Islam Laku Versus Islam Identitas

681 kali dibaca

Beberapa kali saya membaca tulisan yang berseliweran di dinding atau beranda Facebook terlihat para pengkaji, pemangku, dan pemerhati wacana agama masih sering menggunakan istilah Islam sebagai agama formal. Islam masih dipandang sebagai identitas seseorang, identitas keberagamaan.

Pertanyaan yang muncul sering berbunyi: agamanya apa?

Advertisements

Coba dilihat ulang hadis Nabi terkait definisi agama. Hadis yang bercerita tentang kedatangan Jibril kemudian berdialog bersama Nabi dengan maksud mengajari agama kepada sahabat-sahabat.

Di akhir dialog, Nabi melemparkan pertanyaan kepada sahabat: “Tahukah kalian siapa tadi yang datang?”

“Tidak, wahai Nabi,” kompak para sahabat menjawab.

“Itu tadi Jibril yang datang kepada kalian mengajarkan agama kepada kalian,” kata Nabi.

Apa saja yang diajarkan Jibril? Sudah mafhum bahwa yang diajarkan Jibril ada tiga hal mendasar tentang agama; Islam, Iman, dan Ihsan. Lalu, apa yang baru?

Definisi Islam yang sering diutarakan para pakar, pemerhati, bahkan pemangku agama Islam adalah definisi ini: agama adalah yang diikrarkan oleh lisan, dibenarkan oleh hati, dan dibuktikan dengan pengamalan organ tubuh. Kecenderungan mengakui Islam sebagai agama formal barangkali didasari atas definisi ini. Coba dibaca ulang jawaban Nabi ketika Jibril bertanya perihal Islam.

“Wahai Nabi, katakan padaku, apa itu Islam?” tanya Malaikat Jibril.

“Kamu menyaksikan bahwa tiada tiada Tuhan selain Allah dan kamu menyaksikan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Format yang digunakan dalam hadis ini menggunakan fi’il mudhori, redaksinya berbunyi an tasyhada, artinya menyaksikan. Salah satu faedah dari fi’il mudhori adalah temporal, bermakna sekarang dan yang akan datang, lawannya statis. Ada pula hadis yang menggunakan redaksi mashdar (kata benda). Redaksinya berbunyi syahaadatu, artinya kesaksian.

Hadis pertama dengan redaksi fi’il mudhori diriwayatkan oleh Sahabat Umar. Sedangkan, hadis yang kedua diriwayatkan putranya, Ibnu Umar. Dilihat dari kedekatan jalur periwayatan saja, Sahabat Umar jelas lebih dekat.

Selain itu, perbedaan tajam antara makna menyaksikan dan kesaksian menjadi problem tersendiri. Menyaksikan punya implikasi dan implementasi terus menerus, sedangkan kesaksian bersifat sesaat dan kesementaraan sekaligus formalistik.

Melalui redaksi menyaksikan, seseorang dituntut sekaligus ditantang. Seseorang yang sudah mengucapkan syahadat, harus selalu menyaksikan Allah dalam setiap ruang dan waktu. Menyadari kehadiran Allah dalam segala aktivitas kehidupan maupun aktivitas diri. Tantangannya, apakah kesadaran seseorang benar-benar berisi atau tertuju pada Allah, bahwa Allah benar-benar hadir dalam keberlangsungan aktivitasnya atau masih tertutup oleh banyak hal, baik berupa hal tertinggi ataupun hal remeh-temeh. Uang, jabatan, pujian, kemasyhuran, kemampuan diri, kepintaran, apakah sudah benar-benar tidak menyelubungi kehadiran Allah? Apakah kesadaran kehadiran Allah benar-benar mengatasi semua hal demikian?

Ilustrasinya sederhana. Ketika aku melihat Ibnu Umar, yang kulihat adalah Umar. Ketika aku melihat Umar, aku lupa Ibnu Umar. Dipraktikkan dalam keseharian yang dilihat, ketika aku melihat uang, yang terlihat Allah; ketika aku melihat atau mengingat Allah, aku lupa uang. Sedemikian mudah ilustrasinya, tapi belum tentu mudah mengamalkannya.

Definisi inilah yang perlu ditawarkan kepada pemeluk agama. Ketika seseorang masih menomorsatukan selain Allah, maka akan berkurang syahadatnya.

Islam dalam konteks ini dipahami sebagai laku, bukan sebagai identitas. Artinya, dalam menjalani kehidupan di dunia, dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari, digunakan metode Islam, yakni menyaksikan Allah dalam segala aktivitas dan kesadaran. Allah sebagai subyek utama dalam segala dimensi kehidupan. Itulah mengapa istilah sufi menggunakan “nuansa keilahian” sebagai gambaran bahwa Allah subyek utama. Seseorang selalu merasa diliputi Allah.

Selain menyaksikan, Islam secara bahasa dimaknai sebagai penyerahan. Ada yang unik dari makna ini. Seakan-akan seseorang harus menyerahkan dirinya secara total kepada Allah. Penyerahan sendiri menuntut adanya pengenalan. Si fulan tidak akan bisa menyerahkan barang berharganya kepada sembarang orang, paling tidak dia harus kenal dengan orang yang akan diserahi. Mengenal artinya mengetahui betul bahwa sesorang itu dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan amanah.

Dua makna ini bekerja secara dialektis. Penyerahan diri baru bisa dilakukan kalau ada penyaksian. Seandainya kita tidak pernah menyaksikan orang yang akan diserahi barang, tentu kita tidak akan menyerahkan barang kita kepada orang yang tak pernah kita tahu dan kenal. Menyaksikan sendiri mangandaikan penglihatan secara langsung.

Namun, kita tidak mungkin menyaksikan secara langsung dengan kasat mata, menyaksikan secara zahir kehadiran Allah. Tentu, maknanya secara batin. Sebuah abstraksi.

Sekali lagi, Islam dalam konteks ini, dan penting kiranya dipertimbangkan ulang untuk proses beragama kita, bukanlah agama formal atau institusional yang mengarah ke identitas seseorang, melainkan sebuah laku, metode, praktik menjalani kehidupan di dunia. Cita-citanya, kita berhasil dan sukses menjalani peran kita sebagai makhluk Allah yang diturunkan di muka bumi. Sebagaimana konsep awal penciptaan, perjanjian awal di alam ruh, alastu birabbikum qaaluu balaa syahidnaa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan