Jabar, Provinsi Pertama yang Lahirkan Perda Pesantren

564 kali dibaca

Selasa, 2 Februari 2021 menjadi hari bersejarah bagi dunia pesantren, khususnya pondok pesantren di Jawa Barat. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menandatangani pengesahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren. Inilah Perda Pesantren yang pertama dibuat pemerintah daerah sejak lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan UU Pesantren sejak 2019. Namun, hingga kini UU tersebut belum bisa dijalankan sepenuhnya lantaran peraturan turunannya belum ada. Setelah akhir 2020 Kementerian Agama menerbitkan tiga Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Pesantren, sejumlah pemerintah daerah menyiapkan aturan turunannya. Jawa Barat akhirnya tercatat sebagai provinsi pertama yang mampu melahirkan Perda Pesantren dimaksud.

Advertisements

Proses penyusunan Perda Pesantren di Jawa Barat sebenarnya sudah dimulai sejak lama, sejak UU Pesantren diundangkan. Setelah melalui proses panjang, dan menerima masukan dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan pesantren, Perda Pesantren dimaksud akhirnya disahkan pada Selasa, 2 Februari 2021. Dengan adanya perda ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki landasan hukum yang lengkap untuk ikut serta membantu penyelenggaraan pendidikan pesantren.

“Puji syukur Alhamdulillah. Hari ini Jawa Barat sah menjadi salah satu daerah yang pertama di Indonesia yang memiliki Perda Pesantren yang akan menjadi dasar kuat untuk mendukung lahir batin para santri dan pembangunan pesantren, sebagai salah satu identitas sosio kultural Jawa Barat,” kata Ridwan Kamil.

Perda Pesantren ini disebut mengukuhkan fungsi pemerintah daerah dalam hal pembinaan, pemberdayaan, dan fasilitasi penyelenggaraan pesantren. Artinya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki tugas untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pesantren di daerahnya.

Melalui Perda Pesantren, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dan tugas dalam hal peningkatan kualitas pemahaman dan wawawasan para kiai, ustadz, dewan guru, dan santri, serta peningkatan kualitas manajerial pesantren. Dengan adanya perda ini pula, pembiayaan penyelenggaraan pengembangan pesantren akan dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Saat ini, di Jawa Barat terdapat sekitar 12.000 pondok pesantren. Namun, yang tercatat di Kementerian Agama hanya 8.000 pondok pesantren. Dengan adanya perda ini, semua pesantren di Jawa Barat akan diperbaiki sisi manajerialnya.

Menurut Ridwan Kamil, Perda Pesantren ini secara komprehensif berupaya mewakili semua jenis pesantren, baik salafiyah, khalafiyah, maupun muadalah. “Sehingga, tidak boleh ada lagi anak-anak Jabar yang memilih sekolah di pesantren namun tidak mendapatkan dukungan dari negara. Dengan Perda Pesantren ini, semua anak-anak di Jabar memiliki hak yang sama dalam fasilitasi dari negara,” tegasnya.

Dengan adanya Perda Pesantren ini, demikian ditegaskan, ribuan pesantren di Jawa Barat bisa didukung dan dibantu secara resmi oleh pemerintah daerah. “Selama ini, negara hanya mendukung yang formal, yang sekolah negeri, atau sekolah agama yang di bawah Kementerian Agama. Kalau pesantren tradisional, tidak masuk dalam dukungan formal,” tuturnya. Gubernur Ridwan Kamil juga akan segera menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) agar tidak ada jeda terlalu lama dalam menjembatani perda ke dalam hal teknis yang dibutuhkan.

Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum menyebutkan, Perda Pesantren merupakan aspirasi warga Jabar ketika pondok pesantren (ponpes), khususnya salafiyah, belum tersentuh kebijakan pemerintah yang bersifat reguler.

Menurutnya, selama ini, pondok pesantren salafiyah alias pesantren tradisional yang fokus mempelajari kitab kuning tidak mendapatkan atau sulit mendapatkan bantuan dari pemerintah karena tidak memiliki pendidikan formal. “Maka, salah satu solusi adalah Perda Pesantren. Jadi ponpes berhak mendapatkan bantuan secara reguler dari pemerintah. Tidak menutup kemungkinan santri di Jabar dapat BOS,” katanya.

Dengan Perda Pesantren, imbuhnya, bantuan dari pemerintah ini harus benar-benar sesuai dengan aturan, yakni ada santri yang bermukim/mondok, ada kiai, ada pondok/asrama, ada masjid/musala, serta terpenting mempelajari kitab kuning terkait di antaranya al-Quran, hadits, fikih, tauhid, tafsir, nahu, saraf, balaghah, dan lainnya.

“Jadi, kalau mengatasnamakan pesantren tetapi di dalamnya hanya pendidikan SD, SMP, SMA, tapi tidak belajar kitab kuning, maka tidak termasuk pesantren,” tandasnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan