Internet: Ancaman Terorisme dan Propaganda Politik

234 kali dibaca

Internet telah menciptakan suatu realitas kehidupan yang tampaknya tak terpisahkan dari manusia pada zaman ini, mengubah konsep jarak dan waktu menjadi sesuatu yang tidak terbatas. Melalui medium internet, manusia dapat menjalankan berbagai aktivitas yang sulit dilakukan di dunia nyata karena terkendala oleh batasan jarak. Ini memberikan kemudahan dan kepraktisan dalam setiap kegiatan.

Fungsi media internet kini sangat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka. Dalam perkembangannya, media interaksi komunikasi sosial, seperti media sosial, menjadi sarana utama untuk berkomunikasi di dunia maya. Media sosial dan blog menjadi bentuk umum dari media sosial yang digunakan oleh masyarakat di berbagai belahan dunia.

Advertisements

Namun, perlu diakui bahwa internet dan media sosial tidak hanya dimanfaatkan sebagai alat penyebaran informasi dan berkomunikasi oleh masyarakat. Mereka juga dapat dijadikan sarana oleh pelaku terorisme untuk menyebarkan propaganda paham radikal dan melancarkan tindakan terorisme yang dapat mengganggu ketentraman masyarakat.

Langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi ancaman terorisme telah memaksa para pelaku teror untuk dinamis dalam mengubah strategi mereka. Radikalisasi yang awalnya dilakukan melalui pertemuan tatap muka dan kontak fisik secara offline kini beralih ke penggunaan teknologi internet secara daring.

Dalam konteks politik saat ini, peran internet dan media sosial menjadi sangat signifikan dan sering dimanfaatkan sebagai alat propaganda serta penyebaran ideologi terorisme melalui disinformasi politik. Keadaan ini menjadi sangat berbahaya dan dapat berdampak pada stabilitas keamanan negara. Masyarakat bisa terprovokasi dan bahkan terjerumus ke dalam paham radikal yang lebih dalam sebagai hasil dari pengaruh ini.

Manipulasi Politik dan Radikalisme

Penyalahgunaan internet semakin meningkat, terutama melalui penyebaran propaganda dan disinformasi politik, mengingat saat ini merupakan periode politik yang intens. Irfan Idris, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menyatakan bahwa konten radikalisme dalam media sosial memiliki tiga ciri utama, yaitu mengajarkan puritanisme, menunjukkan antipati terhadap sistem negara, dan menyuarakan intoleransi..

Contohnya adalah akun Instagram @wienamakhanza, yang menjadi pengikut akun Salafi @onewaymuslim. Akun tersebut memposting foto hitam putih Cawapres Mahfud MD dengan tulisan “KUHP baru tak larang LGBT, Mahfud: Itu kodrat tidak bisa dilarang“. Postingan serupa juga disebarluaskan melalui berbagai grup WhatsApp dan Telegram yang dimiliki oleh kelompok teroris.

Selain itu, terdapat narasi lain yang menyoroti calon presiden Anies Bawedan, menampilkan potongan wawancara masa lalu yang diolah untuk menekankan pembahasan terkait kekhilafahan. Ada juga postingan yang mengklaim bahwa Ganjar Pranowo mengakui suka menonton film porno sejak kecil, dengan foto yang menampilkan dirinya di sebuah acara podcast artis ternama. Semua ini menciptakan lingkungan online yang rentan terhadap manipulasi informasi dan pengaruh ekstremisme.

Kelompok Jamaah Islamiyah terlihat lebih terbuka dalam menyebarkan meme di media sosial mereka, namun perlu dicatat bahwa mayoritas kontennya merupakan hasil dari kelompok radikal. Masyarakat umum sering menjadi korban disinformasi dan misinformasi terkait konten yang disebarluaskan oleh kelompok tersebut.

Sementara kelompok teroris yang berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) secara konsisten menolak terjun ke dalam politik. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha memanfaatkan Pemilu untuk mendukung agenda politik mereka dalam mewujudkan negara khilafah. Strategi mereka melibatkan provokasi di media sosial dengan potensi kekerasan dan perencanaan serangan.

Dengan demikian, meskipun kecil kemungkinan bahwa kelompok yang berbaiat pada ISIS akan secara langsung mencoblos atau menjadi simpatisan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu, tujuan utama mereka adalah melakukan provokasi dan memanipulasi opini masyarakat untuk menciptakan kegaduhan melalui konflik baik vertikal maupun horizontal.

Mengatasi Propaganda di Era Digital

Saat ini, situasi nasional dan dinamika terorisme menuntut adanya payung hukum yang lebih komprehensif. Definisi terorisme tidak hanya mencakup serangan teroris dan pendanaan semata, melainkan juga merangkul aspek propaganda dan perekrutan teroris yang memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan organisasi teroris.

Propaganda terorisme bisa melibatkan penyebaran kebencian, promosi tindakan kekerasan, serta dukungan terhadap radikalisasi, penghasutan, dan aksi kekerasan. Untuk mengatasi hal ini, perlu penguatan ketentuan hukum terkait penyebaran kebencian, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meskipun demikian, perlu diakui bahwa penerapan UU ITE sebagai regulasi khusus memiliki ranah aturan yang berbeda.

Dalam konteks ini, perlu pertimbangan untuk mengembangkan regulasi yang lebih komprehensif guna menanggapi dinamika terorisme yang semakin kompleks, termasuk dalam hal penanganan propaganda dan perekrutan teroris di era informasi digital yang cepat. Hal ini akan memastikan adanya payung hukum yang memadai dan efektif dalam mengatasi berbagai aspek terorisme yang berkembang.

Terkait dengan jangka waktu penahanan dalam kepentingan penyidikan, perlu diperhatikan bahwa hal ini belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat, terutama karena melibatkan kegiatan penyadapan yang dianggap sebagai tindakan sensitif dan dapat menjadi pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, diperlukan pembentukan regulasi yang jelas mengenai legalitas penyadapan sesuai dengan ketentuan UUD 1945 untuk memastikan penggunaan wewenang ini sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

Dalam upaya pencegahan penyebaran propaganda ideologi terorisme melalui media internet, salah satu langkah yang dapat diambil adalah pemblokiran terhadap situs-situs di internet yang mengandung unsur propaganda terorisme. Penggunaan instrumen diseminasi kontra-narasi melalui situs web dan platform media juga dapat diimplementasikan dengan menyosialisasikan konten yang mengandung indikasi radikalisme sebagai upaya kontra-propaganda dan kontra-radikalisme.

Langkah-langkah ini dapat membantu menjaga keseimbangan antara keamanan nasional dan perlindungan HAM, sambil memberikan respons efektif terhadap penyebaran ideologi terorisme di era digital saat ini. Perlu dilakukan secara hati-hati dan proporsional untuk memastikan bahwa tindakan tersebut sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

Penutup

Penggunaan internet saat ini telah menjadi sarana yang marak dimanfaatkan untuk menyebarkan propaganda hingga disinformasi yang dapat mengarah kepada penyebaran ideologi radikal oleh kelompok terorisme. Situasi ini semakin meruncing seiring dengan maraknya informasi politik menjelang kontestasi Pemilu 2024 di Indonesia, di mana media menjadi akses utama untuk upaya penyesatan dan penyebaran ideologi radikal.

Perkembangan ini terus berlanjut karena regulasi dan penegakan hukum di Indonesia saat ini masih lebih fokus pada penindakan terhadap serangan teroris dan pendanaan terorisme. Celah terbuka terkait dengan penggunaan internet oleh kelompok radikal atau terorisme, terutama dalam konteks propaganda dan perekrutan anggota. Hingga saat ini, pelaku propaganda dan penyebaran ideologi radikal belum sepenuhnya dapat dijerat dengan aturan hukum terorisme yang ada.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan penanggulangan yang efektif terhadap penyebaran propaganda melalui kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan dengan fokus pada penyelesaian kendala teknis dalam penanggulangan pemanfaatan internet untuk kepentingan teroris. Upaya bersama ini dapat menciptakan lingkungan online yang lebih aman dan mencegah penyebaran ideologi radikal melalui media digital.

Selain itu, penting melibatkan elemen masyarakat, seperti tokoh masyarakat dan tokoh agama, untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan propaganda yang mengarah kepada disinformasi di tengah masyarakat.

Cara yang dapat diambil melibatkan mereka adalah dengan memberikan pemahaman terkait ideologi bangsa Indonesia dan pemahaman yang mendalam tentang agama secara positif. Dengan cara ini, masyarakat di lingkungan mereka dapat memahami nilai-nilai yang baik dan tidak terpengaruh oleh propaganda serta penyebaran ideologi teror menjelang Pemilu 2024 yang akan berlangsung bulan depan.

Peran aktif dari tokoh masyarakat dan tokoh agama dapat menjadi pilar penting dalam membangun pemahaman yang benar, mempromosikan kedamaian, serta melawan pengaruh negatif yang mungkin dihasilkan dari propaganda yang merugikan masyarakat dan keutuhan bangsa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan