Isra Mikraj dan Kesalehan Artifisial

488 kali dibaca

Isra Mikraj sudah digemakan di mana-mana. Peristiwa Rasulullah yang berlangsung pada 621 M itu, menuntun manusia melihat makna di baliknya. Peristiwa monumental dengan hanya terjadi semalam saja, membuat umat Muslim takjub. Dan karena itulah hingga kini Isra Mikraj selalu diperingati.

Dalam literature Islam, pada Isra Mikraj, Rasulullah manaiki transportasi super cepat di dunia: Buroq. Ia melintas dari Masjid Al-Haram menuju Masjid Al-Aqsha, Palestina. Mikraj Nabi banyak para ulama mengartikan sebagai “rekreasi” di kala Rasulullah sedih, karena ditinggal oleh banyak kerabat terdekat. Dengan Mikrajnya Nabi, dipercaya bisa membangkitkan diri dari kesedihan-kesedihan yang menimpa. Walhasil, Nabi bangkit dan ia banyak menemukan pelajaran penting dari peristiwa takjub yang terjadi waktu mikraj itu.

Advertisements

Tak berhenti di situ, para pengikut Rasulullah juga bangkit dari keterpurukan. Mereka di/dari Mekkah dengan sesegara mungkin mengemas diri untuk berhijrah ke Madinah. Dengan kemauan dan tekad yang membara serta membaja, mereka menginginkan kehidupannya lepas dari ketertindasan yang merenggut jalan hidupnya.

Sebuah Refleksi

Dinamika masa itu hampir sama dengan kehidupan kita hari ini. Kita berharap segala kesedihan, keterpurukan, ketertindasan, dan masalah-masalah yang mengitari kita lekas punah dan beralih pada kesempurnaan hidup. Keterasingan pada fakta yang membahagian adalah makanan hari-hari. Kita terbiasa melihat gemerlap lampu, busana, mobil, rumah, dan kemewahan-kemewahan lainnya yang dipakai oleh orang atau pejabat tinggi. Tetapi dalam kehidupan kita, itu hanyalah fakta yang asing.

Ironisnya, kita kembali tidak mengenali asal kita: manusia. Di era masyarakat modern yang menganut paham permisivisme, ultraliberal, dan semacamnya, kita kehilangan kemanusiaan. Saling tusuk, saling hantam, saling tikam dan saling jarah sudah menjadi fenomena harian. Dan itu yang kini malah dijunjung dan dipertebal. Apalagi, diperburuk oleh Generasi Sandwich dan politisi yang tidak mau berpikir bagaimana mengakhiri, paling tidak memperkecil, tetapi malah menambah persoalan menjadi guram.

Kehidupan-kehidupan normatif kini makin membuncah. Sayangnya itu juga berimplikasi negatif pada perilaku kehidupan kita sekarang, bahkan nantinya terhadap generasi selanjutnya. Sebenarnya, kalau dilihat azbab an-nuzulnya, fenomena itu juga pernah terjadi kepada masyarakat pra-Islam, sebelum Nabi Muhammad SAW diperintah menjalankan misi profetiknya sebagai nabiyullah. Di mana, masyarakat masa itu tidak mengenali batas-betas menjadi manusia seutuhnya.

Orbit keserakahan tumbuh dan bahkan telah menjadi kangker yang saling menjangkiti bangsa. Bahasa sekarang telah menjadi political commodity. Seperti sikap arogan, anarkis, radikal, amoral, antikejujuran bercokol dalam tubuh bangsa Ini. Itu sama dengan kata Marciano Vidal, di mana demoralisasi individual menjadi bukti bahkan tambah meningkat, kemudian kejahatan moral dan kondisi masyarakat yang kian tak peduli dengan moral, dan tetapi pada pikiran dan sikap paling radikal membentang di hadapan kita.

Momentum Isra Mikraj

Pada momentum Isra Mikraj ini, sesungguhnya tepat untuk membersihkan sifat-sikap  demoral dan radikalis di atas. Mikraj harus diartikan sebagai langkah kongkrit untuk memikrajkan hakikat kehidupan kita menjadi lebih baik. Seperti Mikrajnya Nabi, ia bukan saja untuk meningkatkan spiritualitas keimanan, melainkan juga sebagai orientasi terjalinnya dialog atau kontak suci di antara sesama manusia.

Maksud saya, kontak suci tersebut adalah perilaku yang menghasilkan kebaikan pada sesama. Saling bertanggung jawab atas kehidupan publik, tidak saling tusuk dan saling mendominasi, tetapi menjadi pengaman publik. Di sini, harus ada nilai-nilai kemanusiaan di setiap derap langkah kita sebagai makhluk yang hidup di bumi, dengan meniscayakan kenyamanan-kedamaian.

Kamanusiaan hanya bisa berjalan jika diorientasikan kepada Tuhan dan juga kepada manusia itu sendiri. Sungguh tidak masuk akal jika di antara keduanya hilang dan saling mencederai. Seperti perilaku teroris, di mana semuanya ingin dihibahkan kepada Tuhan. Tetapi, pada saat yang sama, kepada manusia saudaranya sendiri ia sangat beringas. Apa yang terjadi di sana adalah jalan religius yang fatal, yang membahayakan, bahkan mengancam. Jalan religius sesungguhnya adalah jalan yang mewujudkan the human right atau kedamaian kepada sesamanya (Maksun, 2019).

Dengan kata lain, Isra Mikraj ini tidak melulu mengingat pada spektrum Ilahi, tetapi juga harus mengingat pada spektrum kemanusiaan. Secara metafisis keduanya harus menyatu dalam sebuah kesadaran batin, sehingga dalam perilaku keilahian dan kesehariannya menjadi sesuai dengan norma Ilahi. Dengan bahasa lain, gerakan keimanan harus berdiri pada satu gerakan: gerakan keilahian sekaligus gerakan kemanusiaan.

Jika itu bisa dilakukan, maka sifat-sikap demoral-radikalis, perasaan pesimistis, perilaku koruptif akan hilang. Tetapi perilaku di atas akan memberi kekuatan di hati semua orang. Isra Mikraj senantiasi menjadi orbit momentum pada diri dalam memikrajkan perilaku kita sebagai Muslim.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan