HUJAN TANAH GARAM

954 kali dibaca

HUJAN TANAH GARAM

siapa yang duduk di tepi tambak garam, ditemani
derak kincir hampir patah. angin yang terus luruh dari
dahan kesambi. ayah menatap sebidang tanah garam
dilacuri hujan dan panas bergantian. di akhir, matahari
padam. mengubur terik di pucuk-pucuk langit lebam

Advertisements

betapa kesakitan tertancap di dada kiri,
harapan yang sama-sama kita pajang
remuk oleh badai yang berkemelut di halaman
halaman kita, sejengkal tanah asin. terus-terusan
memanjatkan terik dan memanggil kemarau

dengan siul anak gembala, di bukit cempaka
yang tandang justru penghujan pada mata
berderai-derai di kepala, mengacak rambut
serta dingin yang terkirim ke dusun tubuh

segala yang tertanam di bumi, terberkati
tiap benda yang menggantung di langit
raib alangkah gesit. hujan gegas dari
langit sepi. semula tercipta dari kecipak ombak

yang duduk memperpanjang murung
di tepi tambak garam; kita yang menaruh ratap
kepada benda asin di samping kincir

2020.

TANAH KANDUNG

segala yang kuiingat, sudut rumah dan jalan becek
ke timur menuju kebun. di sana, kenangan subur
tumbuh sulur sulur biru. menjalar terus-menerus
merajah kepala enggan dimentahkan mantra.
ke barat, lau dengan gudang gudang tua di tepi
mendenyarkan telinga lewat kertap ombak
yang berdering mengiring sakal angin

kelak pada kepulanganku—yang keberapa.
hanya aroma tanah seperti biasa, kuburu
sampai hilang segala teduh. angin menepi
ke balik rimba rimba, mendarat di punggung bukit
dan kita diingatkan, kelopak daun di ladang ayah
gugur setangkai setangkai dihunus terik.
;hanya kepadanya kuhatur degup paling serampangan

dusun-dusun kecil, menarik ingatan kembali ke pangkal
kita lahir dari rahim garam lalu ombak berdebaran.
tersebab laut dan sepetak tanah humus, menepati
saban keringat di tiap ujung hari. menolak lupa
menyambut anak anak yang tumbuh dari rahim bumi
dan kita hanya menghitung nikmat paling tampak
alpa pada kehangatan lain yang terbit tanpa henti

2020.

PERJALANAN WAKTU

tiap kujumpai di tepi jalan bercabang ini,
kau terus berjalan ke selatan menunggang angin
terbang ke negeri yang belum tercatat peta
atau sekejap disinggahi rihlah Ibnu Batutah.

kita sama-sama melepas ingatan, merangkul
sunyi di sepanjang perjalanan. sesekali
menoleh ke belakang, ke pematang
yang lebih luas dari masa lalu

betapa hampa tersisa, rasa kecut kesumba
di bawah langit merah tembaga, kita berserapah
memperpanjang kecup di kening, membagi hening
di dusun mimpi. batas jauh yang jarang kusentuh.
tengah perjalanan, sebidang jurang terhampar
tiba tiba. kuncup rukam mencucup telapak tangan
ini bukan duri biasa, membagi nyeri segala perih
sakit yang piatu bertahan dari luruh.

kemudian, jalan panjang kita berakhir
di halaman rumah rumah disesaki mawar
lengkap dengan duri durinya. kamboja merah
ditabur, menjemput tangis rekah, menyulut resah,
setapak yang kita pahat sebelumnya
raib ditelan kabut-kabut tipis

2020.

KIDUNG HUJAN

yang menghardik panas di halaman
sambal mengubur terik. adalah debar hujan
berkali mengatur suhu dingin di punggung
luruh ke segala penjuru daun, mengalahkan
gigil embun di tepian subuh. menjahit retak tanah,
bersekutu dengan kering dan perca ranting

aku menghitung setiap rintik yang jatuh,
mengecup atap rumah ilalang di pematang
menawarkan dering aroma asin, kau
membasuh luka lusuh dari silam.
sedang matahari tinggal kerangka
di sudut langit menemani awan bunting

teruslah menyanyi di pekarangan, mengusir
perasaan perasaan bosan selama dalam
rahim gemawan. sekadar kidung sumbang
meski menggelikan telinga kiri kanan

pada saatnya, diam satu satunya jalan
bila segala dingin diredam selimut tebal
dan orang orang lebih memilin dengkur
sebagai kehangatan nasib selanjutnya

2020.

ZIARAH MALAM

harum kamboja merah memecah sunyi kita
debar lampu pijar di pojok menyentuh kening
tanah merah menghantar pada liang fana
sembilan puluh sembilan doa, kuterbangkan
dengan sayap patah patah. sedang malam
merendah nyaris menyentuh tanah. hanya
derai gelap melubangi keperkasaanku

kenangan tinggal belulang, kerangka retak
dan masa lalu sobek-sobek di nisan tua
kepadamu dihatur tiap zikir melangit.
atau setiap jarum resah berdetak
dalam kepala. menghentak kesunyian
yang kubuat buat. maka pada hening lain
semilir ingin kuhembuskan pelan pelan.

aku mengunjungimu dengan detak
dipersempit disetubuhi gamang. lewat
jalan lebih sempit disesaki jari jari carang
menaklukkan undakan demi undakan.
;hingga tiba dengan ketenangan paling tampak
hati membadai yang redam tiba-tiba.
lekaslah bungkam lengking asing
dari bibir angin

2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan