Jalan Bagus

1,277 kali dibaca

“Jangan merusak ibadah kita. Ikhlaslah dalam mengajar. Rezeki itu mengikuti keikhlasan dan kealiman seseorang.” Perkataan itu keluar dari bibir Mbah Su.

Sebenarnya Bagus sudah tuli dengan omongan orang-orang yang menghantamnya. Tidak ada waktu untuk sakit hati. Bagi Bagus, waktu itu terlalu berharga jika dihabiskan untuk memikirkan omong kosong orang-orang. Mengajar adalah jalan hidupnya. Perkataan Mak Rah, telah tertanam di hatinya.

Advertisements

“Mengajar itu suatu pekerjaan yang paling mulia. Terlalu murah sekali jika amaliyah jariyah yang kekal ditukarkan dengan harta dunia yang tidak ada seratus tahun.”

***

Sinar mentari merambah muka bumi mengangkat embun-embun ke angkasa. Menghangatkan semangat makhluk hidup yang disentuhnya. Suara panggilan Mak Rah menyibak suara kambing yang mengembek.

“Gus… lekas siapkan buku-bukumu. Katanya kamu ada jam kuliah.”

“Ya Bu. Sudah saya siapkan semua. Ini saya mau berangkat.”

Setelah mengecup tangan hangat Emaknya, dikayuhlah sepeda Bagus. Bagus dengan sepedanya menyusuri jalan yang membelah hamparan sawah-sawah kering. Kekeringan di sawah itu menimbulkan telo, retakan-retakan, yang lebar. Angin mendorongnya ke arah utara menuju jalan raya provinsi.  Ada panggilan yang menghentikan putaran roda sepeda Bagus.

“Gus… Bagus….” Panggilan Mbah Sudarmawan dari tengah sawah mengalun.

Bagus mengerem sepeda dengan kakinya. Rem sepedanya itu sudah lama putus. Tak ada kehendak Bagus untuk membenahinya.

“Assalamualaikum, Ya Mbah Su. Ada perlu dengan saya?”

“Saya dengar kamu tahun ini lulus dari IAIN Kediri. TPA Al-Huda, di musala saya sedang butuh guru mengaji, jika berminat nanti asar kamu bisa langsung mengajar di musala ya?”

“Saya coba pikirkan dan minta izin sama Emak.”

“Kemarin, saya sudah bertemu emakmu. Katanya suruh tanya langsung kepada kamu. Nanti datang ke Musala Al-Huda ya? Anak-anak yang ngaji semakin banyak. Saya dan Mbah Saroh sudah kewalahan mengajar mengaji. Ini juga ada program dari pemerintah untuk mendapatkan bantuan madin harus ada guru mengaji yang lulusan S-1.”

Setelah selesai berbincang, Bagus melanjutkan mengayuh sepedanya menuju halte bus di perempatan Kecamatan Baron, sebuah kecamatan kecil di Jawa Timur.

***

Bisik-bisik tetangga mulai memenuhi desa itu. Saking santernya akhirnya sampai ke telinga Mak Rah. Bu Sari menceritakan ke telinga wanita enam puluh tahunan itu.

“Kata meraka, seharusnya kamu dulu mendengarkan nasihat-nasihat mereka. ‘Buat apa menyekolahkan anak tinggi-tinggi. Lebih baik langsung kerja di pabrik pakan atau pabrik kabel di dekat sini. Gajinya sudah UMR dan biaya kuliah bisa untuk yang lain.”

“Lha gimana lagi Bu, memang sekarang banyak kampus di negeri kita. Jadi banyak juga lulusan S-1. Sementara lapangan kerja juga susah.”

“Pabrik-pabik juga takut kalau pelamarnya S-1. Nanti minta gaji yang besar. Lagian lowongan pekerjaannya diisi SMK/SMA saja sudah cukup. Bukankah benar kenyataan itu?”

“Tidak ada kata menyesal bagiku. Ilmu itu adalah bekal yang berharga di dunia dan akhirat. Dengan membiayainya kuliah, berarti aku mendapatkan amal jariyah. Apalagi sekarang Bagus membantu Mbah Su mengajar di TPA-nya. Berarti juga secara tidak langsung aku ikut beramal dengan mengajari murid-murid TPA Al-Huda.”

Merasa perbedaan pendapat semakin kuat akhirnya Mak Rah mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin keiklhasannya tercemar oleh desas-desus yang dibuat oleh orang-orang.

***

Adzan asar di Musala Al-Huda berkumandang. Suara tersebut tak asing di telinga warga sekitar, namun sempat hilang beberapa tahun ini. Lantunan yang sangat merdu, sehingga membangkitkan semangat untuk salat berjamaah di Musala Al-Huda. Seusai salat berjamaah, dimulailah pelajaran di TPA Al-Huda.

“Kamu adalah muridku yang paling cerdas yang pernah aku temui. Aku ajari adzan seminggu saja sudah melampaui murid-muridku yang lain. Aku bangga kepadamu.” Pujian Mbah Su itu ditujukan kepada Bagus.

“Alhamdulillah Mbah, berkat ketelatenan Mbah membimbing saya dulu waktu anak-anak sampai saya SMP akhirnya bisa seperti ini. Pelajaran Mbah di Musala Al-Huda ini yang bisa membuat saya seperti ini.”

Sebelum duduk di bangku taman kanak-kanak, Bagus sudah belajar di Musala Al-Huda. Dulu yang belajar mengaji belum sebanyak ini. Bagus masih ingat, teman-teman mengajinya tak lebih dari lima. Tini dan Ratna, teman Bagus mengaji, sekarang sudah menikah. Tini sudah memiliki dua momongan, sekarang mengikuti suaminya di desa Barengan. Ratna yang tinggal tak jauh dari rumah Bagus, anak sulungnya sudah duduk di kelas VII SMP, anak keduanya sudah kelas V SD, dan yang terakhir masih TK. Satu lagi teman mengaji Bagus adalah Andra. Dia sekarang merantau di Malaysia.

“Murid-murid TPA sekarang berbeda dengan zamanmu dulu. Senakal-nakalnya kalian jika diajari mengaji masih mendengarkan dan patuh jika diberi tugas. Apalagi jika diajak khataman Quran ke rumah-rumah.”

“Ya Mbah, zaman dulu kalau setelah khataman mendapat nasi berkat sangat senang Mbah. Dulu ‘kan makan nasi lauk ayam nikmat sekali. Soalnya saya dan teman-teman jarang makan ayam. Kami juga percaya dengan nasihat Mbah tetang keutamaan khataman. Insyaallah kami juga masih ingat dengan semua nasihat dan pelajaran yang Mbah berikan.”

Sudah lama sekali Bagus tidak azan di Musala Al-Huda. Kesibukan membantu ibu dan ayahnya membuka warung kopi kaki lima di dekat Halte Bus Baron membuatnya tidak bisa jamaah di Musala Al-Huda dekat rumahnya. Hasil sawahnya sudah dirasa tidak cukup oleh Pak Aryo jika tiga tahun lagi Bagus harus kuliah di IAIN Kediri. Terbesitlah Pak Aryo untuk membuka warung kopi di dekat Halte Bus. Keuntungan dari berjualan itu disisihkan untuk biaya  kuliah Bagus.

***

Mbah Sum, tukang sayur keliling yang dinanti telah datang. Ibu-ibu pun berkumpul di depan pertigaan jalan RT 01. Seperti biasanya mereka membawa cerita masing-masing yang mereka simpan. Kemudian mereka obral ketika berbelanja di Mbah Sum.

“Bu Sar, gimana kabar tetanggamu yang lulusan S-1 itu, apa masih ngganggur?” tanya Bu Nar.

“Oh, Bagus. Tidak nganggur, dia bekerja di TPA Al-Huda.”

“Apa ada gajinya di TPA? Bulan lalu kita protes karena ada tarikan dua ribu rupiah per anak untuk membayar guru ngaji,” celetuk Bu Par.

“Memang benar, dari dulu mengaji tidak ada yang membayar. Ustadz harus ikhlas jika mengajar agar dapat amal jariyah,” sahut Bu In.

“Berarti sama juga pengangguran. Masih beruntung anakku lulusan SMK/SMA yang bisa bekerja di pabrik kabel atau pakan ternak. Gaji pertamanya satu setengah juta rupiah. Sekarang sudah naik jadi dua juta,” kata Bu Mus.

Bu Sari mulai mual mendengar omongan-omongan mereka. Akhirnya segera membungkus barang belanjaannya.

***

Langit mulai memerah. Ini saatnya Bagus membuntuti anak-anak pulang, Mbah Su ingin berbincang ringan dengan Bagus. Ketika itu anak-anak yang mengaji telah meninggalkan Musala Al-Huda.

“Gus, sini duduk-duduk sebentar. Tadi Mbah Saroh sudah membuatkanmu kopi.”

“Ya Mbah.”

“Kamu tidak repot kan kalau jam segini?”

“Tidak Mbah. Biasanya saya cuma ngobrol bersama Emak dan Bapak di rumah.”

“Mereka sudah tidak berjualan lagi ya di Halte Baron?”

“Tidak Mbah. Sejak ada wabah Covid jarang orang-orang cangkruk di halte.”

Mbah Su tidak ingin menambah luka Bagus. Sebenarnya Mbah Su juga mendengar cibiran miring tetangga Bagus. Mbah Su mengalihkan pembicaraan supaya Bagus tidak terbebani dan semakin terhibur.

“Ayo diminum kopinya. Ngomong-ngomong, bagaimana mengajar anak-anak ngaji?”

“Alhamdulillah, saya bisa mengamalkan ilmu yang saya pelajari selama ini. Saya sangat bersyukur Mbah.” Senyum tipis mengiringi perkataan Bagus.

“Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Saya juga sangat bersyukur diwarisi ayah saya Musala Al-Huda ini. Dengan bekal musala ini, saya bisa mengajarkan anak-anak membaca al-Quran, salat, dan ilmu agama lainnya.” Mbah Su menyeruput kopinya sejenak.

“Nanti ada undangan yasinan rutin di Pondok Al-Ihsan bakda isya. Kamu mau ikut, Gus?”

“Insyaallah Mbah, tapi saya harus pamit dulu kepada Bapak.”

“Ya. Kemarin, saya sempat bicara sama Kiai Cholid, kalau saya punya murid TPA yang cerdas lulusan S-1 Bahasa Arab IAIN Kediri yang lagi mencari pekerjaan, yaitu kamu, Gus. Beliau juga berminat terhadap kamu karena di sana juga lagi butuh guru Bahasa Arab di MA Al-Ihsan. Jika bisa nanti bertemu kamu.”

“Alhamdulillah, Mbah. Saya juga kepikiran terhadap ilmu yang saya pelajari. Saya ingin membanggakan orang tua saya. Alhamduliilah jika saya punya kesempatan mengamalkan ilmu saya di MA Al-Ihsan.” Senyum Bagus mulai terlepas bebas. Beban-beban hidupnya dirasakan mulai berguguran.

***

“Baik saya terima, kamu mulai besok bisa mengajar kelas XI Agama, XI IPS, dan XI IPA. Tapi setiap hari kamu harus hadir ikut mengawasi siswa-siswa ya? Apa kamu sanggup, Pak Bagus?” Abah Cholid meletakkan surat lamaran Bagus di mejanya.

“Insyaalllah Bah, saya sanggup.”

“Ini kain seragam guru.”

“Assalamualaikum warohmatulahii wabarohkatuh Bah.”

“Waalaikum salam warohmatulahii wabarohkatuh”

Diterima dengan rasa bangga, kain seragam pemberian MA Al-Ihsan dan kecupan ke tangan Abah Cholid menandakan bahwa percakapan itu telah berakhir.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan