Islam yang Berkebudayaan

707 kali dibaca

Berbagai aliran dan paham dalam Islam marak di Indonesia. Dan seringkali kelompok-kelompok tertentu menempatkan diri sebagai yang paling Islam sendiri. Hal itu bisa dilihat dari sikap mereka. Siapa pun yang berbeda dengan mereka dan tidak memiliki pemahaman yang sama, maka dipastikan akan dicap keluar dari Islam, dalam istilah lain murtad atau kafir.

Hal demikian bisa begitu cepat dan pesat berkembang di Indonesia bisa jadi dikarenakan secara sosio-kultur masyarakatnya memang begitu heterogen. Dalam pandangan paham tertentu, kebudayaan menjadi suatu yang acapkali disebut bukan bagian dari syariat Islam. Karena, bagi mereka, sesuatu yang lahir di tanah Arab, walaupun itu budaya, mereka anggap itu semua sesuatu yang harus dibawa ke tanah airnya. Sampai mereka lupa, bahwa negaranya mempunyai tipologi atau karakter budaya sendiri.

Advertisements

Paham semacam itu bisa dijumpai di kalangan-kalangan yang menganut Wahabisme-Salafisme. Sebelum dijelaskan, sedikit saya akan mengenalkan kepada para pembaca, siapa Wahabi-Salafi? Dalam literatur yang pernah saya baca (Buku Pintar Wahabi dan Salafi), di sana dijelaskan bahwa Wahabi dan Salafi memiliki paham dan gerakan yang sama dalam memandang ajaran Islam.

Keduanya berkeinginan adanya pemurnian Islam dengan kembali pada Al-Qur’an dan Hadis. Istilah salafi memang muncul belakangan, sekitar tahun 1980-an yang dipopulerkan oleh Nashiruddin Al-Bani. Karena Al-Bani mengungkapkan istilah wahabi terlalu mengkultuskan nama seseorang, yakni Muhammad bin Abdul Wahab.

Salah satu yang menjadi karakter cara pandang Islam kelompok tersebut, ialah tidak menginginkan adanya sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadis. Berbeda dengan Ahlussunnah wal Jamaah pada umumnya yang juga berkembang di Indonesia. Selain Al-Qur’an dan Hadis, masih ada Ijma dan Qiyas. Sehingga, Wahabi memandang sumber hukum dengan sangat tekstualis; apabila tidak ada di keduanya, maka paling tidak yang dilakukan kelompok lain akan dianggap sebagai bidah, lebih parahnya lagi murtad.

Islam dan Budaya

Perlu diketahui Islam bukanlah agama simbolitas dan dogma belaka. Jadi, apabila ada yang beranggapan Islam terpusat pada simbolitasme, pakaian, misalnya, maka cara pandang seperti itu, sangatlah begitu dangkal. Sebab, jika Islam hanya dimaknai demikian, maka kembali di awal tadi, budaya seperti yang ada di Arab Saudi menjadi sesuatu yang wajib kita ikuti, padahal tidak.

Islam begitu sangat dinamis dan adaptif berdasarkan waktu dan zaman. Bukan hanya terkekang dalam simbolitas belaka. Indonesia mempunyai tipologi tersendiri dalam ber-islam, yakni dengan memadukan ajaran Islam dan budaya. Artinya, mempertahankan kebiasaan lama yang baik dan menerima kebiasaan baru yang lebih baik. Semua itu dapat dipadukan dengan indah berdasarkan kebudayaan kita.

Karena proses masuknya Islam ke Indonesia, salah satunya berdasarkan budaya, sebagaimana dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Model dakwah yang dibawakannya dengan menciptakan wayang kulit dan syair. Keduanya sangat mempunyai relevansi bagi orang di Indonesia, sebab masyarakat Indonesia kaya akan budaya.

Jadi, walaupan Islam datang dari Arab, bukan berarti kita harus mengadopsi segalanya, secara spesifik misalnya soal budaya. Hal demikian bisa diaktualisasikan dengan cara pandang Islam yang tidak hanya terjerat dalam identitas dan simbolitas. Maka perlu, sebagaimana yang dikatakan Gus Dur, ialah pribumisasi Islam, dalam terjamahan Nahdlatul Ulama (NU) adalah Islam Nusantara.

NU memang sempat manuai stigma negatif terkait adanya Islam Nusantara. Padahal itu bukan ajaran dan paham Islam, apalagi teologi baru. Itu hanya bagian dari tipologi Islam yang ada di Indonesia, dengan memadukan Islam dan budaya, bukan malah sebaliknya, dianggap ajaran dan paham baru.

Karena yang terpenting dalam Islam, setidaknya kita sudah tahu dalam membedakan mana yang bagian syariat dan mana yang fikih. Dengan begitu tidak gampang menjustifikasi orang salah. Bisa jadi keduanya tidak proposional, disebabkan tidak paham. Imbasnya menjadi gegeran. Contohnya adanya Islam Nusantara yang barangkali dipandang itu bagian syariat.

Islam yang Berkebangsaan

Menerjemahkan Islam rahmatal lil alamin memang hal yang mudah, tinggal ambil Al-Qur’an dan temukan artinya. Tapi yang saya maksud bukan arti secara tekstual. Namun secara implementatif sebagai muslim. Sebab saya katakan demikan, masih cukup banyak orang yang melabelisasi dirinya Islam, tapi tidak mencerminkan Islam itu sendiri.

Dapat dilihat secara sederhana orang-orang yang mengaku paling Islam dalam menyikapi suatu persoalan keagamaan. Apakah benar Islam tampil dengan wajah seperti yang mereka lakukan dan contohkan? Tentu ini tidak mudah menyaringnya, sebab ini menyangkut persoalan yang erat hubungannya dengan sumber hukum Islam.

Minimalnya ada beberapa indikator yang dapat kita lihat dari karakter ber-islam mereka. Pertama, suka mengkafirkan orang yang berbeda dengan pahamnya. Kedua, selalu membidahkan kebiasaan atau budaya baru. Ketiga, Pancasila dianggap toghut ( menyembah selain Allah). Semuanya itu mencitrakan implementasi hukum Islam hanya secara tekstual, lagi-lagi tak berijtihad dalam persolan fikih. Sehingga gampang mengambil sikap yang mereka anggap benar.

Padahal Islam tidak demikian, yang sedikit-sedikit kafir dan bidah. Jika terus begitu, bagaimana bisa menghadirkan wajah Islam yang damai dan indah. Jika ketenteraman itu sendiri diusik dengan perilaku yang tidak islamis. Oleh karenanya, perlu kemudian menelaah kembali dan belajar kepada ahlinya dalam ber-islam, agar tidak terdoktrinasi pada keterbatasan tekstual dalam menyajikan hukum.

Memang benar, wajah Islam bisa dilihat dengan siapa kita belajar agama Islam. Pintu atau proses keberislaman menentukan pola dan karakter dari seseorang dalam beragama. Jika awalnya sudah masuk dalam ruang jihadis, maka sangatlah berbahaya. Karena ia tidak mengenal ukhuwah wathaniyah (saudara sebangsa dan satu tanah air). Bagi mereka nasionalisme tidak ada. Apalagi hidup berdampingan dengan nonmuslim. Mereka menganggap golongan tersebut wajib disingkirkan karena dianggap berada dalam jalan yang sesat. Padahal hidup di Indonesia yang berasaskan Pancasila sah-sah saja dalam perbedaan agama, ras, suku, dan bahasa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan