Igauan Puitis Para Sahabat

601 kali dibaca

Nabi Musa a.s. diberi mukjizat tongkat yang bisa berubah menjadi ular raksasa. Juga bisa membelah lautan dengan hanya memukulkan tongkat tersebut ke air laut. Mukjizat tersebut sesuai dengan keadaan masyarakat yang saat itu gandrung dengan hal-hal berbau sihir.

Nabi Isa a.s. mampu menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Itu juga sesuai dengan kondisi kondisi masyarakat yang sedang berlomba-lomba menjadi nomor satu dalam ilmu kedokteran.

Advertisements

Artinya, Allah memberi mukjizat kepada utusan-Nya sesuai dengan kebutuhan. Karena mukjizat itu “melemahkan” maka, tidak bisa tidak, mukjizat tersebut menyesuaikan keadaan yang sedang berlangsung.

Begitu pula Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad diberi mukjizat berupa Al-Qur’an. Pada masa itu, orang yang pandai bersyair akan dihormati. Semakin pandai bersyair, maka akan semakin tinggi penghargaan orang terhadapnya. Oleh karena itulah Nabi Muhammad Saw diberi mukjizat sebuah kitab yang isinya memiliki nilai sastra tak tertandingi. Tak satu pun penyair pada saat itu mampu membuat syair seindah Al-Qur’an.

“Kehidupan puitis” pun mewarnai kehidupan para sahabatnya. Suatu ketika pernah terjadi wabah penyakit demam pada masa Rasulullah, yakni ketika Nabi datang ke Madinah. Banyak sahabat Nabi yang terserang penyakit tersebut. Namun, Rasulullah tetap sehat, tidak turut terkena serangan penyakit tersebut, karena Sang Utusan senantiasa berada dalam perlindungan Allah, kapan dan di mana pun.

Sementara itu, dua budak yang dibebaskan oleh Abu Bakar, yakni Bilal dan Amir bin Fuhaira, kebetulan sedang tinggal serumah dengan Abu Bakar. Ketiganya sama-sama terserang penyakit demam. Dewi Aisyah suatu ketika mendatangi mereka. Pertama-tama ia datangi ayahnya, lalu mencoba untuk menanyakan bagaimana keadaannya. Abu Bakar lalu berkata: 

Setiap orang mungkin akan mendapat
salam dari kerabat di pagi hari
Sementara kematian telah lebih dekat
dari tali sandalnya sendiri

Mendengar perkataan ayahnya itu, Dewi Aisyah berpikir mungkin ayahnya tidak sadar akan apa yang dikatakannya itu. Kemudian ia berpaling kepada Amir dan bertanya dengan pertanyaan serupa. Amir pun lalu berkata:

Aku mengalami kematian
sebelum aku benar merasakannya
Kematian sang pengecut datang
ketika dia sedang duduk
Setiap orang bertahan darinya
dengan seluruh daya upayanya
Seperti lembu jantan melindungi
tubuh dengan tanduknya

Dewi Aisyah sudah tentu dapat memaklumi situasinya. Ayahnya dan Amir sama-sama sedang dalam keadaan yang buruk, sehingga hal itu membuat keduanya bicara tanpa menyadari apa yang dibicarakannya. Sebelum Dewi Aisyah berpaling, Bilal yang terkulai lemah di pojok ruangan berkata: 

Apakah akan lagi aku
menghabiskan malam di Fasakh?
Dengan ramuan jamu dan
tumbuhan yang membaluriku?
Adakah esok pagi ketika
aku turun ke sumber air Majanna
Akankah aku lihat Shama dan Tafil lagi?

Hal tersebut oleh Dewi Aisyah dilaporkan kepada Rasulullah, dan Nabi menjawab persis seperti dugaannya. “Mereka bicara begitu karena tak sadar, karena suhu badan mereka yang sangat tinggi.”

Apa yang dikatakan oleh sahabat Abu Bakar, Bilal, dan Amir dalam keadaan tidak sadar tersebut terasa sangat puitis. Kalimat yang keluar secara spontan itu ternyata memang cocok dengan keadaan yang sedang mereka alami, dalam artian sudah mewakili perasaan mereka masing-masing. Lalu, seolah-olah dengan itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa bersyair atau membuat puisi sebenarnya tidak membutuhkan akal, hanya butuh jiwa yang tajam merasakan.

Benarkan kesimpulan ini?

*) Tulisan ini saya sarikan dari buku Sirah Ibnu Ishaq Buku Ke-2 karya Muhammad bin Yasar bin Ishaq.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan