Islam dan Kesehatan Mental (2): Menciptakan Orientasi Kehidupan

898 kali dibaca

Narasi tentang masa depan yang disampaikan Allah melalui Al-Quran amat mengagumkan. Bagaimana tidak, manusia berusaha menciptakan imajinasi tentang kehidupan yang damai, tentram, dan penuh cinta kasih dalam karya-karya sastra, meski karya sastra tidak hanya berisi demikian, namun kreativitas manusia dalam menciptakan dunia yang damai, tentram, penuh cinta kasih bisa ditangkap sebagai keinginan manusia menjalani kehidupan dengan indah.

Al-Quran menciptakan kisah lebih indah tentang kehidupan penuh kedamaian, ketentraman, dan penuh cinta kasih itu. Kehidupan masa depan setelah dunia ini dinamakan kehidupan akhirat, kehidupan yang didambakan umat nabi Muhammad. Saking berharganya kehidupan akhirat, manusia berusaha sekuat tenaga memantaskan diri supaya layak menghuni kehidupan akhirat.

Advertisements

Ada dua tempat dalam kehidupan akhirat; surga dan neraka. Keduanya sebagai simbol laku manusia selama di dunia. Keduanya tidak lebih hanya sebuah tempat. Surga dikisahkan sebagai tempat indah; sungai-sungai susu mengalir, pohon-pohon rindang penuh buah dan tempat pemenuhan segala ingin. Neraka dikisahkan sebaliknya, tempat mengerikan; siksa atas segala dosa.

Sebegitu pentingnya kehidupan yang akan datang, sampai-sampai Allah menfirmankan agar manusia tak putus asa, bagaimana pun keadaannya di dunia; andai kata seorang berada di titik terendah; punggung memanggul banyak masalah, tak dipercaya orang lain, dikucilkan, dihinakan, dilecehkan, tak ada yang peduli, merasa menanggung semuanya sendiri, merasa tak berdaya, tetap saja tak boleh putus asa, mengapa?

Semuanya bukan orientasi kehidupan, bukan dambaan. Ia masih punya kehidupan akhirat, masih punya kesempatan mendapat kehidupan yang layak, kehidupan yang indah dan bahagia. Bahkan meski harus di neraka. Kok, bisa?

Ada banyak kisah bagaimana kehidupan neraka tidak menjadi mengerikan dan menakutkan. Sekali lagi, itu hanya tempat. Kehidupan akhirat yang dituju adalah Allah. Perjumpaan dengan Sang Kekasih, Maha Mengasihi.

Bisakah di neraka berjumpa Allah? Pertanyaan sebaliknya, apakah neraka menghalangi manusia mengakui dan mengesakan Allah? Tidak sama sekali. Urusannya bukan ditempatkan di mana, melainkan siapa Tuhannya. Ia masih bisa berzikir kepada Allah, mensyukuri segala keputusannya. Aksentuasinya iman bukan tempat. Bahwa manusia punya Tuhan yang Maha Tahu segalanya.

Toh, dengan amat sayang Allah menanyakan kepada hambanya itu, “Mengapa engkau tetap berzikir kepadaku selama di neraka?” Si hamba menjawab dengan penuh cinta, “Aku bersyukur punya Tuhan yang Maha Mengetahui. Tempat mana yang layak buat hamba. Tidak peduli saya diletakan di neraka. Saya tetap meyakini Engkau Tuhan hamba satu-satunya.” Allah tidak mau kalah, membalasnya dengan gembira, “Kalau begitu, kamu berzikir saja di surga.”

Mental hygiene yang diartikan sebagai kesehatan mental adalah seperangkat prinsip-prinsip, peraturan-peraturan, dan prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dalam hati dan ruhani merasa aman, tenang, dan tentram. Hubungannya semakin jelas, iman urusan satu-satunya dengan batin, hati, dan ruhani. Menegasikan apa dan siapa saja selain Allah lingkupnya dalam hati, nantinya teraktualisasi menjadi prinsip dan laku. Bukankah bayangan dosa senantiasa mengikuti setiap langkah kaki pergi? Ya. Narasi tentang siksa atas dosa-dosa memang ada, tapi tak kalah juga narasi tentang pemaafan atau pengampunan, dan siksa hanyalah prosesi pemaafan dan pengampunan itu.

Allah mandahulukan rahmat dan kasih sayangnya dibanding kemarahannya. Manusia memang dikepung tiga dimensi kehidupan; masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Dosa seringkali bersemayam di masa lalu dan masa sekarang. Artinya, masih punya masa yang akan datang bukan? Lalu kenapa buru-buru menyudahi? Harapan masih bisa disemai, dipupuk dan mekar, dan semua ada di masa depan. Allah tahu dan masih menunggu. Manusia masih bisa memperbaiki.

Masa lalu sebagai cermin, masa sekarang sebagai ruang kontemplatif; memetakan mana prinsip primer, prinsip sekunder, dan prinsip tersier. Apa saja yang keliru di masa lalu dianalisa di masa sekarang. Masa depan sebagai harapan setelah usai memetakan mana yang perlu diperbaiki, dibenahi. Menentukan orientasi paling utama dan paling penting dalam menjalani kehidupan di dunia. Meninggalkan dan bila perlu membuang sesuatu yang tidak penting sama sekali, bahkan hina. Seperti harapan kepada manusia, kepada benda-benda. Memegang erat dan mempertahankan mati-matian keyakinan kepada Allah dan Nabi Muhammad saw: Asal engkau tidak marah kepada hamba, ya Allah, aku tidak peduli kepada apa dan siapa saja.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan