JALU

2,144 kali dibaca

Kenangan bagi Jalu adalah serupa paku-paku yang ditusukkan paksa ke sekujur dedaging dan telulangnya yang kurus kerempeng. Menyakiti dan membikin infeksi. Namun sebagaimana paku-paku yang mematri kayu-kayu menjadi perkakas, apalah itu meja, kursi atau lemari, maka bagi Jalu paku-paku kenangan itupun adalah yang merekatkan dirinya membentuk Jalu yang sekarang. Melepaskan paku-paku adalah sama merusak perkakas. Meja, kursi, dan lemari tidaklah lagi meja, kursi, dan lemari tanpa paku-paku. Mereka adalah serangkaian kayu-kayu saja. Tanpa kenangan-kenangan itu, barangkali, Jalu pun tidak akan pernah ada.

Di pagi dini hari, bahkan ketika jam belum sampai menunjuk sempurna ke pukul dua tepat, Jalu terbangun dengan hantu di kepalanya. Mimpi-mimpi yang menemaninya sejak dia mulai bisa mengingat. Api menjilat melumat habis rumahnya. Bapaknya yang tertimpa saka rumahnya. Ibunya yang gosong dengan mukena membungkus tubuhnya. Adik-adiknya yang berteriak sia-sia ketika api sudah membakar separo tubuh mereka. Juga ia, yang tertidur antara sadar dan tidak dalam pelukan kakak perempuannya yang menggosongkan diri demi ia bisa hidup sampai detik ini. Detail itu selalu tergambar sangat jelas dalam setiap mimpinya. Dan di pengujung mimpinya, Jalu tersengal-sengal.

Advertisements

Ia menengok jam kecil di samping bantalnya. Selalu jam dua pagi yang bahkan belum sempurna, karena jarum jam panjangnya bahkan belum melewati angka sepuluh. Jalu menyibakkan selimut lusuhnya, bangkit dan mengenakan sarungnya. Teman-teman sekamarnya terlihat masih pulas, bahkan ketika kereret suara pintu berderit terdengar begitu Jalu membuka pintu. Jalu melawan dingin, berjalan menuju surau di tengah pesantren. Ia mengambil wudlu, sholat empat rakaat dan membaca al-Mulk, surat yang selalu ia dengar dalam mimpi-mimpinya tentang ibunya, sebelum api menjilat habis seisi rumahnya. Jalu menangis terisak-isak, dengan bayangan keluarganya yang kini tiada. Semakin membaca, semakin serak, semakin terisak-isak. Ibunya, dan wajah keluarganya semata yang membayang di pelupuk mata. Dan bersahut-sahutan dengan suaranya membaca al-Mulk, ada suara ibunya.

Di pintu surau, Kiai Soleh mengusap ujung matanya yang basah. Beliau telah menyaksikan pagi yang sama, pagi di mana Jalu menangis, sejak belasan tahun yang silam, ketika Jalu pertama-tama menjadi bagian dari pesantren ini. Ketika Jalu bahkan belum fasih mengeja abatatsa. Ketika Jalu bahkan belum mengenali ingatannya tentang surat al-Mulk yang dulu selalu dibaca ibunya di setiap dini hari yang penuh gigil. Kiai Soleh-lah yang melihat dan menyaksikan, dengan begitu dekat, rasa kehilangan yang dialami Jalu.

*

Pesantren Nurussholihin ini adalah pesantren kecil di sebuah pelosok desa yang jauh dari gemerlap dan gegap gempita kota-kota. Di sekeliling pesantren, ada sawah beberapa petak dan tambak yang diolah para santri. Di halaman belakang, ada kandang kambing dan ayam, juga bebek dan entok. Kiai Soleh, yang sederhana dan bijaksana itulah yang dengan telaten mengajari para santri tak hanya mengaji, tapi juga mengolah sawah, tambak, dan beternak. Mereka yang mengaji dan belajar disini adalah anak-anak kampung yang papa, beberapa bahkan tidak punya keluarga, seperti Jalu. Dan memang tak ada sepeser uang pun yang harus mereka bayarkan untuk bisa nyantri di sini. Nyantri di sini tidak perlu mbayar, asal mau, demikian dawuh Kiai Soleh.

Demikian juga Jalu, yang hanya karena belas kasih Tuhan semata, belasan tahun lalu ditemukan Kiai Soleh di dusun yang terbakar habis tak jauh dari pesantren ini. Dan semenjak saat itu, hiduplah Jalu di sini, dengan hantu di kepalanya yang tak lenyap-lenyapnya, dan kasih sayang Kiai Soleh yang setidak-tidaknya membuatnya tak tega mengakhiri hidupnya sendiri.

Bersama puluhan santri yang lain, Jalu mengaji dan bekerja. Ia-lah yang paling rajin mencangkul sawah, menyiangi rumput, dan memberi makan kambing-kambing di halaman belakang. Dan tentu, dialah yang paling muram di antara semuanya. Seolah segala beban penderitaan di dunia hanya dia yang menanggungnya.

“Jalu nggak lelah?” tanya Amad, salah seorang santri seumuran Jalu, yang sedang memberi makan ayam dan unggas lainnya.

Jalu yang kakinya penuh lumpur karena habis mencangkul kini tengah sibuk membersihkan kandang kambing dan mengganti rumput yang kering dengan rumput yang segar. Mendengar pertanyaan Amad yang tidak jauh darinya, ia hanya menoleh sekilas dan menggeleng. Gelengan yang seolah-olah berkata: “Bagaimana mungkin kau merasa lelah jika seumur hidupmu kau menanggung hantu di kepalamu dan hanya dengan bekerjalah kau lari dari mereka?”

Amad mengangguk. Semua di sini mafhum. Jalu yang bekerja begitu keras sebagai kompensasi atas rasa-rasa menakutkan yang menghantuinya lebih dari siapa pun di tempat ini.

“Dilanjutkan nanti, sebentar lagi pengajian dimulai,” ucap Amad sambil menunjuk matahari. Jalu mengangguk.

Dan menjelang matahari di sepenggalah, suara santri mengaji di surau terdengar bersahut-sahutan. Lalu lengang seketika begitu suara lembut Kiai Soleh mengucapkan salam dan memberi pelajaran-pelajaran. Dan begitulah kehidupan berjalan di sebuah pesantren kecil itu. Mengaji, mengaji, lalu bekerja. Lalu mengaji lagi, dan bekerja lagi. Di waktu senggang, surau nyaris tak pernah sepi dari santri yang mendaras Al-Quran berganti-gantian dengan mereka yang bekerja mengurus sawah, tambak dan ternak.

Namun selalu, di setiap dini hari antara jam satu sampai dua, hanya Jalu-lah yang sedingin itu mengaji al-Mulk. Menyimpan ingatan purbanya tentang ibunya yang telah tiada.

Dulu, pada umurnya yang ke sembilan, empat tahun setelah tinggal di pesantren ini, Jalu yang sudah mulai bisa membaca Al-Quran tidak sengaja mendengar Kiai Soleh mendaras di kamar beliau. Jalu yang tengah menyapu terduduk di depan pintu kamar. Menangis karena alunan suara Kiai Soleh membangunkan ingatan Jalu tentang ayat-ayat yang selalu dilantunkan Ibunya dulu sekali. Ketika Kiai Soleh membuka pintu kamarnya, beliau menemukan Jalu menangis terisak-isak sambil bersujud di sana, berganti-ganti menyebut Allah dan ibunya. Dan sejak itulah Kiai Soleh mengajari Jalu mengaji al-Mulk, yang kemudian didaras Jalu setiap pagi sampai pagi ini.

Pagi ini, Jalu kembali mendaras al-Mulk dan menghidupkan kembali sosok ibunya lewat kenangan dan suara-suara merdunya yang seolah terdengar bersahut-sahutan bersamanya. Ketika usai, barulah Jalu menyadari, bahwa di sampingnya ada Kiai Soleh. Refleks, Jalu mengusap air matanya lalu mengambil tangan kanan Kiai Soleh, bersalaman dan menciumnya. Sambil mengusap kepala Jalu, Kiai Soleh berbisik lirih, “Alladzii kholaqol mauta walhayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala… mati dan hidup itu ujian, Nak…”

Jalu terdiam. Dalam batinnya, ia seolah mengulang kembali bacaan al-Mulk-nya. Perlahan, air matanya menitik, dan buru-buru ia usap dengan tangannya.

“Keluargamu meninggal, itu bukan kesalahanmu. Apalah daya hati menanggung yang sedemikian berat yang bahkan bukan kesalahanmu? Hanya karena kau satu-satunya yang hidup, anakku, janganlah merasa bersalah. Allah selalu punya rencana, jika kau tak hidup, kau tidak mengenalku, kau tidak akan di sini, mengenang keluargamu. Menyesalkah sudah mengenalku?”

Jalu menggeleng. Tidak berani menjawab. Ia menunduk. Dalam-dalam.

“Janganlah menyesali kehidupan yang kau miliki. Itu tidak elok. Berbahagialah. Bersyukurlah.” Kiai Soleh mengusap kepala Jalu sekali lagi, setelah itu beliau bangkit. Meninggalkan Jalu sendirian dan duduk jauh di depan sana. Di tangan kanan Kiai Soleh, selalu ada tasbih berwarna hijau yang sudah lusuh. Dari tempatnya duduk, Jalu bisa mendengar Kiai Soleh beristighfar lalu mengucap tahmid. Begitu berulang-ulang. Dari sudut matanya, Jalu melihat jari-jemari Kiai Soleh bergerak bersama butiran tasbih. Di sela-sela dzikirnya, Kiai Soleh beberapa kali memanjatkan sholawat. Jalu menangis.

**

“Kiaii, si blirik sudah melahirkan, bayinya tiga,” Jalu mengabarkan dengan binar di matanya. Kiai Soleh yang tengah mengajari santri meracik rabuk (pupuk tradisional) menoleh. Tatapannya berhenti di sepasang tangan Jalu yang berlumur darah. Beliau tersenyum dan melambaikan tangannya, berbicara lewat sorot mata bahwa sebentar lagi beliau akan menyusul ke kandang kambing untuk menengok si blirik. Jalu tersenyum dan berlari kembali ke kandang lebih dulu.

Jalu dan Amad membersihkan kandang kambing bersama dan terdengar tawa berderai Jalu. Untuk pertama kalinya dia menolong persalinan kambing yang ia beri makan setiap hari, si blirik. Amad yang sedari tadi membantu Jalu diam-diam memandangi Jalu sambil tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak belasan tahun bersama, Amad melihat Jalu tertawa dan bahagia.

“Rumputnya diganti ini saja, yang lebih segar,” ucap Jalu sambil tersenyum.

Amad tertawa, dan dengan sigap mengganti rumput yang sudah mengering di hadapan kambing-kambing itu dengan yang baru. Dilihatnya Jalu membawa air seember ke hadapan si blirik sambil nyengir.

“Air apa itu?” tanya Amad.

“Air leri. Sampeyan tau leri? Itu loohh, air perasan beras…” jawab Jalu sambil menunjukkan air berwarna susu di dalam ember di hadapannya kepada temannya.

“Hahaha, lain kali, bikinkan jangan menir sekalian,” ledek Amad. Jangan menir adalah sayur bening berisi bayam dan jagung muda. Biasanya ibu-ibu yang baru melahirkan suka mengkonsumsi jangan menir.

“Iyah. Nanti mau bikin jangan menir buat sampeyan. Kalau buat si blirik, nanti dimasakin kangkung kuah saja. Sudah beli kangkung tadi. Tinggal dimasak,” timpal Jalu. Amad makin terkekeh.

“Sekarang sampeyan lebih manusiawi, lebih sering tersenyum, nggak seperti kemarin-kemarin, serem…” ucap Amad sambil nyengir.

Jalu melongo. Sedetik kemudian dia menepuk punggung Amad dan terkekeh. “Maafin saya ya yang kemarin-kemarin,” ucap Jalu tulus.

“Sama-sama, maafin saya juga ya…” dan ketika Amad ikut menepuk punggung Jalu, Jalu memekik.

“Tangan sampeyan habis megang si blirik tadiii,”

“Alaahh, sampeyan jugaaa, ituuuh…”

Dan berdua, mereka terkekeh-kekeh, tertawa-tawa, saling melempar rumput, dan saling mengelap tangan kotor ke kaus masing-masing. Begitu terdengar Kiai Soleh berdehem, mereka pun terdiam. Amad langsung sibuk membereskan hal-hal yang sebenarnya sudah beres. Sementara Jalu langsung sibuk memamerkan bayi-bayinya si blirik pada Kiai Soleh. Mereka terdengar bercakap-cakap sebentar sampai kemudian berdua meninggalkan kandang kambing.

“Ya rawatlah si blirik dan anaknya baik-baik,” ucap Kiai Soleh sambil berjalan.

Nggih Yai,” jawab Jalu. “Yai, terimakasih…”, lanjutnya pelan.

“Buat apa?” Kiai Soleh balas bertanya.

“Semuanya Yai…”

“Iya, iya. Berbahagialah. Bersyukurlah.” Demikian ucap Kiai Soleh sambil tersenyum. Jalu menangguk. Dalam hati tiba-tiba terasa sejuk.

**

Dan demikianlah. Kenangan adalah serupa paku-paku yang merekatkan kayu menjadi meja, kursi, dan lemari. Dan tanpa paku-paku, maka kesemuanya hanyalah tumpukan kayu biasa. Jalu paham, bahwa kenangan itulah yang menjembatani ia dan masa lalunya. Yang merekatkan ia menjadi pribadi. Begitulah ia menjaga kenangan itu di antara benak dan hatinya.

Maka jika mimpi itu kembali datang serupa hantu, Jalu merapal doa, agar keluarganya dilapangkan hidupnya di alam keabadian. Dan di setiap pagi dini hari yang penuh gigil, Jalu masih selalu mendaras al-Mulk, mengingatkan diri sendiri untuk selalu bersyukur atas segala belas kasih sang Maha Kasih yang di tangan-Nya-lah hidup dan mati manusia digenggam.

Pada jam dua yang bahkan belum sempurna, Jalu tetap terus mengaji. Sendiri. Sesekali masih ia dengar suara ibunya ikut mengaji bersamanya, bersahut-sahutan. Dan di penghabisan, dia menangkupkan kedua tangannya, mendoakan ibunya, bapaknya, saudara-saudaranya, agar Allah menjaga mereka di sebaik-baik tempat di sisi-Nya, dan sebaris doa lirih ia panjatkan untuk Kiai Soleh yang penuh kasih, yang dari kesederhanaannya Jalu merasa dicintai. Dan dengan cinta itulah, Jalu hidup. Berusaha berbahagia, dan selalu bersyukur.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan