Islam Radikalis vis-à-vis Islam Rahmatal Lil ‘Alamin

880 kali dibaca

Dalam tataran masyarakat akar-rumput, perbedaan agama menjadi hal bersifat aib, tabu, sekaligus rawan. Pasalnya, perbedaan ini lalu mengarah kepada kebencian yang berakibat perpecahan bangsa. Apalagi bagi kaum-kaum Islam radikalis-tekstualis, boro-boro beda agama, lha wong beda mazhab atau pemahaman Islam saja dikatakan kafir. Jika sudah dicap kafir, kemudian dinyatakan sebagai musuh Islam sehingga boleh dibunuh. Halal darahnya.

Mereka seringkali membawa-bawa nama Tuhan dalam setiap aksinya. Padahal, aksi mereka itu jelas-jelas bertentangan dengan apa yang Tuhan ajarkan. Misalnya dengan seabrek terorisme yang menimpa negeri ini, seperti aksi bom Bali, bom Sarinah, ataupun dengan aksi perusakan tempat-tempat ibadah agama lain. Padahal jelas-jelas Islam mengharamkan semua perbuatan yang melukai kemanusiaan.

Advertisements

Kebencian dengan membawa-bawa nama Tuhan, memang sulit diobati. Mereka akan tetap ngeyel walau sudah berkali-kali diberi argumentasi yang shohih dan shorih. Jatuhnya ialah mencelakai agama itu sendiri.

Agama Islam oleh beberapa orang, lalu dianggap sebagai agama yang mengajarkan kekerasan dan anti kedamaian. Barangkali, inilah yang membuat semakin merebaknya islamofobia. Seperti candaannya seorang teman, bahwa dulu kumandang takbir menggetarkan hati dan mengharukan, saat ini teriakan takbir justru mengundang hawa ketakutan. Sebabnya, lafal takbir sering dibarengi dengan penggerebekan dan aksi massa oleh kaum-kaum Islam radikalis, sembari membawa pentungan, untuk melawan pihak-pihak yang tidak setuju dengan mereka.

Kaum Islam radikalis, sejatinya disinyalir memiliki cara pandang yang kaku dalam segala hal. Intinya, jika segala sesuatu—entah budaya, ekonomi, politik, dll—tidak sesuai dengan apa yang mereka pahami, akan dicap sebagai kafir-dosa yang pada hilirnya, mereka akan memusuhinya dan membolehkan, bahkan mewajibkannya untuk menumpas hal-hal tersebut dengan segala cara, sekalipun dengan kekerasan.

Mereka memaknai Islam secara laterlek, persis dengan harfiah yang Al-Quran ataupun Hadis katakan. Padahal, sudah masyhur dan disepakati oleh para ulama bahwa dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran, harus melibatkan banyak hal, misal maqashid syariah-nya, asbabun nuzul, asbabul wurut, mantiq, konteks masyarakat ketika diturunkannya Al-Quran ataupun Hadis, nasakh mansukh, dan seabrek keilmuan lainnya.

Ini semua bukan lain, agar mendapatkan pemahaman yang benar, utuh, dan kontekstual dengan zaman. Sebab jika Islam dimaknai secara laterlek saja, maka tidak akan bisa akrab dengan perkembangan zaman. Islam tidak akan mampu menjadi rahmatal lil ‘alamin. Islam tidak akan sholih likulli zaman wa makan.

Berbeda dengan Islam radikalis-tekstualis, Islam yang diwarisi oleh Nahdlatul Ulama (NU) adalah Islam yang moderat, baik dari segi politik, sosial, maupun budaya. Apa yang NU bawa merupakan khazanah lawas yang telah diajarkan oleh para ulama yang sanadnya muttashil sampai Nabi Muhammad SAW.

NU mampu dalam menerjemahkan Islam dalam konteks masyarakat, sehingga Islam datang ke Nusantara bukan meng-arabkan, tapi meng-islamkan. NU mampu membuka ruang-ruang diskusi yang lalu menciptakan akulturasi budaya Islam yang mapan. Apalagi, dengan budaya yang semakin kuat, akan menjadikan jamaah semakin solid yang lalu mengantarkan dalam barisan satu pemahaman dan tidak mudah pecah belan serta diadu domba.

Sekira budaya yang bertentangan dengan Islam dihilangkan, budaya-budaya yang tidak bertentangan tetap dilestarikan, alhasil, datangnya Islam di Nusantara tidak mengubah dan merampas jati diri bangsa, malahan semakin memperkayanya. Prinsip-prinsip seperti itu yang sampai saat ini NU pegang. Tercermin pula dalam kaidah fikih yang menjadi pedoman kiai-kiai NU, “Al-Mukhafadzu ‘ala Qadim as-Sholih, wal Akhdu ‘ala Jadid al-Ashlah,” yang artinya tetap menjaga budaya lama yang baik serta menerima dan membuka terhadap budaya baru yang baik pula.

Output yang dikeluarkan jelas! Yaitu menjadi Muslim yang memiliki keteguhan iman dan dapat menghormati sesama. Tidak pernah sekalipun terdengar kiai-kiai NU mencela pemeluk agama lain hanya gara-gara beda agama. Bahkan, NU juga berperan aktif dalam menjaga kedamaian antarumat beragama. Tidak hanya melalui seremonial dialog saja, melainkan terjun langsung ke lapangan. Misalnya ketika ada perayaan hari raya agama lain, NU dengan Banser-nya turut mengamankan agar acara tersebut berjalan lancar dan aman.

Memberikan kelonggaran beribadah kepada umat agama lain adalah suatu hal yang mutlak. Analoginya, jika umat Islam tidak ingin diganggu ibadahnya oleh umat agama lain, maka jangan sekali-kali mengganggu umat agama lain dalam beribadah. Jika tidak ingin dicaci, maka jangan mencaci. Apalagi, Islam membawa misi rahmatal lil ‘alamin. Yang memberikan kasih sayang dan rahmat bagi seluruh alam semesta. Nah, membangun kerukunan beragama termasuk salah satu dari sisi-sisi rahmatnya Islam. Iman-iman seperti ini yang akan terus NU pegang, bahwa menjaga perdamaian dan kerukunan umat beragama, sama wajibnya dengan menjalankan syariat-syariat pokok Islam lainnya.

Pun demikian dengan Pancasila yang menjadi dasar dari titik temunya semua pemeluk agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia, akan terus dirawat dan dipertahankan. Jika Pancasila menjadi kunci dalam perdamaian dan kerukunan umat beragama, maka menjadi haram untuk dirusak ataupun diganti dengan ideologi lain. Dengan menghilangkan Pancasila, maka sama halnya dengan mengundang kebencian dan peperangan antar pemeluk agama, sedangkan peperangan dan permusuhan sendiri sangatlah dibenci Islam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan