Hujan

980 kali dibaca

Sementara miliaran rintik air—dari ketinggian dua belas ribu dua puluh lima meter—tampak riang meluncur ke bumi sembari tanpa henti menyenandungkan pujian ke hadirat Gusti Allah Ta’ala—Dzat Pencipta, Pengatur, Pemelihara alam raya—, serintik air malah memamerkan raut nestapa.

Ini menjadikan beberapa rintik air yang meluncur dekat dengannya itu berkurang kadar kegembiraan mereka. Lalu satu di antara mereka—yang paling gendut—berkata, “Setelah sekian waktu mengawang kemudian menyatu dalam gumpalan awan, kini diciptakan kembali oleh Gusti Allah Ta’ala sebagai rahmat untuk para makhluk di bawah sana, sudah semestinya kita bahagia. Namun, kenapa tampang sampean malah njeluntrut seperti itu; apa sampean tidak suka dengan peran yang diberikan-Nya pada sampean ini?”

Advertisements

Mula-mula serintik air yang paling kurus itu tampak ragu, namun setelah mendapati mereka sepertinya menunggu jawabannya, ia pun bercerita:

Pada siklus sebelumnya, beberapa saat setelah ia manggon di sebuah sumur, seseorang datang untuk menimbanya. Awalnya ia menduga orang itu bakal menggunakannya untuk wudhu, memasak nasi atau menyirami tanaman—sebagaimana nasibnya di lain tempat pada siklus-siklus yang telah lewat. Akan tetapi, jauh di luar perkiraannya, orang itu menjadikannya campuran untuk membuat arak.

Suatu malam, seorang bujang tanggung membeli sebotol minuman yang mana kini ia berada di dalamnya. Beberapa saat kemudian, di pojok pekarangan suwung, bujang tanggung itu menenggaknya bersama seorang teman. Di dalam lambung si bujang, ia masih dapat mendengar dan menyimpulkan si bujang mabok karena gadis yang dicintainya memilih lelaki lain sebagai pacarnya. Namun kemudian, obrolan mereka yang terdengar kian ngglayar itu sampai pada simpulan bahwa si gadis menolaknya pasti karena ia tak punya sepeda motor untuk mengajaknya jalan-jalan.

Beberapa saat kemudian, agak sempoyongan si bujang pulang ke rumahnya, menemui ayahnya yang tampak belajar—mengeja—huruf-huruf Al-Qur’an. Seakan-akan tak peduli dengan apa yang sedang dilakukan oleh ayahnya itu, ia langsung minta dibelikan sepeda motor.

Mendengar itu, ibunya yang sedang berada di dapur—membersihkan se-rantang beras untuk ditanak besok pagi—bergegas ke arah mereka. Si ibu yang tahu kondisi keuangan keluarga, memintanya bersabar. Kelak apabila telah punya uang, mereka bakal membelikannya. Akan tetapi, si anak malah membentaknya, menyatakan bakal minggat apabila tidak segera dibelikan sepeda motor. Kemudian, seiring bujang tanggung itu keluar dari rumah, isak tangis si ibu tumpah bersama si air merasa turut bersalah. Rasa inilah yang masih kerap mengganggunya hingga kini.

“Allah Karim…!” seru salah satu mereka sembari terus meluncur. “Sebagai air sampean terlalu perasa. Bagaimanapun itu bukan kesalahan sampean. Lagi pula perbuatan dinilai benar atau salah itu untuk manusia, bukan untuk kita…”

“Tetapi,” ia coba menyangkal, “bukankah keberadaan saya dalam minuman memabukkan itu lalu berada dalam tubuhnya dan memberi pengaruh buruk pada akal warasnya, cukup menjadikan saya turut terlibat dalam perbuatannya?”

Untuk beberapa saat masing-masing mereka hanya saling memandang, bingung harus menanggapi apa. Sepertinya baru kali ini ada serintik air punya pikiran semacam itu.

Kemudian, demi mengulur rasa penasaran pembaca sekalian—yang budiwati dan budiman—, lihat, di penjuru yang lain, serintik air tampak meluncur dengan raut termenung—layaknya seorang pemikir. Kemudian sekonyong-konyong ia berseru lantang, “Subhanallah! Alhamdulillah!” mengagetkan beberapa rintik air yang meluncur di sekitarnya sembari bertasbih dengan khusyuk-tawadhuk.

Serintik air menanggapi, “Tidak usah keras-keras. Gusti Allah Ta’ala Maha Mendengar,”

“Tidak apa-apa wiridan dengan suara keras,” komentar serintik air yang lain, “Untuk mengosentrasikan pikiran!”

Serintik air yang lain lagi bertanya kenapa ia bertingkah seperti itu.

Rintik air yang pernah larut dalam secangkir kopi yang diseruput oleh seorang penyair-filosof -ulama itu menjawab, “Setelah saya amati rupanya bentuk rintik kita tak ada yang sama, seperti seluruh dedaunan di bumi, kabarnya, bentuknya pun—kendati sebagian tampak mirip—tak ada yang sama. Betapa Maha Kreatif Sang Pencipta…!”

Subhanallah!” seru mereka serempak.

“Lain daripada itu,” tanggap serintik air yang lain, “Selain Sang Pencipta, siapa yang mampu menghitung jumlah makhluk ciptaan-Nya? Tak usah seluruhnya, jumlah kita saja siapa yang mampu menghitungnya?”

“Kabarnya ada yang mampu menghitungnya,” jawab rintik air yang lain, “Menghitung dan mencatat secara detail jumlah seluruh rintik hujan mulai dari awal sampai akhir kehidupan di dunia,”

“Oh, ya? Katakan, siapa?”

“Malaikat yang bertugas mengurus kita.”

“Hebat betul malaikat itu…!”

“Tapi, sehebat-hebatnya malaikat yang mengurusi kita, kabarnya ada hal yang tidak mereka ketahui secara detail.”

“Oh, ya? Katakan, apa itu?”

“Jumlah selawat yang dipanjatkan untuk Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa salam—saking melimpahnya!”

Shollu ala nabiy…!

Serentak mereka pun berselawat untuk nabi yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam tersebut, “Ya Rabbi shalli alaihi…!”

Sementara itu, mari kita amati kembali rintik-rintik air yang saya ceritakan di awal cerita ini. Sampean dengar, rintik air yang paling gendut menanggapi persoalan temannya itu dengan berujar, “Kalau tidak salah, tadi sampean menceritakan bahwa dalam siklus sebelum sampean mengalami peristiwa dengan si bujang tanggung, sampean pernah digunakan sebagai air wudhu, menanak nasi dan menyiram tanaman, betul begitu?”

“Ya.”

“Kalau begitu, mengikuti cara berpikir sampean, berarti sampean telah terlibat dalam tiga kebaikan sementara dalam kesalahan sampean baru terlibat satu kali, betul begitu?”

“Ya.”

“Kenapa hanya keterlibatan dalam kesalahan yang sampean ingat? Sedang keterlibatan sampean dalam kebaikan lebih banyak…”

“Saya tidak tahu.”

Kemudian si gendut bercerita. Sekali waktu ia menyatu dalam sebotol air mineral di depan seorang ulama yang mengajarkan bahwa kelak di akhirat, kenangan terbaik manusia di dunia adalah saat mereka sujud—salat. Di hadapan hadirin-hadirat yang ngaji kepadanya, ulama itu mengingatkan: salah satu cara setan menjerumuskan manusia adalah dengan cara selalu mengingatkannya akan kesalahan-kesalahannya agar manusia merasa tidak nyaman saat menjalin hubungan—beribadah—kepada Gusti Allah Ta’ala dan mendorongnya untuk melupakan kebaikan-kebaikannya agar tidak mensyukuri kebaikan yang tak lain adalah karunia-Nya.

“Lagi pula,” kata si gendut, “Sebagai air kita tak pernah tahu bagaimana keadaan selanjutnya bujang tanggung yang sampean ceritakan tadi. Bisa jadi setelah menyadari kesalahannya, menyesali perbuatannya, hal ini menjadi jalan baginya untuk kemudian berbuat baik, berbakti pada orang tuanya.”

Menyadari kekeliruan cara pandangnya, si kurus seketika meminta ampunan kepada Gusti Allah Ta’ala yang Maha Pengampun—berkali-kali mengampuni kesalahan hamba-hamba-Nya. Kemudian, semakin mendekati bumi milyaran rintik air itu kian khidmat menyenandungkan pujian ke hadirat Dzat Maha Terpuji, karena di bumi inilah makhluk ciptaan-Nya diberi kesempatan untuk berbuat kebaikan.

Doplangkarta, 23:38, 1 Oktober 2020.

ilustrasi: smartresize.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan