Ilmu Sebagai Sarana, Bukan Tujuan

2,482 kali dibaca

Ilmu itu jangan dijadikan pajangan (ornamen), hiasan buku atau kitab. Ilmu itu harus diamalkan, dipraktikkan. (Kiai Mujib, Insani Pusat)

Ilmu dalam pembahasan tidak pernah kusam dan membosankan. Ilmu menjadi salah satu alat dalam menggoreskan pemikiran, penilitian, atau opini dan lain sebagainya. Ilmu juga sudah banyak terpublikasi di buku buku atau kitab kitab. Namun, dalam dunia akademik, adakalanya ilmu berhenti pada produktivitas ilmu dengan kredo “ ilmu untuk ilmu”, belum pada taraf “ilmu untuk amal”.

Advertisements

Dalam bentuk karya ilmiah, ilmu menjadi sebuah lentara dalam kehidupan, seperti halnya kitab sebagai hudan lil muttaqin, petunjuk untuk orang-orang yang bertakwa. Maka, masih perlu sebuah trobosan yang dapat membangunkan kesadaran kita untuk mendayagunakan ilmu sesuai dengan garis syariat Rasullah.

Perlu digarisbawahi bahwa syariah, secara bahasa berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang harus diikuti atau tempat lalu air di sungai, oleh para ahli didefinisikan segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak. Dengan demikian, syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Menurut Muhammad Syultut, syariah adalah hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya.

Dalam pembahasan ini kita perlu memahami ilmu yang menjadi sebuah bentuk titah Tuhan atas manusia, yang mana akan menjadi sebuah jalan menuju keselamatan yang sering disebut sebagai  صراط المستقيم.

Ilmu syariat akan menyinggung pada syariat Rasul yang akan terbagi atas tiga wilayah, yakni : Iman, Islam, dan Ikhsan. Pembagian ini menjadi dinamika ilmu yang luas dan bercabang luas. Jika dikaji dari segi prinsipnya akan mendalihkan  جلب المصالح ودرء المفاسد, yakni mendalihkan atas kemanfaatan dan menolak segala yang merugikan.

Namun, di era yang sudah canggih ini, ilmu menjadi barang yang murah. Penulis mengumpamakan sebuah berita yang selalu up date dan beredar luas di dunia maya. Tidak lagi pada sebuah lembaga atau instansi negara, cukup modal Android dan paket data, informasi atau berita dalam khazanah ilmu sudah didapatkan. Media ilmu dalam bentuk buku tidak lagi menjadi tolok ukur atas kemampuan pengetahuan seseorang.

Kembali pada pembahasan tentang ilmu yang menjadi tugas suci menimba atau mencarinya, dari segi proses pencarian ini memang tidak akan selesai. Maka menuntut ilmu menjadi keharusan setiap individu yang berakal hingga akhir hayatnya, dan juga ilmu yang menjadi sikap dan perbuatan. Ma’ruf Al Karkhi berkata:

إذا أراد الله بعبد خيرا فتح الله عليه باب العمل وأغلق عنه باب الجدل وإذا أراد بعبد شرا أغلق عليه باب العمل وفتح عليه باب الجدل

“Jika Allah menginginkan kejelekan pada seorang hamba, Dia akan menutup baginya pintu amal dan akan membuka baginya pintu jidal (suka berdebat).” (Hilyatul Auliya’, 8: 361).

Dalam pengaplikasian ilmu secara konsep telah jelas dan menjadi sebuah nilai tinggi. Yang dari hal tersebut ada kebaikan yang Allah berikan pada orang tersebut. Artinya, bertambahnya pengetahuan tidak hanya pada nilai kognitif semata, tetapi juga afektif dan juga psikomotorik, salah satu pembagian kelompok orang yang berilmu ter-cover dari tiga aspek tersebut:

Pertama, kaum cendikiawan/ilmuwan dari segi kapasitas dan profesionalitas atas pelbagai ilmu telah diakui hingga menciptakan karya/ilmu baru dalam dunia akademik. Dalam wilayahnya berputar pada dunia idea yang berlandaskan kognitivitas logik, serta berlandaskan “ilmu itu ilmu”.

Kedua, kaum negarawan yang darinya membentuk keteraturan sistem dan metode dalam melangsungkan proses dinamika urusan dari segala lini, baik ekonomi, pendidikan, politik, agama, maupun hubungan antarnegara dan lain sebagainya. Wilayah ini memerlukan kecakapan dan luasnya pengetahuan dan cepatnya informasi yang melandasinya.

Ketiga, kaum ulama/rijaluddin yang dari segi otoritasnya mendasarkan atas sebuah tugas suci dari sang pencipta dalam membimbing semua umat manusia. Di sini biasanya akan muncul pertanyaan: apa tujuan kita hidup? Bagaimana kehidupan setelah mati? Ulama dalam hal ini menyampaikan pesan suci kenabian dan mengantarkan umat manusia pada wilayah ma’rifatillah.

Ada maqolah yang melandasi atas pengaplikasian ilmu yang diungkapkan Abdul Wahid bin Zaid:

من عمل بما علم فتح الله له ما لا يعلم

“Barangsiapa mengamalkan ilmu yang telah ia pelajari, maka Allah akan membuka untuknya hal yang sebelumnya ia tidak tahu.” (Hilyatul Auliya’, 6: 163). Dalam konteks ini, Allah pemilik ilmu memberikan pemahaman baru atas seseorang yang menguji pengetahuannya dengan bentuk amaliyah. Hal ini seperti konsep ilmu dari segi ontologi, epistemologi, dan aksiologinya.

Kiai Mujib dalam menuntun umat muslim membimbing pemahaman dari segi kesadaran yang telah banyak orang tertidur atas hal tersebut. Ornamen ilmu bukan pada bertumpuknya buku di ruang tamu yang berjilid-jilid, akan tetapi maksud atas ilmu tersebut adalah pengamalannya. Semisal, seorang faqih yang lihai dalam mujadalah di setiap forum diskusi, tetapi bisa jadi dalam kehidupannya ia orang yang fasik. Atau orang yang ahli dalam tasawuf/filosofi, dengan gaya nuansa sufisme membahas dzat Allah dengan pemahaman dan jiwa yang mensucikan diri, namun tanpa adanya guru dan pembimbing yang  mengetahui hal sirri. Kondisi ini cocok dengan bunyi dalil: من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان (Barangsiapa tidak memiliki guru, maka gurunya adalah setan). (Tafsir Rûhul Bayân, 5/264). Di sinilah kaum mutasawwifin menjadi golongan yang lebih berbahaya dari orang-orang fasik dan zindik.

Kiai Mujib menilai buruk terhadap ilmu yang hanya menjadi pajangan karena akan melahirkan kesombongan. Penilaian ini senada dengan pendapat dari Malik bin Dinar:

من طلب العلم للعمل وفقه الله ومن طلب العلم لغير العمل يزداد بالعلم فخرا

“Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) untuk diamalkan, maka Allah akan terus memberi taufik padanya. Sedangkan, barangsiapa yang mencari ilmu bukan untuk diamalkan, maka ilmu itu hanya sebagai kebanggaan (kesombongan).” (Hilyatul Auliya’, 2: 378).

Kesombongan dan rasa tinggi hati ini menjadi dosa yang tidak terpikirkan, dan secara tidak langsung bertambahnya ilmu tidak akan menjadikan ia mendapatkan taufik, dan justru akan semakin jauh dari Allah SW. Hal ini seperti tergambar dalam ungkapan:

مَنِ ازْداَدَ عِلْماً وَلَمْ يَزْدَدْ هُدىً، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْداً

“Barangsiapa bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah petunjuknya, niscaya ia hanya semakin jauh dari Allah.”

Alhasil , ilmu yang hanya untuk pajangan dengan bertumpuknya buku dan kitab tidaklah menunjukkan kapabilitas keilmuan seseorang, sebab tidaklah cukup ilmu Allah hanya tertulis pada buku.

Di sinilah Islam yang mengantarkan umat manusia untuk membangun kesadaran atas maksud term ilmu, yakni hanyalah sebuah alat untuk tahu atau mengerti pada apa itu kebenaran, kabaikan, dan keindahan. Akan tetapi, apakah berhenti pada alat semata. Yang mana maksud dari alat adalah didayagunakan (diamalkan) untuk menuju atas maksud Alllah وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (saja).” (QS Adz-Dzaariyaat: 56).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan