti layak untuk dipasarkan di toko kami. Kami mau mengajak Yu Karti bekerja sama. Saya meminta Yu Karti membuat jamu beras kencur dan kunyit asem masing-masing seratus botol. Satu botol ukurannya 330 ml, kira-kira dua gelas dari yang kemarin saya minum. Jika nanti laku, saya juga akan meminta Yu Karti membuat jamu yang lain,” kata Pak Marta.

“Tapi Pak, saya tidak paham buat jamu untuk dikirim jauh. Nanti jamunya basi,” jawab Yu Karti bingung.

“Yu Karti tidak usah kuatir. Tim kami akan datang untuk mengajari agar jamunya awet walau tanpa bahan pengawet. Juga cara mengemasnya agar lebih menarik,” Bu Marta menimpali.

“Ya Pak, Bu. Terima kasih banyak sebelumnya.” Nampak bingar di mata Yu Karti.

“Sebagai tahap awal, ini saya titip uang untuk membeli bahan. Hari ini Yu Karti tolong siapkan bahan-bahannya, juga alatnya. Besok siang tim saya akan datang untuk mengajari pengemasan agar jamu buatan Yu Karti awet. Juga akan bawa botol untuk kemasannya,” imbuh Pak Marta, sambil menyodorkan amplop berisi sepuluh lembar uang seratus ribuan.

“Maaf Pak, Bu. Ini uangnya banyak sekali.”

“Tidak apa-apa Yu. Kelebihannya saya titip untuk kebutuhan sehari-hari sebelum ada keuntungan dari jualan jamu di tempat kami. Saya juga bermaksud membiayai sekolah anak-anak ini,” sambung Pak Marta sambil memandang ketiga anak Yu Karti yang dari tadi ikut duduk menemui tamu-tamu itu.

“Alhamdulillah… terima kasih banyak Pak, Bu. Mungkin ini jawaban dari doa-doa saya setiap malam. Saya tidak meminta apa-apa. Saya hanya ingin anak-anak saya tidak kekurangan makan dan dapat sekolah dengan baik. Terima kasih sekali lagi nggih Pak dan Bu Marta.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan